Selasa, April 16, 2024

Krisis Kepercayaan Penanganan Pandemi Corona

Rezha Nata
Rezha Nata
Penulis, Cita-Citanya Mau Jadi Ideolog.

Ketika menulis buku-buku yang luar biasa seperti Sapiens, Yuval selalu memiliki landasan berpikir yang tertarik hingga ratusan tahun ke belakang saat tulisannya dibuat. Pada artikel Yuval yang berjudul In the Battle Against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership ia dengan lugas merunutkan epidemi serangan virus kepada umat manusia sesuai urutan zaman.

Mulai dari tragedi Black Death di abad Eropa abad pertengahan yang menewaskan 75 sampai 200 juta orang pada saat itu, sampai dengan flu ganas yang berkembang pada tahun 1918. Wabah-wabah tersebut memiliki cerita tragedi tersendiri dalam kontribusinya mengurangi ledakan jumlah populasi di dunia.

Persoalan virus dan wabah penyakit memang seolah bersisian dengan kehidupan manusia. Bagaimanapun manusia sudah mencapai tahap kehidupan modern, seiring hal itu pula semakin banyak lagi partikel yang menyembul entah dari mana datangnya mengancam kehidupan manusia.

Wabah-wabah penyakit itu memiliki dampak yang besar, tidak hanya pada persoalan lenyapnya sebagian kehidupan, tetapi juga tingkat pertumbuhan alamiah yang mengiringi cara bertahan hidup manusia. Peradaban kemudian timbul dari sana, sebagian dituliskan dalam bentuk manuskrip, sebagian membekas sebagai kebudayaan ataupun cara hidup manusia yang diwariskan turun temurun agar tidak terjadi lagi tragedi serupa.

Manusia kemudian mulai berpikir hidup lebih bersih, lebih memperhatikan lingkungan, dan kondisi sekitarnya. Tak heran persoalan kebersihan menjadi yang utama, pasalnya beberapa penyebab dari munculnya benih penyakit yang menjadi wabah di dunia rata-rata merupakan virus atau bakteri yang ditularkan hewan kepada manusia.

Wabah virus corona yang kini menghinggapi manusia, misalnya. Virus ini dipercaya adalah milik kelelawar, lantas manusia memakan kelelawar yang terjangkiti virus ini. Akibatnya, virus berpindah dari kelelawar ke manusia. Di tubuh manusia, virus ini bermutasi, terakhir para ilmuwan mengatakan bahwa virus corona telah bermutasi menjadi 40 karakter.

Dari hal-hal tersebut saya meyakini, manusia dan kehidupannya adalah makhluk yang sangat rapuh. Manusia seolah meminggirkan kerapuhan itu dan menutupinya dengan kecanggihan tekhnologi. Tetapi kini, virus serta bakteri mentertawakan koloni manusia, nyatanya tekhnologi yang digemborkan manusia tidak cukup baik untuk menghalangi hukuman alam terhadap kesewenangan hidup manusia.

Persoalan ini secara eksplisit juga disinggung oleh Yuval, ia mengatakan bahwa sistem kesehatan termasuk tekhnologi negara-negara di dunia belum sepenuhnya bisa mengcover kemungkinan terburuk, seperti penyebaran virus. Lalu apa bedanya era kecanggihan tekhnologi dengan masa gelap di Eropa abad pertengahan jika persoalan virus ini akan tetap menghabiskan setengah populasi bumi?

Jika Yuval berpendapat, seharusnya kita mendapatkan sebuah mukjizat kepemimpinan dari wabah yang mengenaskan ini untuk bisa bertahan hidup dan membangun cara pandang baru terhadap alam semesta, maka sewajarnya kepemimpinan harus didasari oleh kepercayaan.

Di Indonesia, Kepercayaan Penanganan Corona Mencapai Titik Terendah

Di Indonesia, ketika virus ini datang dan membuat kepanikan, pemimpin di berbagai tingkatan seperti kehilangan legitimasi atas kepercayaan rakyat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan. Saya harus setuju pada Yuval, bahwa transparansi informasi amatlah penting untuk menjaga kepercayaan. Itu adalah fundamental penguatan karakter sosial masyarakat di masa krisis.

Berkebalikan dengan teori tersebut, pada awal masa pandemi virus corona memasuki Indonesia, pemerintah seolah enggan memberikan keterangan yang transparan tentang berapa banyak manusia Indonesia yang sudah terjangkiti virus ini dan di mana saja sebarannya. Pembatasan informasi tersebut dilakukan pemerintah agar masyarakat tidak panik, kepanikan akan berimplikasi negatif terhadap kondisi ekonomi, menurut mereka.

Lalu bagaimana sekarang? Bukankah sama saja, antara jumlah yang satu, seribu, bahkan sepuluh ribu. Masyarakat telah menganggap bahwa virus ini mengancam kehidupan mereka.

Pada akhirnya, secara simultan dan alamiah, roda ekonomi akibat imbas aktifitas masyarakat yang terhenti mulai mandek. Pemerintah merasa harus menenangkan suasana yang kadung bertumbukan seperti ledakan supernova atas bintang sekarat di angkasa sana, tetapi segalanya sudah percuma. Sekarang alibi berdamai dengan virus menjadi semboyan yang didoktrin ke dalam kepala. Seolah nyawa hanya persoalan berapa harganya.

Sementara hal tersebut berlangsung, hingga saat ini pemimpin-pemimpin Indonesia bahkan tidak memberikan kepercayaan pada rakyatnya untuk dapat menyelesaikan persoalan wabah ini secara bersama, secara mandiri kepada setiap daerah, atau kepada setiap rumah tangga agar bisa menentukan sikap. Di tengah peperangan, para pemimpin bangsa ini kemudian hanya memberlakukan imbauan-imbauan, dan jelas itu adalah ciri hilangnya arah dari sebuah pedoman kepemimpinan.

Bagaimana dengan kebijakan? Arah kebijakan pemerintah pun tak menentu, tidak memiliki orbit yang jelas, tanpa mitigasi yang terencana, dan alhasil kita hanya menunggu kekacauan di semesta Indonesia.

Hari ini dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, esoknya usia 45 tahun boleh bekerja. Hari ini mudik dilarang, esoknya diksi pulang kampung digemborkan. Hari ini transportasi publik dilakukan pembatasan, esoknya tidak ada kepastian, transportasi publik bebas beroperasi tanpa prosedur penanganan penyebaran corona.

Lalu apa yang ingin diharapkan dari kebijakan yang penuh dengan ketidakpastian seperti ini? Jangankan berharap kepercayaan investor untuk mendukung gerak ekonomi tumbuh seperti sedia kala, mendapat kepercayaan masyarakat kecil yang urung menerima Bansos pun rasanya sulit.

Imbasnya rakyat mencoba menyelamatkan diri masing-masing, meski kehidupan harian menuntut kerentanan, tetapi bagi orang Indonesia hal-hal itu adalah sebuah pilihan yang penuh keniscayaan. Rakyat Indonesia kini hanya bisa bersandar pada apa yang mereka percayai, sementara, pemimpin sudah kehilangan kewibawaan. Beruntung bahwa rakyat masih memiliki rasa percaya, minimal percaya bahwa label Indonesia tetap ada di dalam KTP.

Rezha Nata
Rezha Nata
Penulis, Cita-Citanya Mau Jadi Ideolog.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.