Manusia mempunyai posisi anggota tubuh yang sangat vital, dikarenakan dalam tubuh manusia kita dapat menjumpai ide, materi, sakral dan profan. Tubuh dengan posisi ambang seperti ini tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya pengalaman kedalam diri, tetapi juga merupakan medium bagi terpancarnya ekspresi dan aktualisasi diri, sehingga pengalaman dan ekspresi terkait secara dilektis (Bruner).
Dari sini, sebagian orang merasa perlu memodifikasi tubuhnya sebagai tanda pengaktualisasikan dirinya serta sebagai wujud ekspresi dari individu tersebut. Dikalangan masyarakat biasanya dikenal dengan tindik pada organ tubuh, merapihkan / menatah gigi, operasi plastik, Implantasi tubuh, body painting, tatto dan lain-lain.
Menurut sejarah, ternyata rajah atau yang dikenal sekarang ini dengan tatto sudah dilakukan sejak tahun 3000 tahun Sebelum Masehi. Tatto ditemukan pertama kali pada tubuh mumi yang terdapat di mesir. Kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh suku empero jagat raya dan sampai sekarang masih tetap dilakukan oleh kebanyakan orang.
Rajah atau tatto juga didefinisikan sebagai gambar, lukisan pada bagian atau anggota tubuh yang memiliki makna ataupun arti tersendiri bagi pemiliknya. Tatto dipercaya sebagai simbol keberuntungan, status sosial, kecantikan, kedewasaan, dan harga diri. Seiring dengan berjalannya waktu kebudayaan mengalami suatu perubahan nilai dan arti (Kusumohamidjojo, 2009).
Seiring dengan perkembangan zaman budaya rajah atau yang dikenal dengan tatto mulai mengalami penggeseran makna yang dipengaruhi oleh konstruksi kebudayaan yang dianut oleh masyarakat. Tato tradisional mungkin menjadi suatu yang bersifat religius dan magis karena gambar yang dipilih merupakan ilustrasi dari masing-masing kebudayaan masyarakat setempat.
Namun, suatu masa budaya tatto tidak lagi menyandang sifat religius tapi memunculkan stigma negatif. Ada apa sih gerangan? Pergeseran makna perajahan ini dimulai dari rajah atau tato sebagai ciri dari suatu masyarakat, bentuk dari kesenian, simbol maskulinitas seorang pria, simbol kondisi mental seseorang, simbol kriminalitas, perlawanan, sampai dengan ekspresi diri (Olong, 2006).
Pada masa orde baru, tatto dianggap sangat dekat dengan kriminalitas dan masyarakat berasumsi bahwa orang bertato dianggap mempunyai penyakit dimasyarakat dan harus disingkirkan untuk mewujudkan keamanan serta ketertiban dimasyarakat. Namun, belakangan ini mengalami penggeseran kembali menurut Gumilar “tato bahkan belakangan ini menjadi mode. Bila semula tato merupakan bagian budaya ritual etnik, tradisional, kini berkembang menjadi bagian dari budaya pop”.
Fakta sekarang banyak orang yang memakai tatto, terkadang perilakunya juga menyimpang kurang baik. Padahal, tidak semua orang ber-tatto akan melakukan hal negatif. Salah satu contoh misalnya, Komunitas Gang baca tatto (salah satu perkumpulan orang-orang ber-tatto di Kabupaten Malang) ikut serta melakukan kegiatan sosial berupa aktualisasi pendidikan bagi anak-anak.
Mereka tidak hanya memperkenalkan pemainan tradisional, namun anak-anak juga diajarkan membaca, menulis, membuat kreativitas. Tentu kegiatan ini menjadi kegiatan yang sangat positif. Karena mengenalkan budaya lokal kepada anak-anak, merupakan hal yang sangat penting. Mengingat, anak-anak merupakan aset yang nantinya akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini.
*Oleh : Lailatul Chodriyah ( Kader PMII Humaniora Park )
