Harun Masiku dan lingkaran kejahatan korupsi yang menyeret Wahyu Setiawan, mantan Komisioner KPU-RI untuk kasus suap memperlancar Pergantian Antar-Waktu (PAW) Rizky Aprillia telah memasuki babak baru.
Komisaris Rosa Purbo Bekti, anggota Polri yang ditempatkan sebagai Penyidik KPK a charge untuk kasus tersebut ternyata diberhentikan oleh KPK berdasarkan keterangan resmi Ketua KPK, Firl Bahuri pada tanggal 4 Februari 2019, selain Komisaris Rossa, juga diberhentikan Komisaris Indra yang keduanya berasal dari Kepolisian. Pernyataan berbeda disampaikan Mabes Polri.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Argo Yuwono mengatakan lembaganya tak menarik Rossa, statement itu disampaikannya pada 31 Januari 2020 (Tempo.co, 2019).
Tentu, masyarakat bertanya-tanya, KPK yang biasanya terdepan dan sangat kuat dalam mencari aktor-aktor yang terlibat pada kasus korupsi, seketika “taring” yang dimiliki KPK hilang.
Pada kasus ini, selain Harun Masiku yang sampai detik ini tidak kunjung ditemukan, hal tersebut semakin diperparah dengan ketidak-jelasan status Penyidik KPK yang menangani kasus tersebut sehingga mengorbankan hak-hak fundamental (salah satunya, dihentikannya pembayaran gaji) dua Penyidik KPK tersebut hingga muncul gerakkan solidaritas dari Wadah pegawai KPK.
Pada posisi ini, yang menjadi pertanyaan besar dari masyarakat, bagaimana gambaran pemberantasan korupsi di Indonesia kedepan dan kaitannya dengan independensi KPK, refleksi apa yang didapatkan dari terbitnya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, apa amanat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang Indonesia ratifikasi dalam UU Nomor 7 Tahun 2006, serta langkah apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan kontrol pemberantasan korupsi kedepan.
Ujian Berat Independensi KPK
KPK tentu dipertanyakan independensinya, padahal lahirnya KPK pasca-reformasi 1998 adalah mengatasi problem pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang tidak mampu dibereskan oleh institusi Kepolisian dan Kejaksaan. Lahirnya KPK merupakan implikasi hukum dari diterbitkannya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dan TAP MPRS Nomor VIII/MPR/2001.
Dan kemudian melahirkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Tentu, misi reformasi diemban dengan beban moral yang berat oleh KPK sebagai suatu institusi hukum yang mempunyai kewenangan dari hulu ke hilir, mulai dari pencegahan, supervisi , hingga penindakan kasus korupsi.
Namun, diterbitkannya UU Nomor 19 Tahun 2019 menjadi penanda balik, bahwa komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia nir-independensi. Kita bisa melihat semisal, di Pasal 33 UU tersebut menyatakan bahwa “KPK merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif dalam menjalankan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Pernyataan pada pasal tersebut terjadi ambivalensi, dimana jika penegak hukum seperti KPK kemudian diletakkan dibawah eksekutif, hal tersebut mengulang tidak ampuhnya kekuasaan Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini telah dibawah kekuasaan eksekutif. Muspro-nya posisi KPK pasca diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2019 menjadi semakin jelas, khususnya berkaitan dengan independensi KPK.
Padahal, KPK sebagai lembaga anti-korupsi wajib dituntut independen dalam sistem penegakkan hukum, baik dalam fungsinya yang secara efektif dan bebas dari pengaruh, termasuk melindungi berbagai staff lembaga anti-korupsi (termasuk penyidik, penyelidik, Jaksa KPK, dan Pegawai KPK yang lainnya) sehingga dapat menjalankan fungsinya, hal ini jelas diatur pada Pasal 6 dan Pasal 25 UNCAC, sehingga siapapun yang merintangi UNCAC dianggap sebagai pihak yang mengganggu jalannya pemberantasan korupsi (obstruction of justice).
Menjaga independensi KPK bukan tanpa alasan, karena dari lembaga anti-korupsi yang independen, kontrol terhadap korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dan oligarki dapat dilakukan, untuk menghukum koruptor yang melanggar regulasi perundang-undangan terkait korupsi (suap, pencucian uang, dsb), serta memberi efek jera agar kasus korupsi tidak dilakukan kembali, dan paling penting adalah menyelamatkan negara terhadap dampak praktik korupsi (Louis de Sousa, 2010). Sehingga, banyak hal yang akan dikorbankan manakala Pimpinan KPK dan pihak-pihak terkait melakukan penyerangan terhadap independensi KPK, dan hal tersebut perlu menjadi direnungkan secara mendalam!
Konflik Kepentingan dan Pengorbanan Integritas
Tentu, masyarakat sipil patut merasa kecewa mendalam atas sikap yang dilakukan oleh Pimpinan KPK, mengapa menghentikan dua Penyidik KPK ditengah proses penegakkan hukum yang terus berjalan dan mencari aktor intelektual dibelakangnya. Benturan konflik kepentingan (Conflict of Interest/CoI). Tentu, konflik kepentingan yang terjadi karena banyak faktor, selain karena balas budi politik sehingga lima (5) Komisioner KPK tersebut dipilih berdasarkan keputusan politik, juga dualisme loyalitas, khususnya bagi Ketua KPK, Firli Bahuri menjadi beban tersendiri dalam menunjukkan komitmen kuat pemberantasan korupsi yang dilakukan institusi yang dipimpinnya.
Transparansi Internasional Indonesia (TII) dalam penelitiannya yang berjudul “2019 ACA Performance Evaluation Results” telah menyampaikan, pentingnya dukungan politik dan komitmen saat ini bagi terwujudnya Independensi KPK sebagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yang telah sukses sejak 15 tahun berdiri untuk menjerat lebih dari 1000 pejabat publik (penindakan 75% kasus korupsi di Indonesia), mempercepat reformasi Kejaksaan dan Kepolisian, menyelamatkan berbagai kerugian negara, serta dukungan publik atas integritas yang dibangun KPK (TII, 2019)
Firli, CS seharusnya memperhatikan spektrum lebih besar, yaitu integritas yang terjaga selama ini oleh KPK, sekarang saatnya menunggu taji Dewan Pengawas (Dewas) KPK, secara pro-aktif untuk menegakkan integritas KPK, khususnya terkait kode etik Pimpinan KPK, sebagaimana kewenangannya diatur pada Pasal 37B UU Nomor 19 Tahun 2019. Sehingga, kepercayaan publik, yang merupakan “senjata” KPK selama ini dalam perang melawan korupsi tetap ada.
KPK yang Independen: Harapan Masyarakat Indonesia
KPK yang independen, tentu merupakan harapan masyarakat Indonesia, yang saat ini merasa kecewa akibat dramaturgi yang disajikan pada kasus Harun Masiku dan lingkaran korupsinya.
Cobaan itu harus dilalui KPK secara sungguh-sungguh sebagai anak kandung reformasi, dan menguji KPK untuk menyelesaikan kasus mega-korupsi lainnya yang secara banal dan culas merugikan keuangan negara, melanggar HAM, dan menyebabkan instabilitas nasional. Sehingga, jangan sampai, masyarakat menarik kepercayaan kepada KPK dan memilih jalannya sendiri dalam menghukum koruptor, yang mana hal tersebut menjadi penanda bahwa #ReformasiDikorupsi belum berakhir!