Selasa, Desember 3, 2024

Krisis Ekonomi Sri Lanka

Silvanah
Silvanah
Silvanah, a student of International Relations at the Islamic University of Indonesia and a researcher at the Center for Indonesia-China Studies (CICS)
- Advertisement -

Kondisi Sri Lanka semakin memprihatinkan akibat krisis ekonomi terparah sepanjang sejarahnya sejak merdeka dari Inggris 1948. Penyebab krisis banyak diberitakan berakar dari mulai salah urus ekonomi oleh pemerintah, penurunan lalu lintas turis karena pembatasan Covid, inflasi, hingga kenaikan harga energi.

Penyebab Krisis

Para ahli meyakini benar bahwa kombinasi dari berbagai faktor termasuk penurunan lalu lintas turis karena pembatasan terkait COVID-19, kenaikan harga energi, ditambah dengan langkah-langkah populis yang menguapkan cadangan devisa menyebabkan melonjaknya inflasi dan krisis saat ini.

Dikutip dari BBC News, Sri Lanka tidak memiliki cukup bahan bakar untuk layanan penting seperti bus, kereta api dan kendaraan medis, dan para pejabat mengatakan tidak memiliki cukup mata uang asing untuk mengimpor lebih banyak.

Kekurangan bahan bakar ini menyebabkan harga bensin dan solar naik drastis. Pemerintah melarang penjualan bensin dan solar untuk kendaraan yang tidak penting selama dua minggu. Penjualan bahan bakar tetap sangat dibatasi. Sekolah telah ditutup, dan orang-orang telah diminta untuk bekerja dari rumah untuk membantu menghemat persediaan.

Pada Juni 2022, inflasi meningkat menjadi 54,6% dari 39,1% pada Mei 2022. Tingkat inflasi Sri Lanka yang diukur dengan perubahan tahun-ke-tahun (Y-o-Y) dalam Indeks Harga Konsumen (CCPI) Kolombo telah melampaui 50% untuk pertama kalinya sejak 1954.

Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengatakan kenaikan inflasi Y-o-Y ini didorong oleh kenaikan bulanan pada kategori Makanan dan Non-Makanan. Sejalan dengan itu, Inflasi Makanan (Y-o-Y) meningkat menjadi 80,1% pada Juni 2022 dari 57,4% pada Mei 2022, sedangkan Inflasi Non-Makanan (Y-o-Y) meningkat menjadi 42,4% pada Juni 2022 dari 30,6% pada Mei 2022.

Krisis ekonomi Sri Lanka diperparah juga oleh kegagalan program manajemen utang Sri Lanka yang statusnya bergantung pada aspek industri pariwisata dan pembayaran uang dari pekerja asing yang dilemahkan pandemi. Dengan gagalnya program manajemen utang ini, cadangan devisa anjlok hampir 70 (tujuh puluh) persen dalam jangka waktu dua tahun.

Selain itu, keputusan pemerintahan Rajapaksa untuk melarang semua produk pupuk kimia pada tahun 2021 tercatat memukul sektor pertanian negara dan memicu penurunan panen padi yang akhirnya mengacaukan produksi pertanian Sri Lanka.

Ketika kelangkaan mata uang asing Sri Lanka menjadi masalah serius di awal tahun 2021, pemerintah mencoba membatasinya dengan melarang impor pupuk kimia. Para petani diminta untuk menggunakan pupuk organik yang bersumber secara lokal sebagai gantinya. Hal inilah yang menyebabkan gagal panen yang meluas. Sri Lanka harus menambah stok makanannya dari luar negeri, yang membuat kekurangan mata uang asingnya semakin parah.

Dilemanya adalah jika negara sampai kehabisan mata uang, maka yang terjadi adalah Sri Lanka tidak akan mampu membeli barang kebutuhannya dari luar negeri. Dan pada bulan Mei Sri Lanka telah gagal melakukan pembayaran bunga atas utang luar negerinya untuk pertama kalinya dalam sejarahnya.

- Advertisement -

Default terjadi ketika pemerintah tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh pembayaran utang mereka kepada kreditur. Dan ini dapat merusak reputasi suatu negara di mata investor, mempersulitnya untuk meminjam uang yang dibutuhkannya di pasar internasional, yang selanjutnya dapat merusak kepercayaan pada mata uang dan ekonominya.

Presiden mundur

Krisis ekonomi telah menyebabkan masyarakat marah. Pada 9 Juli 2022, rakyat Sri Lanka menggelar demo yang menyalahkan Rajapaksa dan sekutunya atas inflasi yang tak terkendali, kekurangan uang dan korupsi. Pengunjuk rasa sampai menyerbu kediaman presiden dan membakar rumah PM

Hal ini kemudian membuat presiden Rajapaksa dan Ranil Wickremesinghe memutuskan siap untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, di  bawah konstitusi Sri Lanka, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe akan secara otomatis menjadi pejabat presiden sampai parlemen dapat memilih seorang anggota parlemen untuk menggantikan Rajapaksa selama sisa masa jabatannya. Meskipun Wickremesinghe juga telah diminta untuk mundur dari jabatannya oleh rakyat Sri Lanka.

Pada 15 Juli 2022, Presiden Rajapaksa telah resmi dinyatakan mundur dari jabatannya setelah parlemen menerima dan mengesahkan surat resign-nya. Namun, kepergian presiden mengancam potensi kekosongan kekuasaan di Sri Lanka. Dibutuhkan pemerintah yang berfungsi untuk mengatasi krisis keuangan.

Bagaimana seharusnya?

Dikutip dari CNN Indonesia, Sri Lanka telah gagal membayar utang luar negeri yang mencapai US$51 miliar atau Rp755,7 triliun (asumsi kurs Rp14.818 per dolar AS). Dilansir dari Trading Economics, utang luar negeri (ULN) Sri Lanka per akhir 2021 adalah US$ 50,72 miliar. Jumlah ini sudah 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemudian total utang Sri Lanka ke China mencapai US$ 8 miliar atau sekitar seperenam dari total utang luar negerinya.

Kelompok negara-negara G7 Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS telah mengatakan mendukung upaya Sri Lanka untuk mengurangi pembayaran utangnya. Bank Dunia telah setuju untuk meminjamkan Sri Lanka $600 juta, dan India telah menawarkan setidaknya $1,9 miliar.

Sementara IMF sedang mendiskusikan kemungkinan pinjaman $3 miliar (£2,5 miliar). Tetapi itu akan membutuhkan pemerintah yang stabil yang dapat menaikkan suku bunga dan pajak untuk membantu mendanai kesepakatan, sehingga bailout apa pun dapat ditunda sampai pemerintahan baru terbentuk.

Untuk saat ini, langkah pertama yang perlu dilakukan Sri Lanka adalah melakukan renegosiasi dengan seluruh kreditur terutama dari program Belt Road Initiative. Kemudian, Sri Lanka juga dinilai perlu meningkatkan efisiensi birokrasi pemerintahan dengan konsisten untuk memberantas korupsi. Dimana hal ini menjadi syarat mutlak bagi Sri Lanka untuk dapat bangkit dari kebangkrutan yang dialami.

Pada saat yang bersamaan, Sri Lanka juga perlu mengembalikan kepercayaan investor dan pelaku usaha untuk fokus pada investasi yang padat karya. Dengan demikian, perekonomian dapat bergerak kembali di negara tersebut. Terakhir, Sri Lanka juga harus menjalin kerjasama dengan berbagai negara dengan memprioritaskan bantuan pangan dan energi untuk meredam inflasi semakin buruk.

Silvanah
Silvanah
Silvanah, a student of International Relations at the Islamic University of Indonesia and a researcher at the Center for Indonesia-China Studies (CICS)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.