Sulit untuk dibantah bahwa korupsi menjadi petunjuk nyata kalau ada yang tidak beres dalam tubuh birokrasi di negara. Dan petunjuk itu selalu luput dan gagal untuk dibaca dalam kajian perspektif historis. Padahal jika kajian itu ditangani secara lebih serius, maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur penyebab ketidakberesan tersebut sesungguhnya adalah ironi dari leluhur negara kolonial Hindia Belanda yang dinamakan negara birokrat (Beamtenstaat).
Dalam buku Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik diIndonesia (2000), Benedict R. O’G. Anderson mengungkap bahwa negara kolonial yang pada awalnya dibangun melalui VOC, sesudah dibubarkan pada awal abad ke-19, mulai mengubah diri menjadi negara birokrat yang terpusat dan ramping.
Artinya, negara kolonial yang dinamai Hindia Belanda itu tetapmenjalankan operasi-operasi monopolistik dan melakukan eksploitasi alam serta manusia sebagai modal untuk menghimpun kekuatan finansialnya. Jadi, serupa dengan VOC, Hindia Belanda memiliki tentara sendiri, menandatangani traktat, dan menghukum para pelanggar hukum.
Sejak tahun 1910, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) ditugasi untuk menjaga keamanan dan ketertiban di seluruh wilayah Nusantara. Itulah mengapa negara kolonial membutuhkan perluasan dalam hal ketersediaan aparat negara yang bukan sekadar mengurusi pendidikan, keagamaan, pertanian, kesehatan, atau pertambangan, tetapi juga pengawasan politiknya. Di bawah payung Politik Etispada tahun 1901, negara kolonial ”mengimpor” para pegawai dari Eropa yang berakibat membengkaknya pengeluaran negara sebesar “tak kurang dari 50 persen.”
Menariknya, di tahun 1928 hampir seperempat juta pegawai pribumi tercatat dalam daftar gaji negara. Itu artinya, 90 persen dari pegawai sipil terdiri dari orang-orang Indonesia. Dan para pegawai pribumi mulai difungsikan secara maksimal dan dipusatkan dalam negara birokrat kolonial. Di tangan merekalah, urusan administrasi kewilayahan, terutama di Jawa, diserahkan.
Tetapi ketika penguasa militer Jepang berkuasa, terjadi perubahan yang cukup drastis dan menimbulkan kekacau-balauan yang tak terkendali. Para pegawai Belanda yang berpengalaman diganti secara mendadak oleh orang-orang Jepang dengan dibantu oleh para pegawai pribumi. Pencetakan uang dilakukan secaraberlebihan yang mengakibatkan hiper-inflasi dan gaji para pegawai menjadi tidakada artinya lagi.
Di sinilah korupsi mulai berkembang dan merambah dengancepat, sehingga merendahkan moral pegawai secara mendalam. Hal itulah yangmenimbulkan kehancuran secara merata terhadap negara birokrat kolonial yangtersisa sebagai serpihan-serpihan yang melaju di jalannya sendiri.
Memasuki era Revolusi, praktis ada dua negara yang bercokol di Nusantara, yaitu negara republik yang baru dilahirkan dan negara Hindia Belanda yang berupaya untuk kembali. Pada akhir tahun 1949 berkat pengakuan resmi dari dunia internasional dua negara yang semula saling bermusuhan dilebur dalam satu kenegaraan yang bercorak serikat. Inilah bentuk negara yang tidak ada pilihan rezim lain yang mungkin. Akibatnya, negara yang masih lemah secara militer, ekonomi dan birokrasi menjadi tertatih-tatih dalam setiap langkahnya, termasuk untuk menanggung beban 1.130 juta dollar utang dari negara Hindia Belanda.
Di bawah kendali Suharto, negara baru yang diorkestrasi oleh parateknokrat tampil untuk meningkatkan standar hidup rakyat, memperbaiki kesejahteraan sosial dan memodernisasi struktur ekonomi. Mirip dengan kecenderungan “Etis” dari pejabat-pejabat beamtenstaat kolonial, para perencana pembangunan itu dengan segera menjalin relasi dengan para donatur asing dan pengusaha papan atas yang tidak berkepentingan apalagi berambisi secara politik.
“Orang-orang Cina” adalah salah satu kelas sosialyang baik secara ekonomi maupun politik dimanfaatkan oleh negara Orde baru untuk mengamankan dan menertibkan masyarakat. Melalui pembatasan partai politikdan pembentukan partai negara Golkar, Orde Baru semakin tampak tak tertandingi terutama berkat kebijakan keamanan yang diwarisi dari negara kolonial dan juga penguasa militer Jepang.