Senin, Oktober 7, 2024

Komunitas Sastra dan Dunia Baru

Ahmad Farid
Ahmad Farid
Pimred www.nyimpang.com dan bergiat di @pustakaki, Sanggar Sastra Purwakarta,dan Komunitas Pena & Lensa Purwakarta (KOPEL).

Kita lihat anak-anak dan saudara Dunia Baru, mengabaikan jeniusnya, tak mentahbiskan yang pribumi, yang universal, yang dekat,  yang masih saja mengimpor yang jauh, yang parsial, yang mati.—Democratic Vistas, Walt Whitman

Dibanding kerja-kerja pembangunan infrastuktur, penegakan hukum, dan kebijakan ekonomi, sulit melihat apa yang telah dan mungkin dapat dilakukan oleh semua kerja-kerja sastra yang tak jauh dari seputar penerbitan buku, kolom sastra, pementasan kesenian, dan sebagainya yang dampaknya tidak sesignifikan pembangunan jalan tol, atau regulasi hukum tertentu. Tapi membandingkan kedua hal tersebut sama sekali tidak adil.

“Menjadi terpelajar,” sebagaimana bilang Pramoedya A Toer, “mesti adil sejak dalam pikiran.”

Sudah sejak lama sekali kata pembangunan menjadi kata kunci dalam segala hal. Dari masa kemerdekaan, orde baru, sampai masa reformasi.

Dalam perjalanan menulis esai ini saya menyusuri laman-laman internet dan terpaut pada sebuah artikelyang menarik, terjemahan ceramah khusus John Friedmann pada World Urban Forum 2006 di Vancouver; judulnya “Kekayaan Kota: Menuju Pembangunan Berdasarkan Aset di Wilayah-wilayah yang Baru Mengalami Urbanisasi”.

Dalam artikel tersebut John prihatin terhadap “ketergantungan” masyarakat dan pemerintahan-pemerintahan Dunia Ketiga terhadap modal asing. Kecemasan itu bukan tanpa alasan, sebab modal-modal luar itu sering abai pada persoalan lingkungan, juga rentan. Persoalan terakhir inilah yang paling mengkhawatirkan.

Kekuatan modal di negara-negara Dunia Ketiga ini kerap tidak memiliki jaminan akan terus-terusan berada di suatu tempat. Ia akan terus menjalar ke tempat yang lebih menguntungkan. Jika sebuah negara—atau Kota, dalam kasus yang disinggung John—dinilai sudah tidak menarik, maka ia akan hengkang begitu saja. Meninggalkan tanah gersang tanpa pekerjaan dan para penghuni yang sudah terbiasa bekerja dalam sistem-sistem yang diciptakan arus-arus modal tersebut.

Bayangkan jika tempat yang tadinya sawah dan penduduknya petani. Lalu perlahan-lahan pabrik bermunculan. Para petanipun menjadi buruh sampai beberapa generasi. Begitu pabrik-pabrik ini hengkang, maka generasi malang ini hanya mendapati tanah sawah leluhur mereka hanyalah pabrik-pabrik kosong. Sedang dari tangan mereka keterampilan bertani sudah lama pergi.

Bagaimana Situasi Dunia Ketiga Kita

Pada 2015, Perpustakaan Nasional melakukan survei di 12 provinsi dan 38 kabupaten/kota untuk mengetahui minat baca masyarakat Indonesia. Temuannya tidak begitu mengejutkan: “90 persen penduduk Indonesia gemar menonton televisi dan tidak suka membaca.” Seperti menyadari sesuatu, setahun kemudian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menggelar Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk memperkenalkan kebiasaan membaca kepada para pelajar. Sampai saat ini tentu kita bisa menunggu apa yang akan dihasilkannya. Perguruan-perguruan tinggi pun nampaknya tidak begitu berhasil berbuat banyak. Institusi-institusi garda depan yang seharusnya memperpanjang nafas tradisi bersastra ini nampaknya tidak terlalu bisa di harapkan.

Contoh lainnya, mengevaluasi apa yang kami lakukan di Sanggar Sastra Purwakarta sejak tujuh tahun terakhir bersama pemerintahan daerah membuat perasaaan campur-aduk. Beberapa memang menyenangkan, tapi lebih banyak yang tidak.

Pasalnya hampir semua kerjasama kami hanya bersifat insidental saja. Tak ada yang terasa bakal seperti hubungan jangka panjang. Sehingga sulit untuk tidak berprasangka buruk pada pemegang kebijakan pemerintah mengenai gaya mereka merangkul komunitas kesenian di Purwakarta. Beberapa teman berkelakar bahwa keberadan mereka bagi pemerintah setempat hanya ornamen dalam agenda politik Dedi Mulyadi saja.

Melihat bagaimana Purwakarta berpulas menghiasi media dalam sepuluh tahun terakhir ini sangat sulit untuk tidak berpikir demikian. Kau harus melihat sendiri bagaimana Dedi Mulyadi dan timnya memasang foto dirinya di hampir semua materi publikasi pemerintah daerah: seperti spanduk, baligo besar, bahkan di fasilitas kota seperti sekolah, ambulan, dan rumah sakit. Kecurigaan itu juga menjadikan pembangunan infrastruktur dan semua retorikanya seperti “kembali pada budaya dan kearifan lokal” menjadi bias-politik.

Aktivasi Dunia Baru dari Kota Kreatif

Dunia Baru adalah istilah yang dikenalkan June Jordan dalam esainya “Demi Puisi Dunia Baru: Walt Whitman dan Kita”. Esai yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi ini membicarakan visi-visi penting dalam puisi maupun kepenyairan Walt Whitman mengenai masa depan dunia. Tafsiran Jordan itu kira-kira begini: “Dunia Baru adalah dunia Non-Eropa; artinya dunia yang besar; heterogen; bebas; juga akhir dari segala bentuk feodalisme, kasta, privilese, dan kekerasan kekuasaan.”

Melihat apa yang terjadi di berita-berita di berbagai tempat, sulit sekali (atau sangat mudah?) membayangkan dunia macam apa yang digambarkan June Jordan dalam visi Dunia Baru ala Walt. Terlalu utopis dan khayali.  Namun keberadaan komunitas-komunitas kreatif, salah satunya Komunitas Sastra di daerah-daerah seharusnya menjadikan visi walt tersebut mulai tergambar.

Masih menurut John, bahwa sebuah kota sebaiknya fokus membangun kekayannya yang sejati dengan model pembangunan yang endogen (pembangunan dari dalam). Salah satu dari kekayaan sejati itu adalah keberadaan komunitas kreatifnya. John menyebutnya “aset kreatif dan intelektual.” Menurutnya para aset kreatif ini merupakan intisari masa depan suatu wilayah yang harus dipelihara. Hal-hal yang dapat kita lihat di kota-kota kreatif seperti Bandung dan Yogyakarta.

Membangun “kota kreatif” ini tentu saja akan memakan waktu, dan banyak prosedur, dari yang paling mudah sampai yang paling mustahil. Dunia Baru Walt dapat dimulai dari “kota kreatif” di mana komunitas-komunitas kreatif di dalamnya bekerjasama dengan berbagai elemen penting di kotanya demi membangun sebuah kota yang kuat dan mandiri dengan kekayaannya sendiri. Komunitas yang tersevar merupakan saklar-saklar dengan bola lampu dan sumber kekuatan listrik masing-masing, jika saklar-saklar ini terhubung, kita bisa bayangkan akan seperti apa rangkaian lampu yang menghiasi tempat kita tinggal.

Kita memang tidak bisa berharap banya dari pemerintah. Tapi tidak ada salahnya terus berprasangka baik dan fokus pada pekerjaan kita: memadukan visi dan memperpanjang kerja-kerja kolaboratif yang produktif. Seperti ucap Ch. Anwar “Kerja belum selesai, belum apa-apa.”

Bacaan: 

Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga

Dea Anugerah, www.tirto.id

John Friedmann, Kekayaan Kota: Menuju Pembangunan Berdasarkan Aset di Wilayah-wilayah yang Baru Mengalami Urbanisasi. https://mkusumawijaya.wordpress.com/2009/06/03/kekayaan-kota-menuju-pembangunan-berdasarkan-aset-di-wilayah-wilayah-yang-baru-mengalami-urbanisasi1/

June Jordan, Demi Puisi Dunia Baru: Walt Whitman dan Kita

Octavio Paz, The Other Voice.

Ahmad Farid
Ahmad Farid
Pimred www.nyimpang.com dan bergiat di @pustakaki, Sanggar Sastra Purwakarta,dan Komunitas Pena & Lensa Purwakarta (KOPEL).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.