“Conspiracy theories are deeply attractive to people who have a hard time making sense of a complicated world and who have no patience for less dramatic explanations // Penganut teori konspirasi adalah mereka yang kesulitan memahami dunia yang rumit dan tak punya kesabaran untuk penjelasan tak dramatis.”
Agaknya kutipan dari Tom Nichols (2017) tersebut bisa merangkum seluruh isi pikiran yang ingin saya jabarkan berikut ini. Saya sengaja menerjemahkan kutipan tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar jauh lebih mudah dimengerti untuk kamu pemuja teori konspirasi yang seringkali malas berpikir runut dan hanya mampu mengambil jalan pintas dengan mencari jawaban-jawaban tak rasional.
Jika kamu tidak ada waktu atau tidak tertarik untuk membacanya, silakan tutup laman ini dan lanjutkan hidupmu. Namun jika kamu ingin melanjutkannya, saya berikan satu syarat sebelum membaca lebih dalam. Tanamkan di kepalamu jika: hidup memang rumit dan jawaban atas segala pertanyaanmu memang tidak pernah sesederhana yang kamu pahami.
Hampir seluruh teori konspirasi lahir dari kemalasan berpikir. Teori konspirasi selalu mensyaratkan kambing hitam dan over-simplifikasi masalah, mulai dari elit global, iluminati, vaksin dengan chip, CIA, Cina, Yahudi, dan tuduhan konspirasi favoritmu lainnya. Singkatnya, konspirasi hanya mengecilkan masalah dan mempersempit realitas atas dunia.
Konspirasi banyak digemari disebabkan penganutnya merasakan sensasi delusi menjadi “makhluk paling istimewa”, seakan memiliki kunci jawaban dari isu besar di dunia. Hal itu yang dipertegas dengan penelitian psikologi sosial dari University of Kent berjudul “I Know Things They Don’t Know!” The Role of Need for Uniqueness in Belief in Conspiracy Theories (Lantian, A., Muller, D., Nurra, C., dan Douglas, K. M., 2017) yang menyatakan jika orang yang memiliki kebutuhan untuk terlihat unik (need for uniqueness) cenderung lebih besar kemungkinannya untuk mempercayai teori konspirasi. Penganut teori konspirasi merasa memiliki pengetahuan lebih dalam ketimbang orang lain dan menjadi “expert/ahli/pakar” tanpa benar-benar menempuh jalan sewajarnya untuk ditahbiskan secara formal sebagai pakar. Barangkali hal itu juga mendasari Tom Nichols yang menganggap jika orang yang percaya teori konspirasi kebanyakan adalah orang-orang narsistik.
Konspirasi juga tumbuh subur karena manusia adalah makhluk yang bias. Ketika kita sudah mempercayai sesuatu tanpa mempertanyakannya, alam bawah sadar akan mengolah pemikiran kita dalam hal apapun di tiap segi kehidupan, hingga menjadi “confirmation bias“. Imbasnya, kita tidak terbiasa untuk mengkritisi informasi apapun yang menerpa dan cenderung menerima informasi yang sesuai dengan nilai (value) yang ada di dalam diri, tanpa melakukan adanya validasi pada informasi (baca: teori konspirasi) tersebut.
Jangan salah sangka, setiap orang memang punya compass moral, value, dan standing ground masing-masing. Dalam bahasa akademis penelitian sosial, tepatnya paradigma konstruktivis atau kritis, setiap orang memang tidak bebas nilai. Tidak ada manusia yang tidak bias, hanya saja sains melakukan berbagai upaya validasi informasi dengan tujuan untuk meminimalisir bias.
Saya percaya bahwa tidak ada di muka bumi yang mutlak dan tidak bisa digugat. Namun jika ingin mempertanyakan kebenaran, apalagi untuk hal yang bersifat sangat teknis dan metodologis seperti dunia medis, penggugat perlu memiliki kapabilitas dan pengetahuan yang cukup mengenai dunia tersebut, dengan menggugatnya melalui jurnal ilmiah, penelitian, serta temuan dalam lingkup kesehatan. Tidak percaya terhadap jalur akademis dan kaidah penelitian? Maka gugat dulu jalur ilmiah tersebut dengan bukti konkret serta analisis yang tak cacat logika, baru kamu dapat melangkah ke gugatan selanjutnya.
Terlalu panjang dan melelahkan? Memang iya, tapi itu karena kaidah akademis punya rangkaian logika yang -hampir pasti- jauh lebih sistematis ketimbang akal pendekmu. Kaidah akademis melewati berbagai uji coba, pengumpulan data, keabsahan data, dan serentetan langkah rumit lainnya, agar suatu penelitian sebisa mungkin akurat, meminimalisir bias, serta memiliki bobot analisis yang cukup hingga mencapai suatu kesimpulan. Dari situ kemudian hasil penelitian ilmiah tersebut (termasuk tentu saja dalam bidang medis) menjadi dasar bagi pengambil kebijakan untuk menentukan keputusan.
Sains memang tidak selalu pasti memberikan jawaban yang tepat untuk menangani suatu isu. Namun tentu saja sains jauh lebih bisa diandalkan ketimbang teori konspirasi yang lahir dari kemalasan berpikirmu itu.
Hari-hari penuh kecemasan ini kita lewati dengan suasana karantina yang melelahkan, suara sirine ambulans yang rutin bergema memekakkan telinga dari kejauhan, serta antrean rumah sakit yang mengular bagi para pasien. Saat ini kita sedang dalam penantian panjang yang masih belum tampak ujungnya. Lorong yang masih gelap.
Jurnalis Kompas dan penulis Ahmad Arif melalui cuitan di Twitter menggambarkan kekelaman pandemi dengan menggetarkan jiwa, bahwa bahkan bencana tsunami dan gempa bumi tidak lebih menakutkan dari pandemi ini. Tsunami dan gempa bumi memang mematikan dan memakan korban jiwa, tapi momennya cenderung seketika. Sementara pandemi meneror dalam waktu yang panjang, satu per satu kawan dan saudara berguguran. Merayap dan berlipatganda.
Dalam fase yang sangat memprihatinkan seperti ini, tentu saja teori konspirasi tidak membantu apa-apa, malah semakin membuat masyarakat yang termakan cerita tersebut abai. Kebebalan hanya memperburuk keadaan dan kemalasan berpikirmu hanya membuat penderitaan ini kian panjang serta menghabiskan daya hidup.
Daftar Pustaka:
Arif, A. (2021). https://twitter.com/aik_arif/status/1411318449976926211. Diakses pada 11 Juli 2021 19.00 WIB.
Lantian, Anthony and Muller, Dominique and Nurra, Cecile and Douglas, Karen (2017) “I know things they don’t know!” The role of need for uniqueness in belief in conspiracy theories. Social Psychology, 48 (3). pp. 160-173. ISSN 1864-9335.
Nichols, T. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters. USA: Oxford University Press.