Kamis, April 25, 2024

Konsep Surga dan Pasangan dalam Perspektif Mubadalah

Elyulie Khamidah
Elyulie Khamidah
Mahasiswi Islamic studies

Belakangan ini tren hijrah instan sedang menjadi gaya ciri khas baik pemuda sampai orang tua yang sedang mencari jalan menuju islam yang kaffah versi mereka. Beberapa saluran televisi maupun trending viral di Youtube pun menjadi sering beralih ke topik-topik islami, tidak sedikit ustadz-ustadz hijrah dadakan mulai meramalkan keindahan surga dan segala isinya versi imajinasi mereka.

Jika telah membahas surga maka tak pernah lepas dengan istilah bidadari-bidadari sebagai manifestasi  ketaatan mereka menjalankan perintah Allah. Namun, dari sekian dakwah para ustadz ini sungguh sedikit dan hampir tidak pernah menyinggung bidadara atau paling tidak perwujudan laki-laki yang Tuhan siapkan bagi perempuan muslim yang taat.

Tentunya tidak disebutkan dalam al-Qur’an bukan berarti tidak ada, hanya saja tidak disebutkan dalam al-Qur’an bukan berarti menjadi tidak pernah disinggung sama sekali.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang tentunya menjunjung nilai-nilai keadilan yang sama rata, hanya saja manusianya yang membacanya secara parsial dan mengesampingkan konsep mubadalah dalam memahaminya menjadikan seolah-olah kebaikan yang menjadi bagian laki-laki juga sudah pasti menjadi bagian perempuan itu sudah berarti adil.

Apakah benar demikian al-Qur’an hanya menggambarkan kenikmatan surga? Beberapa literatur kitab klasik seperti Shiffat al-Jannah karya Ibnu Abi ad-Dunya dan kitab kontemporer Nisa’ Ahl al-Jannah karya Muhammad Ali Abu al-Abbas, adalah contoh gamblang bagaimana deskripsi surga bernuansa sepenuhnya laki-laki.

Dalam topik deskripsi surga ini, khususnya mengenai bidadari, para pembaca dan penafsir teks sumber keislaman tidak memasukkan manusia perempuan sebagai subjek yang berhak memperoleh nikmat surga sebagaimana laki-laki. Padahal, semua ulama sepakat bahwa perempuan masuk sebagai subjek untuk ayat-ayat keimanan, amal salih, dan ganjaran surga.

Sayangnya kesadaran ini tidak terlihat dari produk-produk tafsir mana pun mengenai pelayan, pendamping dan bidadara surga untuk para perempuan mukmin. Di sinilah perspektif Mubadalah menawarkan dan menegaskan agar kesadaran “bahwa perempuan sebagai subjek ayat” tidak hanya terhenti pada perintah keimanan saja, tetapi juga terus sampai pada deskripsi balasan di surga. Bahwa surga juga menjadi tempat perempuan memperoleh segala kenikmatan yang paripurna, yaitu termasuk mendapat pasangan bidadara di surga.

Apakah Teori Mubadalah itu?

Teori mubadalah itu sendiri berprinsip pada kerjasama antara dua pihak yang dikembangkan menjadi sebuah perspektif dan pemahaman dalam relasi tertentu antara dua pihak, yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal.

Qira’ah mubadalah memungkinkan teks-teks keislaman dipahami kembali dengan spirit tauhid yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi sejajar sebagai subjek penuh kehidupan manusia.Hal ini sangat diperlukan agar relasi apapun antar manusia secara luas yang semula timpang dapat kembali adil dan imbang.

Memahami realitas konsep bidadara dalam al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam kodim namun dalam pembahasan penafsirannya tidak terbatas dan selalu mengikuti perkembangan suatu zaman. Realitas historis dan kultur sosial mempengaruhi bagaimana teks berbunyi.

Maka, tidak bisa dipaksakan jika terdapat berbagai penafsiran yang berbeda-beda dan setiap penafsir pasti dipengaruhi oleh ideologi-ideologi yang terbentuk di kepalanya. Kultur Arab dimana keterlibatan perempuan hanya menjadi sub-ordinate mempengaruhi bagaimana teks-teks al-Qur’an disana, tentunya muslim perempuan indonesia tidak seharusnya hanya mengikuti pendapat dari tafsir yang muncul dari kultur arab, namun mencoba untuk mencari tafsir yang relevan sesuai konteks Indonesia.

Dalam masyarakat Indonesia dimana banyaknya jumlah perempuan muslim, sudah seharusnya turut andil dalam kajian interpretasi tafsir ramah gender dan egaliter agar bisa sebagai rujukan generasi perempuan milenial muslim dalam mengkonsumsi teks-teks keislaman dan harapannya agar tidak terjerumus pada ideologi salafi yang kurang relevan dan jauh dari nilai-nilai keadilan dalam islam.

Sebagai sebuah metodologi tafsir anti patriarki, teori mubadalah hadir dengan memberikan sebuah gagasan baru dalam memandang deskripsi bidadara dalam al-Qur’an. Penjelasan bidadara, atau tepatnya pasangan yang menyenangkan dan membahagiakan bagi perempuan, kelak di surga adalah bisa dibenarkan.

Salah satunya adalah dengan memaknai kata “azwaj” dalam QS. Al-Baqarah 2;25, QS. Ali ‘Imran 3;15 dan QS. An-Nisa’ 4;57 dengan teori mubadalah, untuk laki-laki dan sekaligus untuk perempuan. Ayat-ayat mengenai azwaj di surga, disebutkan, akan diberikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih.

Biasanya kata “azwaj” ini diartikan bidadari-bidadari atau istri-istri, sehingga subjek yang memperoleh hanya laki-laki. Padahal, dalam perspektif dan metode mubadalah, kata ini lebih tepat diartikan sebagai pasangan. Sehingga, laki-laki dan perempuan bisa menjadi subjek di surga dan akan memperoleh pasangan-pasangan mereka yang baik, taat, melayani, menyenangkan, dan membahagiakan. Ayat-ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut yang langsung artinya:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada pasangan-pasangan yang suci dan mereka kekal di dalamnya. QS. Al-Baqarah 2;25

Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) pasangan-pasangan yang suci yang disucikan serta keridaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. QS. Ali Imran 3;15

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. QS An-Nisa 4;57

Demikian ini adalah terjemahan versi terbaru dari kementrian Agama yang sudah sesuai perspektif mubadalah. Sebelumnya, Kementrian Agama  masih menerjemahkan “azwajun mutharahah” أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ dengan “istri-istri yang suci” bukan “pasangan-pasangan yang suci”.

Beberapa terjemahan non-kemenag masih mengartikannya “istri-istri” bukan “pasangan-pasangan”. Dalam beberapa tafsir, persis seperti kitab Shifat al-Jannah, istri yang suci diartikan sebagai perempuan/istri yang masih perawan, tidak tersentuh siapa pun, dan terutama tidak mengalami menstruasi.

Deskripsi seperti ini tentu saja hanya layak untuk perempuan yang akan menjadi pasangan/istri seorang laki-laki di surga. Deskripsi seperti ini, yang berbasis literal bahasa, tidak lengkap dan tidak mubadalah karena tidak memasukkan perempuan sebagai subjek penerima manfaat surga.

Elyulie Khamidah
Elyulie Khamidah
Mahasiswi Islamic studies
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.