Jumat, April 19, 2024

Kontradiksi Korea Utara [Bagian 2]

Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Penulis untuk beberapa media, kini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kekacauan akibat kontradiksi Korea Utara tidak hanya berhenti pasca Perang Dingin dan keadaan ekonomi-politik yang berubah secepatnya. Melainkan juga menerus hingga anak dan cucunya naik takhta.

‘Anak dan Cucu Tercinta’

Pemerintahan baru Kim Jong-Il menjadi era baru dalam perekonomian. Krisis besar ini, yang mengakibatkan hampir seluruh masyarakat pengangguran dan membuat masyarakat banting setir untuk memenuhi kebutuhannya. ketika kontrol negara menyerah pada privatisasi besar-besaran, tetapi itu imbang lebih ekstrim dan aneh di Korea Utara.

Untuk mendapatkan makanan, para pekerja memulai untuk memindahkan dan menjual atau menukar apa pun yang berharga dari tanaman mereka. Masyarakat terutama perempuan mulai menjual berbagai macam barang dan membuat barang sendiri di rumah. Pada akhirnya, secara perlahan ekonomi terencana hancur ditangan pasar.

Dengan merebaknya jangmadang-jangmadang—merupakan pasar lokal yang dianggap pemerintah sebagai pasar gelap—secara tidak langsung di berbagai kota penjuru negeri. Pada waktu yang sama, merebaknya pula toko penukaran mata uang dibuka. Toko-toko pertukaran ini juga terlibat dalam sejumlah mata uang lainnya transaksi, termasuk meminjamkan uang, meski dengan suku bunga selangit.

Prostitusi, yang sebagian besar dihapuskan di DPRK pada akhir 1950-an, muncul kembali. Perpustakaan pribadi, tempat orang Korea Utara dapat membayar untuk meminjam populer buku-buku yang tidak dapat ditemukan di perpustakaan resmi setempat, juga membuka pintunya.

Bimbingan privat juga berkembang pesat, karena keluarga kaya baru siap untuk membelanjakan uangnya sejumlah besar uang untuk pendidikan anak-anak mereka. Namun pemerintah, Kim Jong-Il pada tahun dekade 90-an menyatakan sangat kontradiksi dan memuakkan bahwa,

“Our socialism has been able to grow stronger and develop steadily, enjoying the unqualified support and confidence of the popular masses, because our Party has strengthened the driving force of the revolution and has built our socialism on the most durable and broadest foundation of social classes by promptly frustrating the counter-revolutionary schemes of a handful of hostile forces on the strength of its just class and mass line, at the same time as rallying different sections of the broad masses behind itself and the Government of the Republic.”

Di lain kesempatan pada tahun 1994, Kim Jong-Il mengungkapkan, “By stepping up economic construction, our Party has consolidated and developed the socialist economic system and built a powerful socialist and independent national economy. It has thereby laid solid foundations for satisfying the people’s material life through our own efforts.”

Pada kenyataannya justru berlainan 180° sama sekali. Dikutip dari penelitian Beyond Parallel CSIS, provinsi di seluruh Korea Utara ditemukan bahwa 72% responden menerima hampir semua pendapatan rumah tangga mereka dari market.

Selain itu, 83% responden menemukan bahwa barang dan informasi dari luar memiliki pengaruh yang lebih besar pada kehidupan mereka daripada keputusan pemerintah Korea Utara. Bagaimanapun secara hukum, perkembangan ekonomi pasar dikalangan rakyat Korea Utara sampai sekarang adalah ilegal. pemerintah memberikan kompromi samar-samar akan perkembangan pasar ini.

Disisi lain, apa yang dikatakan Kim Jong-Il tentang independent national economy adalah bias dan fantasi kosong. Karena 1 tahun berselang perkataan Kim Jong-Il ini, Korea Utara secara resmi meminta bantuan secara internasional. Berbondong-bondong mulai dari Korea Selatan, Tiongkok hingga Amerika Serikat memberi bantuan pangan.

Dilansir berbagai sumber, total bantuan pangan dari dekade 90-an hingga permulaan tahun 2000 adalah sekitar 5.000 ribu ton. Tidak bisa kita nyatakan bahwa ini adalah sebuah ekonomi nasional yang mandiri, sebuah ekonomi nasional mandiri bisa kita katakan berdikari.

Saya tidak tahu mengapa pemerintah dan jajaran birokrasi gemar memberi cekokan utopia yang kosong demi rakyatnya sementara pemerintahan Korut asyik korupsi. Saat itu selalu saja menyatakan bahwa ekonomi Korut berada dibawah sosialisme yang tak tergoyahkan, tapi kenyataannya? Biar sejarah yang menjawab.

Setelah wafatnya Kim Jong-Il, anaknya pun naik takhta. Jong-Un juga selalu menggembar gemborkan tentang sosialisme yang terjadi di Korea Utara. Tidak banyak berubah pada ekonomi dibawah pemerintahan Kim Jong-Un. Pasar gelap semakin banyak, pemerintah masih samar-samar dalam eksistensi pasar ini, masyarakat mulai beralih memenuhi kebutuhannya sendiri melalui pasar bukan public distribution system.

Ada 436 pasar yang secara resmi dikenai sanksi di Korea Utara, menurut penelitian yang dirilis pada 26 Agustus 2018 dari lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington, dengan bantuan dari lembaga yang berada di Seoul, Institut Pengembangan Korea Utara. Bersama-sama, pasar-pasar ini menghasilkan sekitar $56,8 juta setahun bagi pemerintah melalui pajak dan sewa. Yang terbesar, pasar Sunam, di kota terbesar ketiga di negara itu, Chongjin, menghasilkan hampir $850.000 setahun.

The New York Times melaporkan, direktur dinas intelijen Korea Selatan mengatakan bahwa setidaknya 40% dari populasi tersebut terlibat dalam beberapa bentuk perusahaan swasta. Mungkin pepatah buah tidak jauh jatuh dari pohonnya pantas disematkan pada Kim Jong-Un karena lagi-lagi dia berkata sama seperti ayahnya dahulu

Mengapa Bisa Terjadi?

Mengapa retorika pemerintah dengan realitas kondisi yang ada selalu dibolak-balikkan dan bersifat bertentangan satu sama lain? Seperti mereka ketakutan untuk mengatakan sebenarnya secara riil.

Jika ditilik secara historis, memang, Korea Utara dan pemimpinnya ingin membangun citra positif agar bisa dikenang sebagai pemimpin yang hebat, tangguh, dan dijuluki sebagai ‘Tuhan’. Pengkultusan individu yang disubjekkan oleh keluarga Kim memang dibutuhkan mereka sebagai pengukuhan bahwa hanya keluarga Kim yang dapat memerintah negara Korut.

Hal ini juga sejalan dengan analisa New Focus International, bahwa kultus kepribadian, khususnya seputar Kim Il-sung, sangat penting untuk melegitimasi suksesi turun-temurun keluarga, dan Park Yong-soo mengatakan dalam Australian Journal of International Affairs bahwa “gengsi Suryong [Pemimpin Besar] telah diberikan prioritas tertinggi di atas segalanya di Korea Utara”.

Jawaban kedua diberikan dari kondisi ideologis Korea Utara sendiri. Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, perkembangan pemerintah Korut selalu mengatakan “sosialisme sebagai basis independen, tidak bergantung kepada negara lain”. Akhir abad ke-20, mereka telah menggunakan Juche sebagai ideologi, di mana menambah semangat kemandirian mereka dibanding tahun-tahun awal mereka.

Juche terbagi menjadi 4 bagian masing-masing, yakni chuch’echajucharip, dan chawi. Dalam kemandirian ekonomi (charip), mereka menganggap bahwa sosialisme Korut dibangun berdasar prinsip Kimilsungisme. Prinsip-prinsip inilah yang secara tidak langsung melegitimasi pemimpin-pemimpin Korut, bahwa hanya pemimpin merekalah yang dapat memajukan ekonomi negara mereka. Jika gagal? Balik lagi dengan membangun citra berhasil kemandirian!

Baca: Kontradiksi Korea Utara [Bagian 1]

Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Penulis untuk beberapa media, kini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.