Jumat, Maret 29, 2024

Konsumsi dan Pergeseran Orientasi

Indah Wahyuningsih
Indah Wahyuningsih
Alumni SKSG UI

Sektor konsumsi menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal II tahun 2018 mencatat, kontribusi rumah tangga sebesar 55,43 persen, dengan pertumbuhan mencapai 5,14 persen.

Kita sepatutnya tidak berbangga dengan kondisi ini, karena sebagian besar barang konsumsi kita berasal dari impor sehingga hanya memberikan efek pengganda (multiplier effect) dan tidak bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

Negara dengan tingkat konsumtif masyarakat yang tinggi, tentunya menjadi daya tarik dan target pasar bagi negara-negara produsen. Budaya konsumtif ini adalah bentukan dari pola hidup modern yang tawarkan globalisasi. Konsumsi yang tadinya sekedar memenuhi kebutuhan kemudian bergeser menjadi bagian dari gaya hidup.

Gaya hidup selalu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, kelas dan stratifikasi sosial individu. Segalanya melulu dilihat tampak luar. Sebab, image yang ditampilkan atau citra yang direfleksikan selalu dianggap mendefinisikan eksistensi. Ketika ideologi gaya hidup semacam ini menjadi terasa lazim dan normal, imagologi (ilmu pencitraan) bukan lagi suatu yang jauh dari sekedar wacana. Ia telah benar-benar berada di sekeliling kita, bahkan lebih dekat, menjadi suatu yang diam-diam kita anut.

Perkembangan teknologi, pesatnya pembangunan, dan industrialisasi menjadi faktor internalisasi konsumerisme dalam masyarakat. Media massa dan sosial media memupuk budaya konsumtif masyarakat dengan menanamkan kesadaran semu melalui manipulasi keinginan menjadi kebutuhan. Kita diperhadapkan pada situasi yang telah dikonstruksikan oleh kesadaran yang “disuntikan” melalui media.

Iklan menjadi penggerak kesadaran untuk menginginkan produk, baik secara langsung maupun tidak langsung. Iklan kemudian menjadi seni meyakinkan individu untuk membelanjakan uang yang tidak dimiliki untuk sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh individu.

Iklan cenderung mendorong individu untuk menjadi seperti apa yang ditampilkan. Misalnya dengan memonopoli standar kecantikan bagi perempuan, sehingga mendorong mereka untuk mencapai standar kecantikan yang tidak relistisl. Paparan gambaran tubuh yang ideal kemudian menurunkan kepuasan perempuan terhadap daya tarik mereka. Hal ini mendorong perempuan mengkonsumsi berbagai produk guna mencapai standar kecantikan yang tidak terjangkau.

Selain itu, pelanggaran privasi oleh perusahaan data dengan melacak situs yang dikunjungi guna mengetahui kecenderungan konsumsi individu, sehingga bermunculannya iklan produk yang sesuai dengan kecenderungan konsumsi kita. Hal ini memungkinkan semakin mudahnya individu mengkonsumsi produk ataupun jasa.

Kemudahan akses konsumsi yang ditawarkan kepada masyarakat penjunjung tinggi shortcut juga mendorong berkembangnya budaya konsumtif masyarakat. Kemudahan berbelanja melalui gawai dengan pembayaran melalui dompet digital menjadikan sulit untuk menekan hasrat konsumsi.

Konsumsi tidak lagi dianggap sebagai upaya menghabiskan nilai guna suatu barang atau jasa, melainkan menjadi upaya untuk menggunakan “prestise” dari barang atau jasa tersebut dalam membentuk image atau citra diri.

Konsumerisme kemudian menciptakan masyarakat berwatak hedonis, dan cenderung egosentris. Hal ini bisa berimplikasi pada hilangnya kepekaan sosial masyarakat akibat pengejaran kepuasan yang tidak terbatas.

Padahal konsumsi harusnya berorientasi pada kebutuhan (needs), bukan keinginan (wants). Kepuasan (utility) maksimum berusaha diperoleh melalui alat-alat pemuas yang terbatas, akibatnya eksploitasi terjadi demi memperoleh kepuasan maksimum.

Pola konsumsi harusnya didasarkan pada kepentingan (maslahah) yang memiliki tingkatan-tingkatan kepentingan yang secara normatif menjadi barometer dalam menentukan prioritas konsumsi. Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin membagi tiga tingkatan konsumsi.

Pertama daruriah atau kebutuhan, merupakan tingkatan konsumsi yang menyangkut kebutuhan pokok yang bersifat esensial serta harus dipenuhi individu demi kelangsungan hidupnya.

Kedua hajah yang bisa diartikan sebagai kesenangan atau kenyamanan, tingkatan konsumsi ini dipenuhi untuk menghilangkan kesukaran individu sehingga cenderung subjektif.

Ketiga tahsinaat atau kemewahan, pada tahapan ini individu melakukan konsumsi untuk memperoleh kemegahan dan kemewahan untuk mempertahankan identitas dan kelas sosial.

Hirarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis.

Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode.

Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Sehingga konsumsi cenderung didorong oleh hasrat terhadap barang-barang psikis guna menopang peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.

Indah Wahyuningsih
Indah Wahyuningsih
Alumni SKSG UI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.