Jumat, April 26, 2024

Korona dan Sentimen Rasial

Adi Prabowo
Adi Prabowo
Ig: waspirin_ : petani muda, calon kepala desa

Belakangan semenjak berita lonjakan angka terinfeksi corona semakin parah. Pikiran ini justru sudah tak bisa lagi menelan mentah-mentah berita dan informasi yang ada. Timbul pertanyaan-pertanyaan dalam benak tentang informasi dan langkah-langkah yang di terapkan pemerintah.Diantara berbagai informasi soal Covid 19 yang semakin ruwet dan sulitnya membedakan akses informasi yang akurat.

Menjadi kemungkinan yang semakin kompleks sebagai cara masyarakat kecil dan orang-orang desa dalam mengemas informasi yang mereka terima. Dari berbagai anjuran sebagai langkah antisipatif selama masa pandemi ini untuk mereka terapkan di keseharian.Karena memang tak semudah itu memberi penilaian moral atas tindakan seseorang yang dilahirkan dari silang sengkarut informasi. Dan kemampuan rasa merasa manusia mengolah informasi yang masuk dalam benaknya.

Sebagai bagian dari masyarakat kecil bertahan dari hari ke hari penuh ketidakpastian. Bahwa saya tahu Virus ini tidak bisa di anggap enteng. Apalagi virus varian baru dari Covid 19 ini lebih berbahaya bila tidak di tangani dengan cepat dan tepat. Tapi mengapa kian hari protokol kesehatan dan langkah antisipatip itu seperti tak menunjukkan kabar yang bagus terkait penurunan Covid 19.

Sejak jumlah kematian yang di konfirmasi terinfeksi covid makin meningkat bersama vaksin yang telah hampir merata di seluruh Indonesia.Dan segala bentuk protokol kesehatan yang saya pikir mudah untuk diterapkan. Seperti memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak. Pun protokol ini sudah bisa di pastikan tertib di berbagai penjuru. Rasanya juga belum mampu menekan penyebaran virus Covid 19.

Namun anjuran-anjuran lain seperti PSBB, Dirumahsaja dan PPKM yang giat di suarakan kelas menengah dan media arus utama yang agaknya terasa ganjil. Saya terpaksa bertanya. Apakah dalam semua anjuran ini telah memikirkan kelas warga miskin, mereka yang mengais rezeki di jalan, masyarakat yang tak punya banyak peluang ekonomi di Indonesia. Padahal cicilan rumah , kendaraan dan hidup harian mereka tak pernah mereka tahu nasibnya secara pasti, jika mereka tetap dirumah saja.Upaya mengubah istilah dan slogan yang kian hari semakin bertambah seolah menjadi mantra ajaib untuk mengusir pandemi.

Pasalnya ini akan tetap menjadi hal yang relevan untuk kita bertanya. Apakah rumusan cara hidup, menyulin anjuran dan semua langkah antisipatip ini telah mempertimbangkan jutaan minoritas di Indonesia.

Bagi kaum menengah kebawah yang kalah di negara berkembang: orang miskin, minoritas politik, seksual, pengangguran urban, penduduk rural, dan lain-lain. Kegelisahan menjalani hidup menjadi warga minoritas  jelas semakin nyata sejak hidup harian mereka penuh ancaman dan malapetaka yang disirkulasikan pandemi global Corona. Sudah sejak lama kita hidup di dunia yang serba baur. Yang mungkin memunculkan kekawatiran berlebihan yang bisa memicu tindakan rasial, semacam mengidentikkan orang sebagai pembawa virus Covid-19.

Ketakutan atas perilaku sembrononya salah satu kelompok masyarakat. Kaum minoritas misalnya pedagang kaki lima, warung sederhana, sopir, dan lainya.Tak ubahnya mereka ini seperti menapakkan kaki pada dua daratan. Satu kaki menapaki kecemasan stabilitas ekonomi, sedang satunya pada kekawatiran akan terjangkit virus covid 19. Namun bagi mereka itu semua bukan ketakutan yang mutlak. Sebab tak ada jaminan hidup bagi mereka selama pandemi jika bukan dari dirinya sendiri.

Kita sebut PPKM tapi pada penerapannya ada arogansi dari beberapa petugas. Perusakan lapak dan intimidasi pada pemilik warung. Menjadi berita dan masalah baru bagi kaum minoritas pada penerapan protokol kesehatan saat ini. Pun penyerangan warga kepada petugas PPKM yang tak terelakkan.

Ada indikasi sembrononya kalas minoritas ini bisa saja di picu kekecewaan atas protokol kesehatan yang rasa-rasanya semakin menyudutkan masyarakat kecil. Timbul adanya sentimentil antara petugas dan masyarakat atau sebaliknya. Yang semestinya dimasa-masa sulit yang  menimpa kita bersama ini. Menjadi momentum untuk saling kait dan bersinergi mencari jalan keluar bersama.

Apakah kelas minoritas seperti pedagang, tukang becak, buruh harian ini mutlak melanggar aturan PPKM, apakah benar mereka pembawa dan penyebar virus corona. Sehingga menjadi obyek razia petugas. Sementara mereka tak pernah tahu kalau tidak begitu mereka besok makan bagaimana.Pada fenomena Pandemi global ini kita bisa melihat geliat hidup yang lebih jelas. Bagi warga miskin yang tak banyak pilihan. Urusan hidup semudah hanya bertahan dari hari ke hari. Sejak lama bagi orang miskin kematian dan duka lara dua hal yang begitu dekat dan setiap hari.

Mengubah istilah seakan mampu menjadi strategi untuk menciptakan ketenangan secara psikologis. Dengan membuat istilah-istilah misalnya pandemi menjadi #newnormal. Kemudian di sebarkan melalui berbagai media.

Dengan anjuran yang perlu di patuhi serta ancaman denda dan pidana bila seorang kedapatan melanggar. Ada rasa ragu, ketika dahulu orde baru berupaya memperhalus bahasa. Misalnya buruh jadi pegawai, perempuan jadi wanita. Adalah strategi untuk meredam gejolak perlawanan rakyat untuk mencapai ketentraman jaman. Bisa jadi, memperbanyak slogan PSBB, PPKM dan lain sebagainya. Sebagai upaya serupa dengan orba untuk menyembunyikan ketidakmampuan mengatasi pandemi.Bila dalam kondisi normal kita kesulitan membongkar busuknya berbagai anomali tentang kesenjangan sosial.

Kini dalam kondisi pandemi, kebusukan slogan itu paling tidak mulai terlihat pelan-pelan. Memunculkan opini dari mereka yang tersudutkan yang menganggap bahwa PPKM dan semua anjuran tak sepenuhnya sebagai langkah antisipatif. Bisa jadi hanya protokol bagaimana kelas menengah menciptakan ketenangan dari pandemi.Jauh berbanding terbalik dengan negara maju.

Orang Eropa mungkin bisa sedikit tenang sebab pemerintahnya merespon cepat gejolak pandemi global Covid-19. Setelah menetapkan lockdown pada seluruh negara bagian. Pemerintah Eropa memberi jaminan ketenteraman hidup warganya. Dengan mencukupi hidup harian masyarakat. Serta akses mudah untuk menjangkau informasi yang valid.

Mungkin di negara berkembang serta sulitnya menyaring informasi yang benar. Sebagian dari kelas sosial bisa mengolah informasi, mampu menahan diri, menghindar dari berbagai informasi yang disebarkan oleh berbagai pihak untuk menjadikan keuntungan di tengah pandemi. Tapi kita tak pernah tahu apakah diaspora minoritas di kota dan orang-orang di desa memiliki keistimewaan itu.

Potret ironis, di satu sisi pandemi global corona memampatkan jarak spasial. Mengaburkan definisi tempat dan geografis, ras suku serta agama. Yang secara serentak di lima benua menghadapi masa sulit pandemi. Dan bagaimana saling bekerjasama untuk menekan penyebaran Covid 19 serta memulihkan berbagai sektor kehidupan kembali normal.

Akan tetapi, di sisi lain, kodrat manusia sebagai tempatnya salah. Kita tetap kukuh mengategorikan manusia dalam kotak stigma yang rasial, atas perilaku seseorang yang diidentikkan sebagai pembawa dan penyebar virus. Kita mewarisi sirkulasi hidup di tengah arus pekat godaan untuk menjadi rasis dalam banyak hal termasuk Corona.

Sumber bacaan: serunai.co

Adi Prabowo
Adi Prabowo
Ig: waspirin_ : petani muda, calon kepala desa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.