Korupsi adalah fakta sistemik yang selalu menarik perhatian. Menjadi lebih menarik karena fenomena ini rupanya mengakar kuat dalam dinamika masyarakat Indonesia, menjadi sesuatu yang lumrah. Dalam pengertian ini, penulis mengamini perspektif Hobbes yang mengatakan bahwa korupsi adalah sesuatu yang alamiah, terkait erat dengan karakter insani.
Karakter kemudian mempengaruhi segala perspektif atas realitas. Ekspresi eksistensial dari karakter adalah, dalam hal apapun, manusia cenderung memelihara dan melestarikan hasrat ketamakan, baik untuk pribadi maupun kelompok. Pelestarian dan pemeliharaan hasrat itu, secara tersirat, merupakan usaha fisikal (bahkan berujung pada kepuasan batin) “untuk diakui.” Tepatlah ungkapan Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man bahwa dasar penggerak sejarah manusia adalah “perjuangan untuk diakui”.
Rasionalisasi ini tak ayal menjadi landasan bagi resonansi sejarah di pelbagai belahan dunia. Meskipun di satu sisi kemerdekaan sebuah bangsa atau pun penggulingan rezim-rezim akbar yang pernah terjadi tidaklah semata-mata karena motif sosial, ekonomi atau politik tetapi oleh sebuah mekanisme, yakni “perjuangan untuk diakui”.
Ketika agenda para founding fathers menerobos peta politik masa Perang Dunia II melalui BPUPKI dan PPKI, timbul hasrat bukan sekadar ingin bebas tetapi sebuah pengharapan “untuk diakui” sebagai bangsa yang bisa mengatur rumah tangga sendiri. Begitulah hasrat untuk diakui.
Tendensi ini akan terus mengakar dan membias ke segala dimensi kehidupan kolektif termasuk dinamika perpolitikan. Korupsi dalam hal ini, merupakan persoalan klasik yang tak tercerabut dari dinamika hidup berbangsa dan bernegara. Ia memang bukan virus meskipun faktanya destruktif dan infektif namun lebih merupakan rautan antara hasrat ketak tercukupkan dan pencarian identitas naif: siapa saya tergantung seberapa besar harta (uang) yang dimiliki.
Ia seakan-akan menegaskan jika kualitas keadaban tercermin hanya berdasarkan harta (uang) bukan oleh perenungan setiap individu memaknai hidup: olah pikir, olah rasa dan olah sikap. Secara tersirat, korupsi tidak lain adalah produk dari pengabaian pentingnya refleksi hidup dihadapan nafsu akan ketaktercukupan, tunduk pada hasrat akan ketamakan. Individu yang tak pernah merasa cukup akan menyimpan hasrat untuk terus dipuaskan. Termasuk pengakuan identitas.
Dunia kontemporer dengan produk-produk revolusi a la sains dan teknologinya memainkan peran sentral mengamplifikasi individu pada harapan yang serba ilusif tentang makna hidup. Kini orang berbelanja bukan oleh kesadaran akan esensi tetapi lebih pada perkara identitas, emo ergo sum (saya berbelanja maka saya ada). Orang berselancar di media sosial bukan untuk menumbuh kembangkan motif-motif bermanfaat melainkan menyebarkan hal-hal banal penuh sensasi. Dari kurik inilah, kita mengenal “hoaks” dan seluruh sepak terjangnya.
Hingga pada satu titik, korupsi ternyata memiliki geliat yang sama. Ia datang dari rangsangan sadar tak terkendali dalam diri. Dengan seluruh atensi diri seseorang memahami hal ihwal korupsi: makna, tujuan, akibat. Tapi kenyataan bahwa ia melakukannya sekalipun paham resikonya adalah simpul dari hilangnya perenungan esensi keilahian dan kemanusiawian yang melekat sebagai kodrat yang dibawa sejak lahir. Jika bukan begitu maknanya, lalu untuk apa seorang menteri yang seharusnya menjadi teladan untuk memastikan redistribusi bantuan sosial pemerintah justru menilap uang rakyat?
Mestinya ketika dunia sedang tidak baik-baik saja (karena pandemi Covid-19), Menteri Sosial Juliari Batubara menjadi garda terdepan memberi teladan bagaimana menjadi diri bagi sesama: menjadi manusia bagi yang lain. Perkara rumit yang ditunjukkan oleh Juliarti seakan mengingatkan bahwa warga-bangsa secara khusus wakil rakyat mengalami simptom apatis yang teramat kritis.
Dalam jarak temporal yang pendek kita dikejutkan oleh lakon dua orang pejabat negara yang sempat terlihat lugu dalam sebuah momen podcast. Sebelum Juliari, masyarakat dikagetkan dengan OTT penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, pada Rabu, 25 November 2020 dini hari. Pembiaran diri dibawa masuk dalam mekanisme terbentuknya banalitas kejahatan adalah dosa sosial. Pandemi Covid-19 terkesan melegitimasi tindak kejahatan meskipun secara etis-humanistis mestinya menjadi kesempatan sakral merenungkan panggilan kesetiakawanan global yang melekat dalam setiap makhluk sosial.
Kata Diego Gambetta, seorang ilmuwan sosial yang banyak meneliti kehidupan mafia, korupsi menunjuk kemerosotan watak etis orang/pelaku, tiadanya integritas moral dan bahkan kebejatan hidup orang/pelaku. Maka meskipun bergelimang harta bahkan dengan gaji melangit pun sulit menjamin seorang wakil rakyat bekerja jujur jika yang ditumbuhkan dalam dada adalah nafsu pada “cinta dunia.”
Akan sangat sulit memang, mencabut paradigma dan praksis yang telah mengakar kuat dan tertanam kokoh di dalam nurani anak bangsa. Kedepannya, korupsi akan tetap menjadi barang murah, lumrah di mata masyarakat (bukan sebuah apologetis) dan terus memberi kejutan. Sulit diberantas tetapi bukan berarti harus pesimis memberantas habitus tersebut. Memulai dari awal adalah jalan tengah. Jalan awal itu adalah pendidikan. Pendidikan, baik bernuansa keluarga maupun formal, adalah jalan pertama segala hal dipelajari, dimaknai, ditafsir lalu dipraksiskan.
Dalam konteks pendidikan formal (di sekolah atau di kampus), ia harus bisa mengakomodasi pemekaran humaniora para peserta didik. Ini sebuah urgensi mengingat kiblat pendidikan dewasa ini cenderung mengarah ke orientasi pasar. Tuntutan pasar dengan nilai pragmatis-materialistik meredusir hakikat pendidikan sebagai wadah pembangunan manusia yang berbudaya.
Pendidikan telah direduksi maknanya sebatas investasi ekonomi untuk mendapat lapangan pekerjaan, tidak lagi dimaknai secara lebih substantif, yaitu, menukil Paulo Freire, menyiapkan manusia untuk hidup di dan bersama dunia, memekarkan kesadaran akan keberpihakan. Birokrat dan pejabat yang menilap uang rakyat, selain oleh karena faktor ketamakan namun pertama dan utama, akibat dari tereduksinya nilai kemanusiaan dalam diri.
Penguatan nilai kemanusiaan di era industri merupakan hal yang mendesak. Sudah cukup lama kiblat pendidikan kita bergeser. Pendidikan kita cenderung melahirkan manusia-manusia terdidik yang mahir berteknologi namun kehilangan sentuhan manusiawi.
Kaum birokrat dan pejabat yang tertangkap tangan dalam berbagai tingkatan korupsi merupakan sinyalemen tentang pendidikan kita yang meskipun kaya akan nuansa modernitas namun miskin nilai dan moral pada sisi terdalamnya. Maka atas berbagai kenyataan runyam dinamika perpolitikan kita, dunia pendidikan mengemban misi pewartaan untuk mengembalikan akhlak warga bangsa, dimulai dari jenjang pendidikan dasar.
Ilmu-ilmu humaniora mesti ditempatkan di posisi pertama, bukan ilmu-ilmu eksakta yang menjadi ujung tombak industri. Kapasitas intelektual seorang arsitek merancang gedung pencakar langit anti gempa sama sekali tak berarti banyak apabila apatis dan mengabaikan dimensi ekologis misalnya.
Pendidikan, terutama pendidikan humaniora mesti segera dihidupkan.