Pers barat sampai pers internasional seringkali menyebut negara Korea Utara berlandaskan sistem sosialisme mandiri nasional. Sejak 1960 sampai sekarang, klaim pemerintah Korea Utara acapkali menyebut bahwa mereka (baca: rakyat Korut) membangun dan sudah tingkat sosialisme pada puncak tertingginya.
Kim Il-Sung, Kim Jong-Il sampai Kim Jong-Un dan jajaran birokrasi dengan berbangga diri selalu menyampaikan dalam pidato bahwasanya masyarakat Korut selalu dalam proses industrial dan menumbuh-kembangkan masyarakat sosialis menjadi kuat dan produktif.
Juche — ideologi Korea Utara — yang tidak jauh berbeda dari varian Marxisme-Leninisme. Berarti menerima perkembangan sejarah ekonomi Marxian yang menganggap bahwa sosialisme — dari segi apapun — lebih tinggi daripada negara kapitalis maju sekalipun seperti Amerika Serikat, Eropa.
Namun, dikutip tulisan Martin Hoffer dan Steffen Fritz yang menyatakan 60% rata-rata/15 juta penduduk Korea Utara hidup dibawah bayang-bayang kemiskinan. Bagaimana bisa sistem sosialisme yang secara teori lebih maju dan produktif, selalu juga diklaim pemerintah yang sudah mencapai tahap tertinggi bisa bertentangan satu sama lainnya.
Hal yang sangat kontradiktif, mind-blow, bersifat fantasi kosong. Lalu, apakah benar sebagaimana dinyatakan pihak pemerintah bahwa Korut sudah mencapai sosialisme? Jika iya, apakah perkembangan secara ekonomi, teknik sudah menyeluruh total? Dalam menjawab pertanyaan ini, harus berdasarkan realitas Korea Utara dan perkembangan ideologis yang mereka gunakan.
‘Ayah Tahu Segalanya’
Dalam periode tahun 1960–1990, mungkin bisa dikatakan periode Golden Age bagi Korea Utara, karena masa itu implementasi pemerintah ialah sosialisme terencana. Bagaimanapun mulai dekade-dekade itu, ekonomi Korea Utara mengalami peningkatan tajam dengan PDB nominal per kapita meningkat dari $384 menjadi $836 pada tahun 1985, peningkatan tahunan rata-rata dalam tingkat pertumbuhan negara tersebut hingga 25%.
Percepatan kenaikan tajam ekonomi Korut tidak lepas dari industrialisasi negara, urbanisasi dan program “Seven Years Plan”-nya. Tercatat dalam tahun 1960-an, terdapat sekitar 70% angkatan kerja diubah menjadi pertanian kolektif, 2.295 perusahaan negara (BUMN), 642 koperasi. Pada tanggal 1 Januari 1982, Kim Il-Sung dengan bangga menyatakan dalam pidato, “This is honourable and valuable work for the development of our socialist system and the rapid achievement of the complete victory of socialism and national reunification.[1]”
Dan dalam kesempatan lain, Kim Il-Sung menyitir perekonomian mandiri, “Nearly 30 years have passed since our people began the full-scale undertaking of tasks the complete victory of socialism following the triumph of the socialist revolution. During this period our people have made big strides in their struggle for the complete victory of socialism.”
Perusahaan negara secara keseluruhan hampir 80% memberikan output 91% total keseluruhan industri. Sungguh mencengangkan apalagi pada periode itu, Korea Utara menjadi Ibukota/ kiblat fashion dan dunia modern dari Asia. Bagaimanapun, masyarakat dunia melihat perkembangan material ekonomi Korut sedang masa tinggi-tingginya.
Namun, hal yang tidak pernah diungkap kepada rakyat dan masyarakat dunia ialah periode 1960–1980 (Golden Age), Korut sangat bergantung kepada Uni Soviet, Tiongkok dan negara-negara Blok Timur. Pemerintah Korut tidak mengakui secara terbuka tentang keberadaan bantuan ini, bahkan pers negara tidak pernah selintaspun mengatakan — era emas ini — adanya bantuan tersebut.
Pemerintah bahkan Kim Il-Sung sendiri selalu mengedepankan propaganda “sulf-suffiency”, “victorious socialism” sebagai bentuk kemandirian. Sosialisme bukanlah soal bentuk usaha kepemilikan ditangan negara saja, melainkan lebih dari itu, tingkat produktivitas kerja yang tinggi dan material tinggi pula karena fundamental untuk penjaminan kepada masyarakat.
Hal yang sangat naif dan kontradiktif pada Korut, satu sisi PDB meroket naik dengan sosialisme dan “kemandiriannya”, pada sisi lain terdapat dot-dot yang memperlihatkan sebagian besar “kemandirian” itu dibantu Blok Timur. Sehingga bisa disimpulkan bahwa perkembangan material ekonomi Korut secara “nyata” tidak seperti statistik yang berseliweran.
Cepat atau lambat, kontradiksi yang ditutupi ini pasti akan memperlihatkan dengan sendirinya. Dan itu benar-benar terjadi pada dekade 90-an.
Pada periode 1980–1990, hubungan antar Uni Soviet dan Korut tidak seharmonis sebelumnya.[2] Seiring berjalannya dramatik hubungan ini, Uni Soviet menuntut akan pengembalian bantuan material selama 1960–1980-an.
Ketika kolapsnya Uni Soviet dan Blok Timur (1989–1991), segala bantuan bidang apapun diberhentikan total. Sehingga mengakibatkan penurunan pendapatan perdagangan dan PDB yang signifikan. Kebutuhan pokok akan menjalankan industri pun seret dan terhenti karena ketergantungan akan minyak dari Uni Soviet.
Alhasil banyak sekali pabrik-pabrik negara tidak bekerja sama sekali dan mengakibatkan pekerja-pekerja menganggur. pemerintah Korea Utara menuntut agar karyawan laki-laki melapor untuk bekerja bahkan jika perusahaan mereka tidak benar-benar berjalan sama sekali. Pada akhirnya tahun 1992, turun dengan faktor kelipatan 10 dibandingkan tingkat tahunan rata-rata 1985–1990.
Dalam bidang agrikultur, Korut sangat berhasil dalam pertanian kolektifnya karena pencapaian ini tercapai — 1950-an — tanpa mengakibatkan kelaparan besar seperti di Tiongkok. Tetapi selama krisis, kolapsnya Uni Soviet, 70% impor menurun drastis. Pertanian kolektif yang maju ini nampak terbongkar tambal yang ditutupinya.
Pertanian koletif “mandiri” yang berhasil ini bergantung dan tidak bisa lepas dari bantuan minyak murah, suku cadang, dan pabrik pupuk kimia dari Uni Soviet karena bahan pokok tersebut digunakan untuk menjalankan sistem irigasi, dan pompa. Dan, gagal panen tak terelakan. Sehingga sangat ironi dan kontradiksi lagi antara yang digembar-gemborkan pemerintah dengan realitanya.
Gagal panen menyebabkan tidak terpenuhinya food distribution system. Biasanya — sebelum krisis — orang biasa menerima setengah kilo daging babi sampai lima kali setahun dan memperoleh kalori minimum harian yang dibutuhkan melalui jatah biji-bijian dan gandum. Selama krisis, untuk mencegah terjadinya bencana kelaparan, pemerintah Korut harus menargetkan produksi dari 5,2 juta ton menjadi 5,5 juta ton biji-bijian.
Karena bencana banjir melanda sebagian besar negeri, produksi hanya mencapai 2,5–3 juta ton. Sehingga food distribution system tidak bisa mendistribusikan kebutuhan mendasar rakyat. Alhasil bidang agrikultur paling terkena dampak dan terjadi great famine mengerikan. Tanpa Uni Soviet dan Blok Timur, “kemandirian” Korut nampak lemah tak berdaya.
Kemampuan tak berdaya ini terus akan nampak pada pemerintahan selanjutnya dan lanjutnya.
Daftar Pustaka
[1] Joseph Sang-Hoon Chung. (Jun 1972). North Korea’s “Seven Year Plan” (1961-70): Economic Performance and Reforms. Berkeley: University of California Press.
[2] Il-Sung, Kim. (1996). Kim Il Sung Works, Volume 41, January 1988-May 1989. Pyongyang: Foreign Languages Publishing House.