Sabtu, April 20, 2024

Kota Kumuh dan Banjir Jakarta

Agus Mauluddin
Agus Mauluddin
Pemerhati Sosial. Peneliti di CIC Institute of Rural and Urban Studies. [ig: @cic.official.id]. Penikmat Kopi & Tea.

Kebijakan sosial inklusif dengan konsep perkuat desa dan pernyaman kota hendaknya menjadi tawaran solusi dari kota kumuh (dan banjir) di Jakarta. Perkuat desa yang dimaksud adalah perkuat sektor-sektor yang ada di pedesaan. Misalnya sektor pertanian, perikanan dan industri kreatif pedesaan. Pada akhirnya desa akan mampu mandiri, dan pada titik akhir urbanisasi kurang diminati lagi.

Konsep pernyaman kota adalah ketika urbanisasi yang sudah senyatanya terjadi tentu harus ada sebuah solusi agar pemukiman kumuh tidak terus lestari. Dalam hal ini dengan membuat rumah susun -yang sekarang sudah, sedang, dan akan dibangun- untuk para pendatang (yang ada sejak lama) dengan memperhatikan sosio psikologis masyarakat.

Fenomena yang seakan-akan menjadi hal yang biasa di ibukota adalah permukiman kumuh dan masalah banjir. Permasalahan permukiman kumuh semakin pelik terlebih pada musim penghujan yang melanda ibukota akhir-akhir ini. Pun dengan intensitas hujan yang tinggi berdampak pada masalah banjir.

Dari tahun ke tahun permasalahan tempat tinggal kumuh semakin rumit ketika musim penghujan datang. Misalnya beberapa permukiman yang berada di bantaran sungai Ciliwung, kena dampak banjir. Seperti Kampung Pulo.

Di daerah Kampung Pulo sebenarnya sudah dilakukan normalisasi sungai, -istilah normalisasi atau diistilahkan juga oleh Gubernur Anies dengan naturalisasi, sedang ramai diperbincangkan- namun ternyata tetap saja “permasalahan tahunan yang menjadi langganan”  tetap saja terjadi. Kenapa? ada yang keliru?

Istilahnya normalisasi atau natural-isasi, yang utama ialah fungsi sungai (semisal untuk “menyerap/menampung” air) mesti dikembalikan. Tidak mesti melulu “betonasi”, bisa juga “meng-alami“. Misalnya gerakan penanaman pohon di sepanjang bantaran kali Ciliwung terus digalakan. Pengerukkan sungai bisa dilakukan jika ada pendangkalan. Pemindahan ‘permukiman’ dapat dilakukan jika terlalu berbahaya bermukim di tepi sungai.

Sedangkan untuk mengurai permasalahan kota kumuh penulis menawarkan dua solusi, yaitu solusi preventif dan solusi kuratif. Solusi ini muncul dilatarbelakangi gagasan bahwa masalah permukiman kumuh adalah masalah urbanisasi (Mauluddin 2015).

Batasi Pendatang

Solusi yang penulis tawarkan di antaranya pemerintahan ibukota (DKI Jakarta) yang kerap kali menjadi sandaran masyarakat perdesaan atau menjadi tumpuan bagi masyarakat yang berada di wilayah “penopang” (misalnya Depok, Bogor, Bekasi) untuk “dikunjungi” oleh para pekerja atau para pencari kerja, pemerintah DKI Jakarta harus memiliki regulasi yang sifatnya “membatasi”, hingga pada titik tertentu men-stop para pendatang yang ingin ke ibukota untuk bekerja.

Misalnya pemerintah DKI Jakarta membuat kesepakatan dengan pemerintahan kota lainnya sebagai percontohan semisal Bogor, Depok, Bekasi untuk menyediakan pekerjaan yang sifatnya “Regional/perwilayah”. Misalnya saja bagi pemerintah Bogor, warga masyarakat Bogor bekerja di daerah Bogor.

Pemerintah Bogor (mampu) menyediakan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakatnya dan yang tidak kalah penting kesejahteraan hidup dan kualitas kehidupan masyarakatnya terperhatikan. Kembali ke pembahasan sebelumnya, yaitu dengan memperkuat sektor-sektor di daerah perdesaannya. Seperti sektor pertanian, perikanan dan industri kreatif perdesaan. Sehingga orang-orang tidak melulu harus bertumpu pada ibukota Jakarta. Begitu pula dengan daerah lainnya (selain contoh kasus Bogor).

Untuk memperkuat kebijakan tersebut buatlah sebuah perda (peraturan daerah) ataupun perbup/walikota (peraturan bupati/walikota), kaitannya dalam memperkuat dan melegitimasi kebijakan tersebut. Solusi yang dipaparkan di atas merupakan bentuk solusi preventif.

Kebijakan Sosial Inklusif

Solusi lainnya yang penulis tawarkan adalah kebijakan sosial inklusif. Kebijakan sosial inklusif yang penulis tawarkan yaitu dengan konsep ‘perkuat desa’ dan ‘pernyaman kota’. Perkuat desa yang dimaksudkan adalah perkuat sektor-sektor yang ada diperdesaan (seperti yang sudah dijelaskan).

Sedangkan konsep yang kedua ‘pernyaman kota’ merupakan bentuk solusi yang sifatnya kuratif. Solusi kuratif dimaksudkan, ketika urbanisasi yang sudah senyatanya terjadi tentu harus ada sebuah solusi agar permukiman kumuh tidak terus lestari.

Dalam hal ini dimaksudkan sebagai sebuah solusi kebijakan inklusif dengan menyediakannya rumah susun di ibukota untuk para pendatang (yang sudah senyatanya urban –sudah lama menetap di ibukota). Dengan dibuatkannya rusun ini agar para pendatang yang sudah sejak lama menempati tempat kumuh tidak menempati tempat kumuh lagi, apalagi malah menciptakan permukiman kumuh baru.

Namun, lagi dan lagi kebijakan inklusif ini tidak sepenuhnya menjadi sebuah solusi yang relevan dan efektif karena tidak sedikit warga yang menolak tinggal di rusun, malah ingin tetap tinggal di tempat kumuh. Sebab terdapatnya permasalahan voiceless.

Salah satu alasannya seperti sebuah penelitian yang dilakukan litbang kompas, bahwa alasan enggan pindah ke rusun karena terlalu kuatnya sosiopsikologis warga. Artinya ikatan-ikatan akan tempat yang sudah mereka tinggali dari dulu, interaksi dengan sesama tetangga, pun begitu dengan ‘ladang’ penghasilan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Ketika mereka harus pindah tempat tinggal, maka mereka harus beradaptasi ‘dari awal’ kembali dengan tempat tinggal barunya di rusun.

Solusi kuratif  yang  ditawarkan dari litbang kompas, dan dirasa efektif menurut penulis dalam menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh adalah dengan membuat rusun (atau memindahkan ke rusun) yang tidak jauh dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Dengan demikian segi sosipsikologis keterikatan dengan tempat tinggal yang lama masih terasa. Selain itu pemindahan ke tempat baru harus dilakukan perkelompok.

Artinya warga yang satu kelompok tidak akan perlu beradaptasi kembali, karena ikatan-ikatan interaksi yang kuat sudah ada sejak lama, dan akses pada pekerjaan pun tidak akan terlalu sulit (kebanyakan pada sektor informal, pedagang kaki lima, penjual asongan dan lain-lain).

Dengan demikian conclusion dari tulisan ini adalah perlunya sebuah kebijakan inklusif untuk menyelesaikan permasalahan kota kumuh (pemukiman kumuh di ibukota), dan juga masalah banjir yaitu kebijakan yang berangkat atau memperhatikan masyarakat yang akan mendapatkan dampak dari suatu kebijakan tersebut.

Agus Mauluddin
Agus Mauluddin
Pemerhati Sosial. Peneliti di CIC Institute of Rural and Urban Studies. [ig: @cic.official.id]. Penikmat Kopi & Tea.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.