Rabu, November 20, 2024

Krisis dan Modernitas yang Usang, Refleksi Masa Pandemi (1)

naufalrizki
naufalrizki
Mahasiswa Antropologi Sosial, FISIP UI 2018. Wakil Kepala Departemen Penelitian Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya UI 2020.
- Advertisement -

Di tengah ancaman krisis multidimensi yang dipicu oleh pandemi, saya melihat ada semacam semangat dan harapan seragam yang terus-menerus dihidupkan. Satu di antara banyak harapan yang selalu muncul adalah harapan untuk secepatnya kembali ‘normal’, yaitu menjalankan cara pengaturan kehidupan  yang sepenuhnya sama dengan keadaan sebelum pandemi.

Kita bisa melihat bahwa kebijakan di berbagai negara diarahkan untuk secepatnya memulihkan proyek pengaturan sosial, ekonomi dan politik persis seperti semula. Tetapi, di tengah ancaman krisis yang kita terima, sebetulnya kita memiliki waktu untuk merenung dan berpikir tentang itu: Apakah kembali sepenuhnya kepada pengaturan sosial, ekonomi dan politik seperti semula adalah pilihan yang tepat?

Saya mengawali jawaban untuk pertanyaan itu dengan pertanyaan lain: “Bukankah pandemi dan ancaman krisis ini tercipta dari pengaturan-pengaturan dan cara hidup yang seperti semula itu? Bukankah dengan memilih untuk kembali kepada pengaturan dan cara hidup seperti itu juga berarti secara sukarela mempersilakan krisis berikutnya menghantam kita?”

Pandemi sebagai Gejala Alamiah?

Pertama, kita mesti ingat bahwa pandemi bukanlah sesuatu yang tiba-tiba datang, melainkan produk dari cara pengaturan kehidupan yang dijalankan manusia di bumi. Namun, selama ini kita masih sering melihat pandemi sebagai fakta alamiah; murni di luar campur tangan manusia. Padahal, jika kita periksa secara saksama, manusia memiliki andil besar dalam ‘kemunculan’ virus-virus penyebab pandemi. Boleh dibilang manusialah—lebih tepatnya model pengaturan kehidupan tadilah—yang sebetulnya menciptakan pandemi.

Denis Caroll, ketua Global Virome Project, menyebutkan bahwa cikal bakal patogen penyebab pandemi, termasuk virus corona, sebenarnya telah ada di dalam ekosistem sejak lama. Namun, awalnya cikal bakal patogen ini tidak berinteraksi langsung dengan manusia. Perluasan intervensi ekonomi terhadap ekosistem bumi kemudian menciptakan interaksi itu. Misalnya, melalui pembukaan hutan dan perburuan binatang liar untuk keperluan pasar. Virus-virus itu mulai menginfeksi manusia dan dalam tingkatan tertentu bermutasi menjadi sesuatu yang ‘baru’.

Bukti dari hasil studi yang dilaporkan dalam Journal of The Royal Society tahun 2014 menyebutkan bahwa sejak tahun 1980-an, kemunculan penyakit menular meningkat tiga kali lipat setiap dekadenya, di saat yang bersamaan dengan meningkatnya pembukaan hutan secara masif dan dipasarkannya satwa liar.

Sederhananya, virus bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul dari “alam” dan menyerang manusia, tapi virus dan manusia memang sejak awal telah hidup dalam jejaring yang sama. Sayangnya, pengaturan sosial, ekonomi, politik yang kita miliki saat ini tidak pernah menerima kenyataan itu. Pengaturan yang kita miliki cenderung membangun sekat yang tajam antara manusia dan alam; alam berada di luar manusia dan karenanya manusia berhak menguasai alam.

Dalam arti lain, manusia menempatkan diri sebagai subjek dan alam ditempatkan sebagai objek. Pengaturan seperti itu luar biasa problematik, dan dari situ pula krisis tercipta. Tapi, sebelum bicara lebih jauh soal itu, kita mesti bertanya: Dari mana asalnya cara pandang dan pengaturan seperti itu?

Modernitas dan Sekat yang Dibangunnya

Bruno Latour dalam bukunya yang berjudul We Have Never Been Modern (1991) menjawabnya. Menurut Latour, modernitaslah yang pada awalnya menciptakan pemisahan antara alam dan manusia. Latour memaknai modernitas bukan sebatas periode waktu, tetapi lebih kepada cara berpikir kita yang serba mengelompokkan; alam/manusia, sains/politik, objek/subjek.

Kita memisahkan realitas menjadi dua bentuk: “yang alamiah (objek)” dan “yang sosial (subjek)”. Padahal, realitas yang kita pisahkan sebagai “yang alamiah” dan “yang sosial” itu pada praktiknya tetap bertemu dan saling berinteraksi. Misalnya, kita memisahkan virus dan pandemi sebagai fakta alamiah, tetapi kita juga ternyata mesti melihat relasinya dengan deforestasi, globalisasi, mode produksi atau ketimpangan sosial yang merupakan fakta sosial. Inilah paradoks modernitas: kita membangun sekat yang tajam antara manusia dan alam, di saat bersamaan kita menghadapi kenyataan bahwa alam dan manusia itu saling terjalin.

- Advertisement -

Sekarang, pandemi telah menunjukkan betapa bermasalahnya cara pikir modern ini. Dengan mendudukkan alam sebagai sesuatu yang murni dan terpisah dari manusia, kita akan tetap memandang pandemi dan bencana-bencana lainnya sebagai sesuatu yang terjadi di luar campur tangan manusia.

Kita menjadi tidak mampu menyadari fakta bahwa manusia ikut andil dalam membentuk bencana-bencana yang ‘alamiah’ itu. Kita menjadi abai terhadap akar persoalan yang sebetulnya, yaitu pemisahan manusia dan alam itu sendiri.

Jika pengaturan sosial, ekonomi dan politik yang berdiri di atas cara pandang itu masih digunakan, maka pandemi-pandemi lain akan segera datang. Sayangnya, alih-alih memikirkan ulang relasi kita dengan alam, kita lebih tertarik untuk berbicara tentang strategi untuk secepatnya menormalkan keadaan seperti semula. Sederhananya, kita masih ingin percaya kepada pemisahan tadi.

Kita masih ingin mendudukkan alam sebagai objek, dan manusia sebagai subjek. Kita merasa mampu menilai, mengamati, memengaruhi dan menguasai alam, sedangkan alam tidak memiliki kapasitas untuk itu. Melalui pengaturan ekonomi politik yang tercipta dari pandangan itu, sebutlah neoliberalisme dengan agenda pertumbuhan tanpa batasnya, proyek penguasaan terhadap alam secara terus-menerus dijalankan; pertambangan, deforestasi, perkebunan monokultur dan lain-lain. Itu tidak akan membawa kita ke mana pun, kecuali menuju krisis-krisis yang lain.

Tapi, faktanya itulah salah satu pengaturan yang kita anggap normal. Saat ini, kita tergesa-gesa ingin kembali menjalankannya. Padahal, sebetulnya secara ironis pandemi telah memberikan kita pilihan: menerima untuk kembali kepada pengaturan kehidupan yang menciptakan krisis ini atau berusaha memikirkan ulang dan memperbaikinya. (Bersambung)

naufalrizki
naufalrizki
Mahasiswa Antropologi Sosial, FISIP UI 2018. Wakil Kepala Departemen Penelitian Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya UI 2020.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.