Jumat, Oktober 4, 2024

Kontestasi Wacana Menuju Pemilu 2019

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Kita dalam beberapa hari ini akan disuguhi drama pertarungan legislatif dan eksekutif. Yang mana semua orang akan all out berkampanye dan berubah menjadi militan untuk mengantarkan jagoannya memenangkan kontes pemilihan.

Semua berlomba-lomba menjadi pembela terdepan, apapun yang berkenaan dengan idolanya akan dibabat habis, sekalipun itu keluarganya sendiri. Fenomena ini memang dapat dilihat polanya, ketika perpolitikan hanya dimaknai sebatas memilih, maka yang berkembang kini lebih kepada kecenderungan orientasi pada calon pemimpin, ketimbang orientasi pada isu ataupun partai politik itu sendiri.

Pergeseran ini menjadi sebuah jalan yang cukup terjal bagi wacana penciptaan kesepakatan politik. Di tengah masyarakat yang bergeser ke populisme kanan, kelompok progresif pun tengah terombang-ambing bahkan terjebak dalam skema lesser of two evil. Dengan segala analisisnya, mengenai jalan demokrasi ketika dipimpin oleh nomor satu atau dua. Hal ini secara tidak langsung juga turut mempengaruhi daya tawar, kelompok-kelompok lokal, terutama mereka yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

Kelompok-kelompok lokal yang terdiri dari petani, buruh, masyarakat yang berkonflik dengan korporasi, masyarakat yang berjuang demi melindungi ruang hidupnya. Tidak lagi memiliki posisi tawar yang kuat, guna mengikat seorang calon agar ketika terpilih nanti, mampu dikontrol dan menjalankan mandat dari pemilihnya. Absennya politik rasional dalam akar pemilu 2019 ini, memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya ialah kuatnya kelompok oligarki, yang terdiri dari raja-raja kecil di Indonesia. Mereka memiliki kuasa teritori, baik ekonomi maupun sosial-politik.

Argumentasi tersebut dapat dikontestasikan dengan membangun sebuah diskursus mengenai, apakah demokrasi akan tercapai dengan pemilu saja? Tentu ini akan menjadi pembahasan yang cukup mendalam, dan panjang. Tetapi, poin yang penulis lihat ialah perihal perpolitikan Indonesia yang jauh dari akar rumput, alias bergeser ke demokrasi oligarki.

Salah satu penyebab dari situasi ini ialah, mereka mampu mereorganisir kekuatan pasca orde baru. Menjadi kelompok-kelompok kuat di berbagai lini, dengan sokongan penguasaan ekonomi, mereka kemudian menciptakan gurita-gurita kekuasaan, guna mengamankan kekuasaan mereka, baik secara politis maupun ekonomis.

Hal ini tak mampu dilakukan oleh kelompok progresif, alih-alih berhasil menjatuhkan Suharto. Kelompok ini berdiaspora semakin kecil dan mengecil, dengan problematikanya. Mereka memilih jalur yang jauh dari imajinasi konfrontasi politik, dengan memilih menjadi bagian dari pengamat dan pendorong regulasi. Bahkan beberapa melakukan infiltrasi ke dalam, guna mengubah corak tradisional. Namun, lagi-lagi tak cukup signifikan.

Tentu, perubahan arus politik ini dimanfaatkan oleh kelompok lama yang mapan. Dengan penguasaan penuh di legislatif dan eksekutif. Mereka membuat regulasi-regulasi yang semakin mengarahkan pada penguatan diri mereka. Aturan pendirian partai politik dengan syarat yang cukup berat, sangat berkontradiksi dengan upaya mendiseminasi demokrasi pada tingkat lokal. Karena situasi tersebut menghambat partai lokal yang berasal dari kelompok melawan. Karenanya posisi tawar mereka menurun, dan harus terjebak dalam kepentingan kelompok tradisonal yang menjelma menjadi oligarki.

Selain itu, adanya batas ambang pencalonan seorang presiden. Juga menjadi langkah kemunduran, karena tidak akan ada lagi calon alternatif yang akan mewarnai perpolitikan Indonesia. Skema itu juga dirancang untuk menguatkan basis tradisional, terutama dalam wacana konsolidasi kekuatan. Mereka menjadi kelompok elite yang sulit tersentuh, dan jangan harap ada posisi tawar serta deal politik. Jikalaupun ada, tidak ada kontrol yang mumpuni. Apalagi ditambah dengan keberhasilan mereka menciptakan atau mengarahkan pemilih ke persoalan orientasi calon pemilih.

Perpolitikan kita akhirnya hanya terjebak para suatu keterpaksaan, memilih atau tidak memilih. Keduanya memiliki konsekuensi dan implikasi logis. Tentu ini menjadi salah satu catatan penting, yang mana ide-ide demokrasi telah bergeser secara makna dan esensinya. Lantas, apa yang akan dilakukan oleh kelompok progresif sekarang? Atau bagaimana kelompok pejuang mesiasatinya? Pertanyaan mendasar bagi kita semua, jikalau golput apa yang akan kita lakukan? dan ketikan memilih apapula yang bisa kita lakukan?

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.