Kamis, Mei 9, 2024

Kekangan Berjilbab Masa Orde Baru

Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi, Peminat Sejarah Asia Tenggara, Belajar Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya.

Beberapa waktu yang lalu muncul polemik tentang aturan wajib berjilbab bagi siswi non-muslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Aturan yang dianggap khalayak sebagai diskriminasi tersebut ada sejak Fauzi Bahar menjabat sebagai walikota tahun 2005. Tepatnya Instruksi Walikota Padang No. 451.442/BINSOS-iii/2005 tentang kewajiban penggunaan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri Padang.

Peraturan yang ‘mengatasnamakan’ kearifan lokal itu menjadi perhatian semua pihak, karena cenderung gagal dalam menerapkan nilai kebhinekaan di Indonesia. Terbaru, pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang berencana memberikan sanksi tegas kepada pihak yang terlibat. Kebijakan itu dinilai berpotensi memunculkan persoalan intoleransi di lembaga pendidikan kedepannya.

Pernyataan yang demikian, justru berbeda dengan kondisi 40 tahun yang lalu, Dimana Menteri Pendidikan saat itu, Daoed Joesoef (1978-1983), membuat aturan tentang seragam sekolah yang tertuang dalam Surat Keputusan Dirjen Dikdasmen No. 052 tahun 1982. Salah satu isinya memuat tentang jilbab atau kerudung yang menutup seluruh kepala hingga dada itu ‘bertentangan’ dengan ketentuan seragam.

Majalah Tempo, tanggal 11 Februari 1984, pernah mengulas tentang kasus Ida Zuraida, siswa kelas II IPS SMAN VII Surabaya, yang terpaksa pindah sekolah karena memakai jilbab. Kasus itu terjadi setelah hampir dua bulan muncul Surat Edaran baru dari Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ida, yang baru saja pindah dari Ujungpandang ke SMAN 7 Surabaya, di kelas I semester kedua, harus keluar dari sekolah dan pindah ke SMA Mujahidin.

Kepala SMAN 7 Surabaya serta Kakanwil Pendidikan dan Kebudayaan Jatim, keduanya saling lempar bola tentang adanya aturan itu. Namun, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Dardji Darmodiharjo, mengatakan dengan tegas kalau aturan itu adalah patokan dari Kementerian pendidikan, dan harus segera dilaksanakan. Dia berujar, kalau “memakai jilbab itu tidak menganggu, tapi aneh,” ucapnya.

6 tahun kemudian, tanggal 13 Januari 1990. Majalah Tempo kembali memberitakan tentang jilbab di Surabaya. Kali ini tentang Gerakan Tutup Mulut (GTM) atas protes sejumlah siswi yang diskors akibat berjilbab di sekolah. Kasus itu terjadi di SMAN 6 Kota Surabaya. Sophia Beatrix, Kurrotu Aini, Erni Agustini, dan Dyan Sulistyorini adalah siswi yang diskors pada Desember 1989 dan mengadukan perkaranya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.

Upaya mediasi dilakukan di Masjid Al Falah Surabaya pada 28 Desember 1989. Pihak LBH Jatim mengusulkan untuk membawa perkara ini ke pengadilan. Sementara MUI Jatim lewat K.H Misbach beranggapan itu tidak menyelesaikan perkara. “Kami mencari masukan dan mengupayakan jalan keluarnya,” katanya.

Adapun Kakanwil Pendidikan dan Kebudayaan Jatim waktu itu, Achmad Ali, mempunyai usulan tersendiri. Yakni, sekolah perlu mempunyai kelas khusus bagi siswi yang berjilbab. Dia menjelaskan, jika di kelas itulah siswi yang berjilbab dari rumah dapat menanggalkan jilbabnya, dan baru bisa mengikuti pelajaran. Kemudian, siswi itu dapat menggunakan jilbab ketika pulang sekolah. Pernyataan yang diskriminatif itu kemudian segera dibuat surat edaran bagi kepala SMP dan SMA se-Jawa Timur, yang isinya menegaskan kembali ke peraturan seragam sekolah tahun 1982.

Adapun Kepala SMAN 6 Surabaya, Moeljono Mardisiswojo, berpendapat, bahwa sanksi yang diberikan kepada 4 anak didiknya dinilai sesuai dengan aturan yang berlaku. Dia menyebut jika gerakan jilbab bukan gerakan agama, tapi gerakan politis. Karena menurutnya, anak-anak itu perlu diwaspadai karena berpenampilan eksklusif yang beda dengan siswi lainnya. Moeljono mengemukakan jika sebelum diskors, mereka melakukan Gerakan Tutup Mulut (GTM). “Saya tanya siapa gurunya, apakah dibiayai ustadznya, malah enggak mengakui,” bunyi pernyataannya.

Aini salah satu siswi yang diskors membela, “kami tahu apa tentang politik?, menjalankan syariat agama kok dilarang,” ujarnya. Dia menambahkan bila dia dan temannya sering “kucing-kucingan” dengan kepala sekolah dan guru agama. Beberapa kali mereka sering dipanggil ke kantor saat jam pelajaran, bahkan saat ujian mereka diancam pulang. Tidak sampai disitu, mereka harus menerima kenyataan, karena tindakan memakai jilbab, prestasi mereka melorot. Padahal, sewaktu masih kelas satu, Aini masuk peringkat lima di sekolah.  Kenyataan ini, seperti teror bagi Aini.

Kemudian di Kabupaten Ngawi Kasus jilbab juga mengemuka. Di desa Pandaan dan Jogorogo, beberapa penduduk wanita terlihat gelisah. Beberapa wanita yang berjilbab tidak diperkenankan foto KTP apabila masih mengenakan jilbab. Dan mereka tidak dilayani untuk membuat atau memperjang KTP. Mereka juga mengadukan permasalahan itu ke LBH Surabaya.

Masalah jilbab yang tak kunjung mereda, membuat Kyai Hasan Basri, selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia berkomentar, “Menutup aurat bagi wanita itu wajib hukumnya. Tidak ada khilaf (beda pendapat) soal ini,” katanya. Kyai Hasan menilai jika penanganan soal jilbab ini sporadis dan terkesan berlarut-larut. Dia berpandangan jika lebih banyak persoalan yang lebih serius untuk ditangani pemerintah, semisal perkelahian pelajar atau narkotika.

Upaya perjuangan yang masif untuk memperkenalkan jilbab juga disuarakan di pertunjukan yang digawangi Budayawan Emha Ainun Najib bertajuk, “Lautan Jilbab”. Harian Surabaya Post memberitakan di awal 1990-an, Cak Nun sapaan Emha, mengungkapkan jika fenomena penyebaran jilbab adalah simbol paling wadag dari reaksi hati nurani kaum muslimin terhadap berbagai tekanan yang menimpa mereka.

Cak Nun mengerti bahwa awalnya aturan pelarangan jilbab pemerintah lewat Daoed Joesoef itu tidak jatuh dari langit. Melainkan berasal dari rasa khawatir akibat Revolusi Iran tahun 1979 yang dianggap dapat merongrong Pancasila. Namun, bagi Cak Nun kebijakan membatasi jilbab itu telah melanggar hak kolektif masyarakat dalam beragama.

Cak Nun kemudian berjuang bersama masyarakat, lewat pagelaran yang dilakonkan oleh 1000 pemain teater ke beberapa kota di Indonesia. Awalnya pada tahun 1987, Cak Nun yang baru pulang dari Belanda, didaulat untuk membaca puisi itu bersama Taufiq Ismail dalam acara Ramadhan in Campus Jamaah Shalahudin UGM, Yogyakarta. Acara itu berhasil didatangi sekitar 5.000 orang. Kemudian di Stadion Wilis, Kota Madiun dihadiri 35.000 orang, dan di Go Skate Kota Surabaya juga dihadiri oleh ribuan orang.

Sebagai akhir, kita semua tahu kalau masalah jilbab sebelumnya pernah menjadi sejarah. Apalagi pernah dijadikan alat rezim untuk membatasi hak beragama dengan dalih merongrong Pancasila. Jadi sudah sewajarnya, kita semua dapat belajar dari masa lalu. Dan segera mendewasakan diri dalam kehidupan beragama. Kalau masalah ini terus berlarut, kapan kita bisa menjadi bangsa Indonesia seutuhnya?

Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi, Peminat Sejarah Asia Tenggara, Belajar Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.