Rabu, April 24, 2024

Kriminal dalam Dunia Digital

Ana Dwi Itsna Pebriana
Ana Dwi Itsna Pebriana
Suka baca dan ngelamunin apa aja, yang penting halal.

Hampir setiap saat kejahatan terjadi dan menghantui bumi pertiwi. Para presenter di layar televisi pun tak pernah lelah memberi informasi dari berbagai penjuru negeri. Mulai dari kasus anak-anak yang dicabuli sampai para pejabat berdasi yang seakan tak bosan melakukan tindak korupsi.

Semua hal itu selalu menjadi pemberitaan yang meramaikan layar kaca Indonesia. Menjadi konsumsi publik yang entah kapan habisnya. Bukannya berkurang, kasus kejahatan justru semakin bertambah dan beragam jenisnya. Fenomena yang membuat lidah berdecak pertanda miris dan tak percaya akan apa yang terjadi di depan mata.

Data statistik pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa terjadi 342.084 kasus kejahatan di Indonesia. Ini menunjukkan adanya satu tindak kejahatan setiap 1 menit 32 detik. Kemudian tiga tahun setelahnya, yaitu pada tahun 2016 jumlah kasus kejahatan menjadi 357.197 menandakan dalam 1 menit 28 detik terjadi satu tindak kejahatan. Meski tidak berbeda jauh, namun peningkatan angka kriminalitas di Indonesia memang terjadi. (Tamim : 2018)

Disadari atau tidak, media informasi turut mempengaruhi hal ini. Seakan menghipnotis jutaan pasang mata, untaian kata presenter gagah dan anggun berhasil membius seketika. Penggunaan bahasa yang “halus” namun nyatanya menghasut membuat para awam  maupun ilmuwan sekalipun tak bisa mengendalikan diri untuk meniru tindak kejahatan sebagai ajang pelampiasan.

Sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde (1843-1904) mengatakan “Society is imitation.” Masyarakat selalu dalam proses meniru. Ketika seseorang tiap hari dicekoki dengan nilai-nilai keras dan kasar, maka pada akhirnya masyarakat akan meniru hal tersebut. Imitasi ini akan melekat ketika meniru menjadi tradisi hingga menggantikan peran sentral kebudayaan.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Bimo Nugroho, penulis Dead Media Society (2005) menyebutkan bahwa memang ada hubungan yang erat antara kekerasan dalam tayangan televisi dengan apa yang terjadi di kehidupan nyata. Media informasi seakan menginspirasi orang dalam melakukan tindak kejahatan.

Bimo menegaskan hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Leonard Eron dan Rowell Huesman. Penelitian ini mengungkapkan bahwa dampak tayangan kekerasan  bagi anak usia 8 hingga 20 tahun di televisi Amerika Serikat pada akhir 1990-an sangat dahsyat. Hasilnya ditunjukkan dengan adanya dorongan aksi kejahatan pada anak ketika mereka memasuki usia 30 tahun. (Nugroho : 2008)

Pemberian informasi secara rinci seputar tindak kejahatan di media menjadi penyebab utamanya. Layaknya tutorial, narasi kejahatan itu disampaikan dengan lugas sampai ke akar-akarnya. Memudahkan pada mereka yang berniat jahat untuk melangsungkan aksinya.

Untung Sumarwan (2008) mengatakan bahwa publik juga seringkali kurang menyadari bahwa mereka terbawa arus media yang penyajiannya tidak sepenuhnya benar. Celakanya, banyak yang menilai bahwa tayangan media adalah sebuah kebenaran dan contoh yang bisa ditiru. Belum lagi adanya sikap yang mengidolakan publik figur, tokoh dan semacamnya.

Syahdan, tayangan berbagai kasus kejahatan di media terbukti “ampuh” dan menjadi angin segar penambah semangat bagi mereka yang sudah memiliki sifat jahat. Hal ini membuat para calon pelaku maupun residivis semakin berani untuk melanggengkan tindakannya. Media informasi seakan menjadi ladang ilmu kriminal.

Fenomena ini tentu membuat masyarakat kian resah. Sebuah tayangan media seharusnya bisa menjadi mentor yang baik dan menginspirasi pada kebaikan. Namun kenyataannya justru semakin marak tindak kejahatan yang terjadi. Munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kejahatan menjadi indikasi utama. Padahal baik di sengaja atau tidak, dalam pemberitaan kerap terjadi distorsi informasi ataupun kesalahan.

Penegak hukum dan para penyiar berita seharusnya tidak menginformasikan secara detail narasi dari metode yang dilakukan pelaku dalam tindak kriminalnya. Kemudian bagi mereka yang kebetulan mengetahui secara rinci informasi serupa juga seharusnya tidak membagikan hal tersebut pada khalayak ramai. Pun saat akun sosial media milik pelaku ditemukan, sebaiknya pihak yang berwajib langsung bekerjasama dengan platform tempat akun itu berasal dan langsung menariknya dari peredaran.

Karena tujuan pemberitaan dan penyajian media sesungguhnya tidak hanya sekadar penyampaian informasi kepada masyarakat, tetapi ada fungsi sosial lain yang amat mulia. Sebagaimana disebutkan dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999, selain fungsi menyampaikan informasi, pers nasional juga menjadi sarana pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.(Pasal 3 angka 1, UU 40/1999)

Mari menjadi masyarakat yang cerdas dengan bersikap bijak terhadap media informasi yang ada. Jangan terlalu sering membiasakan anak-anak untuk menyaksikan tayangan-tayangan dengan konten kekerasan didalamnya. Selalu waspada, karena dunia ini sedang tidak baik-baik saja.

Ana Dwi Itsna Pebriana
Ana Dwi Itsna Pebriana
Suka baca dan ngelamunin apa aja, yang penting halal.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.