Dua tahun sudah pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Namun begitu, tak berarti semuanya beres. Sebut saja, dalam soal informasi, terjadi simpang siur yang luar biasa. Tidak saja silang sengkarut antar pejabat pemerintah, tetapi juga terjadi di antara para politisi. Suasana komunikasi seperti itu tak membuat masyarakat memahami, tetapi menjadikan mereka sungguh merasa tak nyaman dan melahirkan ketakutan berlebihan.
Rupanya, para elit di negeri ini selalu saja ingin memanfaatkan situasi apapun yang terjadi, termasuk dalam situasi pandemi Covidf-19. Senyatanya, bisa melacak jejak digital, bagaimana elit negeri ini tidak percaya adanya Covid-19, bahkan sebagian mereka menjadikannya sebagai bahan candaan.
Mereka juga berebut kesempatan berbicara di publik, tentu dengan segala keterbatasan informasinya, keterbatasan datanya. Tujuannya jelas, mendapatkan citra sebagai orang yang paling peduli, orang yang paling memikirkan rakyatnya. Meskipun pada akhirnya, justru masyarakat muak, kecewa dan akan berpaling.
Sebagian lain, ketika rakyat masih mengalami goncangan, sebab rumah sakit tak mampu lagi menampung karena lonjakan kasus yang tinggi, masyarakat harus mencari sendiri tempat melakukan isolasi mandiri, politisi negeri ini malah berteriak meminta pemerintah menyediakan ICU khusus bagi para wakil rakyat.
Belum lagi lahirnya ego sektoral, setiap bagian merasa ingin dianggap paling berjasa dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Sehingga masing-masing bagian melakukan konferensi pers, menyampaikan pandangan-pandangannya. Kadang tak ubahnya orang yang memposting di platform video, saat mendapatkan reaksi keras dari publik, segera membuat video baru untuk meminta maaf atau mengeluarkan pernyataan baru sebab pernyataan yang sebelumnya lahir dari kekhilafan.
Persis dengan paribasan orang Jawa, ‘esuk dele, sore tempe.’ Suatu pernyataan yang mengandung makna sikap plin plan, bicara yang selalu berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Model-model komunikasi seperti ini pada akhirnya menjadikan masyarakat tak memiliki informasi yang pasti. Dalam perspektif kebencanaan, karut marut informasi ini menjadikan masyarakat tak memiliki sensitivitas terhadap risiko bencana dan tindakan-tindakan antisipatif.
Masyarakat tidak memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi lonjakan kasus, mereka mencloning pernyataan-pernyataan elit pemerintah dan mengedarkannya melalui media sosial dan grup-grup aplikasi perpesanan. Mereka tak mengetahui, misalnya, pernyataan elit itu sudah diralat atau sudah ada permohonan maaf.
Pada saat yang sama, muncul anggapan kepada pemerintah, dalam menghadapi pandemi Covid-19 terkesan pemerintah tak serius dalam menangani kasus, pemerintah tak memiliki sensitvitas terhadap krisis, terhadap para penyinntas Covid-19, terhadap mereka yang kehilangan anggota keluarganya, bahkan tulang punggung keluarga.
Strategi
Pemerintah sudah menggunakan strategi komunikasinya yang bertujuan mengubah perilaku atau komunikasi perubahan perilaku (Behavioral Change Communication (BCC). Sayangnya, dalam menerapkan model komunikasi ini terdapat langkah-langkah yang tertinggal atau tak lengkap secara metodologis.
Sebut, misalnya, BCC mensyaratkan adanya langkah-langkah untuk sampai pada tujuannya, yaitu masyarakat berperilaku seperti yang dikehendaki pemerintah. Langkah paling dasar dari BCC–dalam kasus Covid-19, adalah memberikan pengetahuan yang lengkap mengenai Covid-19, mulai dari sejarahnya, virusnya, perkembangan virusnya, proses penularannya, pencegahannya, dan perawatannya.
Informasi dasar itu terus menerus tersampaikan ke masyarakat. Dampaknya masyarakat akan mengetahui dengan benar seluruh informasi mengenai Covid-19 dengan lengkap.
Dengan informasi yang lengkap itu, akan tumbuh kesadaran baru dalam masyarakat mengenai pentingnya pencegahan menyebarnya Covid-19. Dengan bekal pengetahuan yang cukup pula, masyarakat akan mampu menolak informasi-informasi hoaks yang bertebaran tanpa batas bagai air bah itu.
Persoalan serius, pemerintah menyampaikan semua informasi dasar ini ternyata hanya melalui online, misalnya melalui akun media sosial masing-masing kementerian dan lembaga. Seharusnya, komunikasi BCC ini menggunakan dua jalur komunikasi secara intensif dan bersamaan, yaitu abovethe line-saluran informasi melalui internet atau melalui perwakilan-perwakilan masyarakat, dan below the line-saluran informasi yang langsung kepada masyarakat, vis a vis. Dengan below the line, informasi akan bisa menjangkau masyarakat yang memiliki keterbatasan akses informasi pada saluran above the line.
Memperbaiki
Belajar dari situasi yang terjadi saat ini, pemerintah sudah selayaknya melakukan beberapa perbaikan dalam melakukan komunikasi publik. Gaya komunikasi seperti sekarang ini tak bisa lagi dipertahankan, sebab justru menimbulkan ketidakpastian dalam masyarakat.
Langkah yang terpenting dan pertama, Presiden Jokowi meminta agar tidak semua pembantunya di kementerian dan lembaga berbicara sendiri-sendiri mengenai Covid-19. Serahkanlah komunikasi publik kepada kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan dan pengetahuan mengenai Covid-19. Tindakan ini akan menghapuskan keraguan kemampuan pemerintah dalam menanggulangi Covid-19, dan menurunkan ketidakpastian dan ketidaknyamanan masyarakat dalam menjalani kehidupannya di tengah pandemi.
Selain itu, pemerintah harus mengubah model komunikasi satu arah dalam menyampaikan informasi mengenai Covid-19. Sebab komunikasi satu arah apalagi selalu bersifat formal, akan sulit mencapai perubahan perilaku masyarakat. Perubahan perilaku tidak bisa didiktekan begitu saja, melainkan membutuhkan kesadaran dalam diri masyarakat. Kesadaran itu yang akan menggerakkan perubahan perilaku, bukan instruksi dengan muatan ancaman.
Ego sektoral antar kementerian dan lembaga harus dihapuskan. Mereka semua satu tubuh, tak perlu ingin terllihat secara publik secara pribadi-pribadi. Bukan saatnya untuk merebut pengakuan kementerian dan lembaganya yang paling memillik peran dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Semua kementerian dan lembaga berperan sesuai dengan tugas dan pokoknya masing-masing.
Para elit politik, para wakil rakyat, tak selayaknyalah memanfaatkan situasi Covid-19 yang masih tak menentu ini sebagai alat untukkepentingan politiknya. Terlebih meminta fasilitas-fasilitas khusus untuk kepentingan mereka sendiri, misalnya, fasilitas layanan kesehatan yang sudah harus disiapkan untuk mereka sendiri.
Lebih tidak beretika lagi, ketika memasang identitas partai ataudirinya di berbagai alat media dan bantuan sosial selama masa Covid-19 sebagaibentuk komunikasi kepada para penerima, untuk menunjukkan ‘siapa yang membantumu’. Dalam politik, memang jargonnya adalah seni memenangkan kepentingan, tetapi dengan memasang berbagai identitas dalam bantuan sosial, merupakan penanda etik yang terlanggar.
Mengakhiri karut marut informasi, menjadi awal membangun kesadaran publik untuk bergerak bersama dalam menanggulangi pandemi Covid-19 di negeri ini. Membiarkan komunikasi publik dengan semua elit negara berbicara sesuai dengan pandangan mereka, merupakan jalan pintas masyarakat semakin tak percaya dengan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19.