Mei 1998 berupakan lembaran baru bagi kehidupan ketatanegaraan republik ini. Rezim yang dikenal KKN dan represif akhirnya bisa ditumbangkan. Cita cita dalam melawan korupsi, serentak menjadi isu nasional yang harus dilaksanakan.
Pada tahun 2002 lembaga anti rasuah tanah air bernama KPK resmi dibentuk. Pembentukan KPK didasari karena kurang efektifnya lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan dalam menangani perkara dugaan tindakan pidana korupsi dengan kerugian negara yang cukup besar.
6 bulan setelah dibentuk KPK berhasil memberika angin optimisme kepada publik yang dengan “menyeret “Gubernur Aceh Abdullah Puteh dengan dugaan melakukan korupsi Rp 10 miliar dalam pengadaan helikopter jenis MI-2 merek PLC Rostov asal Rusia.
Singkat cerita Abdullah Puteh harus menerima palu pesakitan dari majelis hakim berupa penjara selama 10 tahun pada 7 Desember 2004, sekaligus menjadikan menjadi moment karena 32 tahun belum ada gubernur aktif yang ditetapkan tersangka waktu itu.
Terungkapnya kasus Abdullah Puteh rupanya menjadi warning bagi para elit politik sekaligus menjadi pintu pembuka perseteruan para elit politik dengan KPK, perseteruan kedua belah pihak tersebut dimulai di pertengahan tahun 2008 yang melibatkan ketua KPK Antasari Ashar.
Ingatan publik masih tak terlupakan dengan ditetapkannya Antasari Azhar sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nazaruddin Zulkarnaen bukan mustahil kasus tersebut sengaja dibuat dikarenakan keberhasilan Antasari Azhar mengungkap kasus century yang melibatkan Pak Presiden SBY serta kasus aliran dana Bank Indonesia yang salah satu pelakunya juga besan Presiden SBY.
KPK sebagai lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi rupanya benar benar tidak diinginkan oleh elit politik, setelah berhasil ” Melengserkan” Antasari Azhar dari ketum KPK para elit politik tanah air kembali melentarkan serangan yang dikenal kasus “Cicak VS Buaya”. Personifikasi ini diciptakan oleh Susno Duadjiketika diwawancarai oleh majalah Tempo tercetak pada edisi 20/XXXVIII 06 Juli 2009 dengan mengatakan cicak kok mau melawan buaya.
Kata cicak dialamatkan kepada KPK sebagai lembaga yang kecil tidak memiliki kewenangan yang berarti dan Buaya dialamatkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang super powerfull.
Harus diakui ketika menjelang pemilihan Umum wacana untuk menguatkan KPK hampir disampaikan oleh para kandidat tapi entah kenapa ditahun 2019 terjadi manuver politik yang sangat luar biasa dengan beramai ramai melemahkan KPK secara sistematis.
Upaya penjinakkan KPK itu dilakukan dengan mengeluarkan revisi UU KPK yang disahkan oleh paripurna DPR secara kilat hanya dalam tempo 13 hari tepatnya pada 16 September 2019 lalu.
Pada 17 Oktober lalu, revisi UU KPK itu secara otomatis telah berubah menjadi UU, sesuai dengan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 tentang landasan hukum perubahan otomatis RUU menjadi UU. Melalui perubahan UU KPK ini, nomenklatur dan kewenangan KPK mengalami perubahan mendasar.
Setelah dirasa KPK cukup tangguh dalam menangkis serangan lawan, maka kaum elit politis pun menciptakan sesuatu mahakarya yang luar biasa yakni dengan melahirkan UU. No. 19 Tahun 2019 tentang KPK yang secara kasat mata dan hati nurani sangat jauh dari cita cita untuk memberantas korupsi. Lahirnya UU ini menimbulkan kecaman yang laut biasa dari para civitas akademika bahkan berujung dengan menghilangnya nyawa dari berbagai mahasiswa ditanah air,
Dalam UU.No.19 Tahun 2019 tertantang KPK diatur mengenai lahirnya Dewan Pengawas yang diantara fungsinya mengeluarkan izin tentang penyadapan dan penggeledahan.
Diawal tahun 2020 KPK berhasil melakukan dia OTT yakni kepada bupati aktif sidoarjo dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait dugaan menerima suap Rp 900 juta dari calon legislatif PDIP asal Sumatera Selatan Harun Masiku untuk meloloskannya menjadi anggota DPR lewat jalur PAW. Namun sayangnya OTT yang dilakukan KPK tidak dibarengi dengan proses penggeledahan di Kantor pusat DPP PDIP Jakarta dikarenakan tidak adanya izin dari Dewan pengawas sebagaimana yg telah diamanatkan dalam UU. 19 tahun 2019.
Adanya berbagai kasus yang melibatkan mantan ketua KPK yang banyak menimbulkan pertanyaan besar, belum lagi dengan diberlakukannya UU baru dengan kewenangan lembaga pengawasnya seakan mempertegas bahwa KPK merupakan lembaga yang tidak dibutuhkan lagi.
Tidak dibutuhkan karena tidak berguna. Tidak dibutuhkan karena akan menggangu stabilitas politik kaum elit korup tanah air.