Di tengah hiruk pikuk pasar tradisional Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, terselip cerita perjuangan para petani bawang merah Desa Ambungan. Mereka bukan hanya bertarung melawan cuaca yang semakin tidak menentu, tetapi juga menghadapi musuh yang lebih ganas: anjloknya harga bawang merah.
Krisis di Tengah Kelimpahan
“Dulu, satu kilo bawang merah bisa dijual Rp 30.000. Sekarang? Paling tinggi Rp 18.000. Itu pun kalau lagi bagus,” ujar Pak Hasan, ketua kelompok tani Makmur Jaya, sambil menghela napas panjang. Harga yang anjlok ini bukan tanpa sebab. Oversupply di pasar nasional, ditambah dengan masuknya bawang impor, membuat harga bawang lokal terpuruk.
Namun, di balik kesuraman ini, ternyata ada secercah harapan. Para petani Ambungan tidak tinggal diam. Mereka bangkit dan melakukan terobosan melalui strategi manajemen sumber daya manusia (SDM) yang inovatif.
Membangkitkan Semangat lewat Ilmu
“Kami sadar, bertani bukan cuma soal menanam dan panen. Ada ilmunya,” kata Ibu Aminah, salah satu petani muda yang aktif dalam program pelatihan. Bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat, para petani Ambungan mengikuti serangkaian pelatihan, mulai dari teknik budidaya modern hingga manajemen keuangan.
Hasilnya? Produktivitas meningkat hingga 30%, sementara risiko kerugian berkurang signifikan. “Dulu kami asal tanam. Sekarang, kami tahu kapan waktu yang tepat untuk menanam dan bagaimana merawat tanaman agar hasil optimal,” tambah Ibu Aminah dengan mata berbinar.
Kekuatan dalam Persatuan
Selain meningkatkan keterampilan individual, para petani Ambungan juga menyadari pentingnya berorganisasi. Mereka membentuk koperasi yang tidak hanya berfungsi sebagai lembaga simpan pinjam, tetapi juga sebagai pusat informasi dan pemasaran.
“Dengan koperasi, posisi tawar kami jadi lebih kuat. Kami bisa nego harga lebih baik dengan tengkulak,” jelas Pak Ridwan, sekretaris koperasi. Tidak hanya itu, koperasi ini juga mengembangkan aplikasi mobile yang memberikan informasi harga real-time, membantu petani dalam mengambil keputusan kapan harus menjual hasil panen mereka.
Menembus Pasar Digital
Di era digital, petani Ambungan tidak mau ketinggalan. Mereka mulai memasarkan produk mereka melalui platform e-commerce. “Awalnya kami ragu. Masa iya bawang merah dijual online? Tapi ternyata responnya luar biasa,” kata Zainal, salah satu petani muda yang mempelopori inisiatif ini.
Melalui platform digital, bawang merah Ambungan kini bisa dinikmati oleh konsumen di berbagai kota besar di Indonesia. Bahkan, beberapa restoran ternama mulai melirik kualitas bawang merah Ambungan yang terkenal dengan aroma khasnya.
Inovasi Tanpa Henti
Para petani tidak berhenti pada penjualan bawang merah segar. Mereka mulai mengembangkan produk turunan seperti bawang goreng premium dan bawang bubuk organik. “Ini cara kami menambah nilai jual. Kalau harga bawang segar sedang turun, kami olah jadi produk lain yang harganya lebih stabil,” jelas Ibu Siti, koordinator pengolahan produk.
Langkah inovatif ini terbukti ampuh. Nilai tambah produk meningkat hingga 100%, membuka peluang pasar baru yang lebih menguntungkan.
Pelajaran dari Ambungan
Kisah petani bawang merah Ambungan memberikan pelajaran berharga. Di tengah krisis, inovasi dan kerjasama menjadi kunci. Melalui pengembangan SDM yang tepat, penguatan kelembagaan, dan pemanfaatan teknologi, mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
“Kami bukan lagi sekadar petani. Kami adalah pengusaha agribisnis,” kata Pak Hasan dengan bangga. Semangat dan inovasi petani Ambungan ini mungkin bisa menjadi contoh bagi petani di daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.
Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat Pelaihari, ladang-ladang bawang merah Ambungan masih menyimpan harapan. Harapan akan masa depan pertanian Indonesia yang lebih cerah, di mana petani bukan lagi sekadar penerima nasib, tetapi penentu masa depan mereka sendiri.