Para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah secara historis membawa paham monoteisme (Tauhid) sebagai ajaran ketuhanan lalu pembebasan sebagai ajaran sosial untuk melepaskan penindasan-penindasan yang terjadi dalam suatu kaum yang dibebankan oleh penguasa.
Artinya konsep syahadat tauhid sudah diajarkan sebelum munculnya agama Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran yang dibawakan Nabi Muhammad sebagai wahyu dari Allah hadir di masa Jahiliyah yang memiliki kebobrokan moral dalam kemanusiaan.
Perbudakan, kemiskinan, pengekangan perempuan semua terjadi di masa tersebut. Wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah melalui seorang manusia mengajarkan manusia untuk membaca (Al-Alaq 1-5).
Nabi Muhammad yang sedang berdiam diri memikirkan kondisi masyarakat saat itu di sebuah Gua mandapatkan wahyu yang meyuruh manusia untuk membaca (Iqra) kondisi kebobrokan moral dan dituntut untuk membawa kebebasan masyarakat arab dari kejahiliyahan tersebut
Gerakan-gerakan pembebasan tersebut haruslah direnungi bersama oleh kita umat muslim bahwa gerakan tersebut adalah kemenangan yang sesungguhnya dalam Islam. Di era kontemporer saat ini, menarik untuk dianalisa organisasi-organisasi gerakan Islam yang melakukan semangat pemebebasan salah satunya adalah Muhammadiyah.
Muhammadiyah melalui tujannya dalam menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya tidak mengutamakan Islam sebagai simbolik tapi sebagai nilai yang bisa diimplementasikan bagi seluruh masyarakat.
Secara historis Muhammadiyah yang di inisisasi oleh KH. Ahmad Dahlan merupakan gerakan Islam yang berusaha membebaskan masyarakat Indonesia dari penjajahan yang memiskinkan dan membantu kesengsaraan masyarakat dengan mendirikan berbagai lembaga yang bisa disebut Amal Usaha Muhammadiyah yang terinspirasi dari umat kristiani yaitu rumah sakit atau dulu disebut Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU), panti asuhan, panti jompo dan berbagai lembaga sosial yang lainnya
Beberapa tokoh Barat salah satunya Charles Kurzman mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Modernis yang memfokuskan mengislamkan masyarakat daripada mengislamkan negara maksudnya.
Islam sebagai simbolis belum tentu mampu menyelesaikan berbagai persoalan dalam negara, apabila masyarakatnya tidak mengerti arti islam. Tentu saja islam yang sebenar-benarnya.
Akan tetapi dalam bernegara, Muhammadiyah memiliki konsep yang disebut Daarul ‘Ahdi Wa Syahadah artinya Muhammadiyah dalam bernegara menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi negara yang kesepakatannya (‘Ahdun) telah ditentukan oleh pejuang-pejuang terdahulu melalui kesaksian-kesaksian (Syahdah) peristiwa dulu meskipun dalam prakteknya Muhammadiyah tidak berkecimpung dalam perpolitikan di Indonesia tapi tidak melarang kader-kadernya untuk berpolitik, asalkan tidak membawa muhammadiyah sebagai identitas politik.
Sebagai contoh adalah salah satu tokoh Muhammadiyah yang terkenal yaitu, Amien Rais. Muhammadiyah secara politik sebenarnya sangat kuat diidentikkan dengan Amien Rais yang ingin menyatukan organisasi berlambang matahari ini dengan PAN.
Sayangnya elite muhammadiyah tetap berpegang teguh dengan konsep netralnya dalam berpolitik dengan tidak memihak kemanapun sehingga memupuskan harapan Amien Rais.
Di tahun 2019 ini, yang akan menjadi pesta demokrasi 5 tahunan Muhammadiyah sendiri belum menentukan keberpihakannya pada salah satu paslon karena muhammadiyah tetap berpegang teguh kepada prinsip perpolitikkan Muhammadiyah meskipun, Amien Rais secara tak langsung menuntut muhammadiyah agar memihak pada salah satu paslon presiden 2019 secara institusi. Pernyataan tersebut disampaikan di sela tablig Akbar dan resepsi milad ke 106 Masehi.
Muhammadiyah di Islamic Center Surabaya. Hanya saja, di tengah-tengah konstelasi politik Ketum PP Muhammadiyah menyampaikan pesan untuk segenap warga Muhammadiyah dalam menghadapi Pemilu 2019.
Haedar meminta warga Muhammadiyah bebas dalam menentukan hak politiknya tetapi harus bersikap arif menghadapi perbedaan politik. Adapun dalam pernyataan sikap Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Pemuda Muhammadiyah (PM), dan Nasyiatul Aisiyah (NA) secara institusi menyatakan netralitas dalam pemilu secara konsisten dan teruntuk Angkatan Muda Muhammadiyah untuk menggunakan hak politik serta berperan aktif melakukan edukasi politik ditengah-tengah masyarakat.
Artinya, sikap Muhammadiyah yang tegas mengambil jalan tengah atau netral karena Muhammadiyah sejak kelahirannya merupakan organisasi gerakan Islam dan agen perubahan sosial bukan organisasi politik apalagi partai politik akan tetapi, Muhammadiyah secara “tenang” berusaha untuk memberikan edukasi politik berdasarkan nilai-nilai islam demi mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah memiliki tiga wajah sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia yakni sebagai gerakan pemurnian islam, agen perubahan sosial dan kekuatan politik dalam artian, peran Muhammadiyah dapat dilihat sebagai salah satu bagian dari kelompok kepentingan.
Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian Islam dipahami sebagai Arruju’ ila al-qur’an dan as-sunnah yaitu, kesempurnaan dalam islam menurut pesan terakhir Nabi Muhammad SAW sebelum wafat untuk umat islam yaitu, tetap berpegang teguh kepada dua pegangan yaitu, Al-Qur’an sebagai petunjuk dan penjelas, dan As-sunnah sebagai landasan perilaku dan perbuatan Rasullullah SAW. Al-Qur’an sebagai kitab progresif mampu menjawab segala bentuk persoalan di setiap zaman apabila kontekstualisasi al-qur’an terus dilakukan.
Artinya, Muhammadiyah adalah gerakan islam yang berkemajuan yang mampu mengkontekskan Al-Qur’an dengan tantangan zaman. Muhammadiyah membuka diri untuk ilmu pengetahuan dan teknologi selama masih dalam koridor Al-qur’an dan As-sunnah.
Dalam pengaplikasiannya Muhammadiyah menciptakan lembaga-lembaga atau amal usaha Muhammadiyah seperti, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo dll. sebagai bentuk praktek dari ayat-ayat pembebasan salah satunya Al-Ma’un. Muhammadiyah sebagai agen perubahan sosial terinspirasi dari sosok baginda besar Nabi Muhammad SAW yang proses dakwah nya mampu membebaskan kaum-kaum Mustadh’afiin di zaman jahiliah sebagai arah keberpihakan gerakannya.
Muhammadiyah sebagai kekuatan politik memiliki cita-cita Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofuur yang memiliki maksud untuk meciptakan kedamaian dalam bernegara dan berbangsa Muhammadiyah menyatakan netralitas demi menjaga perdamaian negara akan tetapi, Muhammadiyah secara tidak langsung dituntut untuk “mengirimkan” kader-kader nya untuk terlibat dalam politik, mengingat terjadinya degradasi kepemimpinan di Indonesia.
Namun, dengan tidak mengatasnamakan institusi. Selain itu, sebagai kader persyarikatan haruslah memberikan kontribusi nyata dalam bernegara, begitu pesan yang disampaikan oleh Ketum PP Muhammadiyah kepada kader-kadernya. Sejalan dengan Founding father Muhammadiyah dalam pesannya beliau menuturkan,
“Jadilah guru, jadilah Insinyur, jadilah apa saja tapi kembalilah kepada Muhammadiyah.”.