Korupsi masa kini tidak lagi berada di ruang-ruang tabu, seperti yang saya bayangkan semasa kecil dulu, ketika orang-orang dewasa bicara soal itu, yang saya bayangkan adalah tempat gelap, misal, emplop yang disisispkan di bawah kolong meja, sebuah ikonik represntatif dua orang yang saling mengambil untung.
Namun, dewasa ini, ketika menyadari bahwa lokus imajinasi tentang korupsi berkembang menjadi lebih kompleks, ternyata tidak sesederhana seperti bayangan masa kecil saya dulu, ia ada dimana-mana, tak hanya di bawah kolong meja, menjadi sebuah budaya.
Korupsi, mengkristal dari kehidupan kita sehari-hari, pembiaran atas hal itu mengambil bentuk lain, laku dan sikap yang menunjukkan bibit-bibit dan merujuk ke korupsi, menjadi hal lumrah dan dilihat biasa-biasa saja, lantas kita semua harus bersepakat bahwa korupsi menjadi sebuah budaya. Dia tak tabu, tak berada di bawah kolong meja, dan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.
Pola budaya masyarakat inilah yang tak pernah menunjukan akan adanya kebaikan soal-soal pemberantasan korupsi di Indonesia untuk waktu dekat.
Laku yang saya katakana di atas misalnya pemberian uang atau barang jaminan kepada keluarga atau rekan agar seseorang diterima menjadi pegawai negeri atau swasta.
Lainnya, memberi uang pelican untuk mempercepat urusan administrasi seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga dan lain sebagainya, untuk hal ini, saya sering menyaksikannya di ruang-ruang kampus.
Dari dara Badan Pusat Statistik (BPS) yang menganggap hal tersebut adalah persoalan yang tidak wajar hanya 62,28 persen masyarakat, selebihnya kita tahu bersama, demi kelancaran, uang sisipan siap disediakan. Hal ini berarti ada hampir 40 persen masyarakat menilainya sebagai perilaku yang wajar untuk dilakukan.
Tak hanya itu, perilaku koruptif lainnya yang dapat kita lihat atau mungkin lakukan di ruang publik adalah pemberian uang damai kepada polisi saat melanggar lalu lintas, contoh lainnya petugas KUA yang meminta uang tambahan untuk transport, pemberian uang jaminan kepada guru untuk memperlancar administrasi masuk sekolah, hingga pembagian uang dan barang kepada pelaksana pemilu.
Dari sini kita belajar, bahwa korupsi ada di setiap jengkal hidup, ia tak diam di ruang-ruang kantor, ia ada di masyarakat kita sehari-harinya. Kultur koruptif yang terbentuk di masyarakat Indonesia saat ini karena adanya kondisi yang memungkinkan pun kondisi yang terkadang memaksa untuk melakukan hal tersebut.
Kesenjangan yang ada di tengah masyarakat berupa ekonomi, krisis kepercayaan, buruknya pelayanan birokrasi, minimnya edukasi dan pendidikan anti korupsi, dan lemahnya penegakan hukum menjadikan perilaku koruptif adalah sesuatu yang lumrah atas jawaban dari bentuk kesulitan masyarakat hadapi.
Kesadaran sikap anti-korupsi sebetulnya dapat hadir, apabila didukung dengan pola budaya masyarakat yang juga anti terhadap korupsi, secara massif penting bagi penyelengara negara untuk mengedukasi, bukan menjadi pelaku utama korupsi. Sebelum kesadaran kolektif masyarakat terbangun utuh soal-soal perilaku yang merujuk pada tindakan korupsi dan sama-sama sadar bahwa itu tak pernah baik.
Karena cara mengatasi hal yang muncul karena enkulturasi adalah dengan membangun pemaknaan baru atau sudut pandang baru serta melakukan enkulturasi yang serupa atas pemaknaan baru tersebut. Kalau kita menghardik budaya korupsi, maka harus dibangun pemaknaan baru, yaitu sikap dan perilaku anti korupsi.
Sikap ini harus ditularkan melalui enkulturisasi budaya melalui lembaga-lembaga sosialiasi yang ada, dari keluarga, misalnya, atau media massa, tokoh masyarakat dan agama, aparat penegak hukum dan sebagainya.