Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Jumat (15/3/2019), melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Romahurmuziy alias Rommy yang notabene Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus anggota aktif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), terkait transaksi pengisian jabatan di Kementerian Agama (Kemenag). Selain itu Rommy juga menjabat sebagai dewan penasehat Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019.
Usai penangkapan Rommy dan beberapa tersangka lainnya. TKN Jokowi-Ma’ruf menggelar konferensi Pers dengan mengatakan bahwa kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan Pilpres.
Membangun narasi semacam itu, sebagai upaya melakukan counter terhadap kubu oposisi yang di khawatirkan akan “menggoreng” kasus tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Namun, mengatakan kasus tersebut merupakan murni kasus pribadi Rommy yang tidak terkait dengan Pilpres adalah kesalahan.
Momentum elektoral, baik itu Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), merupakan awal dari terjadinya korupsi yang di tandai dengan tingginya cost of fund dalam kegiatan kampanye dan koalisi berbasis kartel.
Sistem politik multipartai telah menghasilkan kartelisasi partai dan terciptanya sistem kerjasama antar elite oligarki dalam menjawab kebutuhan partai untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya negara serta mengamankan sumber daya material yang dimiliki. Dari perspektif kartel jelas bahwa kasus OTT KPK yang menimpa Rommy merupakan konsekuensi logis dari bobroknya sistem politik dan kepartaian.
Kita tak dapat mengabaikan fakta bahwa bobroknya sistem politik dan kepartaian pasca orde baru turut berkontribusi dalam menyuburkan korupsi. Tentu korupsi bukan sesuatu yang baru terjadi di era reformasi. Di masa orde baru pun korupsi juga marak terjadi, meski orang-orang yang terlibat hanya mereka yang berada dalam lingkaran penguasa. Sedangkan di era reformasi, korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa, namun yang seharusnya menjadi oposisi juga terlibat.
Maslaha Oligarki dan Kartel Partai
Ketika rejim orde baru runtuh, sistem politik mengalami transformasi ke arah yang lebih terbuka. Kendati proses depolitisasi dan deideologisi yang berlangsung selama orde baru telah melemahkan kekuatan politik rakyat, namun kondisi sekarang relatif lebih baik dari sebelumnya. Rakyat beserta Lembaga Swadaya Masyarat (LSM) sudah dapat berpartisipasi langsung, tanpa ada hambatan yang signifikan, dalam melakukan pengendalian dan kontrol terhadap kekuasaan negara.
Terlepas dari berbagai kemajuan yang telah di hasilkan reformasi, baik dalam pembangunan infrastruktur demokrasi maupun perubahan struktural dan institusional yang memungkinkan terwujudkan kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya.
Keberhasilan elite oligarkis, yang di besarkan di dibawa sistem patronase orde baru, dalam mereorganisasi diri dari kondisi keterceraiberaian menjadikan mereka sebagai kekuatan politik dominan yang tak terdingi. Persis di titik ini muncul tantangan serius bagi terlaksananya agenda kerakyatan yang di hadapkan oleh kepentingan oligarki dalam mempertahankan dan/atau meningkatkan kekayaan material.
Dengan membasiskan kekuasaan pada kekayaan material. Para oligark berhasil mengambil posisi sebagai patron politik dari elite birokrat dan politisi yang ingin masuk dalam arena kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga publik lainnya). Hal ini menandakan bahwa kemunculan elite baru dalam arena kekuasaan tidak terlepas dari kesediaan mereka untuk bergabung atau menjadi bagian dari koalisi oligarki.
Maka tantangan bagi elite baru yang ingin berkuasa terletak pada kemampuannya melayani kepentingan oligark dalam menyediakan akses langsung pada sumber daya negara dan kendali birokrasi. Akibatnya terjadi penyelewengan terhadap lembaga-lembaga publik lantaran dijadikan sebagai sapi perah dalam melayani kepentingan akumulasi kapital semata – berujung pada korupsi politik. Korupsi politik tidak hanya menimbulkan masalah sosial dan ekonomi, tapi juga kerusakan lingkungan.
Meskipun konstitusi telah menjamin hak politik setiap individu, namun ketimpangan sumber daya material yang begitu besar, hanya menempatkan kelompok oligarkis dalam mengatur dan mengendalikan urusan-urusan ekonomi dan politik. Keterpinggiran rakyat dalam urusan ekonomi dan politik telah memunculkan tuntutan masyarakat yang sangat beragam.
Kondisi ini juga mendorong munculnya pasca-klientalisme (post-clientelism). Sebagaimana di jelaskan Eric Hiariej (2017) bahwa post-clientelism adalah bentuk politik yang tampil ketika meningkatnya tuntutan masyarakat yang sangat beragam semakin sulit terpenuhi secara institusional. Tak ada hubungan permanen antara elite politik dengan oligark. Prinsipnya mempatronkan siapapun yang dapat menjawab kepentingan individual maupun kelompok.
Korupsi yang di lakukan Romahurmuziz bukanlah korupsi biasa, melainkan praktik korupsi politik. Korupsi politik kerapkali di lakukan secara kolektif oleh mereka yang memegang jabatan resmi dalam pemerintahan – baik tingkat pusat maupun daerah.
Meskipun basis material yang di miliki Rommy tidak menempatkan dirinya sebagai seorang oligark–mengacu pada gagasan oligarki Jeffrey Winters–namun sebagai posisi sebagai Ketum PPP di mana sala satu kader partai tersebut, Lukman Hakim Saifuddin, menempati jabatan tertinggi di kementerian agama membuat dirinya punya bargaining position di mata orang-orang yang hendak mengincar jabatan di lembaga tersebut.
Transaksi jabatan bukan sekadar bicara berapa jumlah uang yang harus di bayar untuk menempati posisi yang di inginkan. Namun yang jauh lebih substantif adalah kesediaan menjadi bagian dari koalisi oligarki dalam menjalankan agenda-agenda akumulasi.
Korupsi politik terjadi karena adanya kartelisasi politik yang memungkinkan adanya kerjasama–secara individual maupun kolektif–yang mengutamakan kelangsungan hidup kolektif melalui perburuan rente (rent-seeking) ekonomi dengen menempatkan kader atau orang kepercayaan mengisi jabatan di pemerintahan. Oleh karenanya kasus yang menimpa Rommy, secara tidak langsung, punya keterkaitan dengan kontestasi elektoral. Meski dalam beberapa hal, pernyataan TKN untuk tidak mengaitkan kasus itu dengan kontestasi elektoral 2019 ada benarnya.