Sabtu, Mei 4, 2024

Komitmen Indonesia dalam Mengatasi Kejahatan Perdagangan Manusia

Nafa Almaushofia
Nafa Almaushofia
Master's student at Magister of Arts of International Relations Gadjah Mada University

Refleksi 14 Tahun Pengadopsian United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC)

Perkembangan dunia yang masih berlangsung memiliki konsekuensi bagi keamanan masyarakat dunia dan mengharuskannya untuk lebih berhati-hati terhadap kemungkinan dampak buruk yang terjadi.

Kebebasan yang tercipta dapat memicu praktik kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh orang perseorangan, bahkan kelompok terorganisir yang keberadaannya tersebar di beberapa negara.

Mobilisasi dan perpindahan manusia yang semakin mudah, kecanggihan teknologi informasi dan transportasi membuat batas dan jarak antar negara terkikis dan pada gilirannya menjadi pemicu utama terjadinya kejahatan lintas negara.

Menurut laporan lembaga PBB (UNODC), terdapat lebih 450,000 korban dan 300,000 pelaku kejahatan perdagangan manusia dalam rentang waktu 2003 hingga 2021 (UNODC, 2023). Hal ini membuat kejahatan lintas negara menjadi isu yang serius untuk ditangani.

Untuk melawan kejahatan perdagangan manusia secara komprehensif dan efektif, masyarakat dunia merumuskan perjanjian internasional yaitu United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC) pada tahun 2000 dan menghasilkan sebuah kerangka legal dalam menangani kejahatan lintas negara.

Dari perjanjian yang terbentuk tersebut, PBB mengklasifikasikan kejahatan lintas batas ke dalam beberapa macam, salah satunya ialah praktik perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak.

Sebagai negara terpadat di dunia, Indonesia dideteksi sebagai sumber utama sekaligus negara tempat transit dan tujuan bagi korban perdagangan manusia dengan berbagai motif. Diperkirakan setidaknya ada 100.000 hingga 1 juta perempuan, laki-laki dan anak-anak dieksploitasi untuk tujuan seksual dan dijadikan sebagai buruh tenaga kerja paksa di berbagai usaha setiap tahunnya (UN Trust Fund for Human Security, 2011).

Menyadari akan ancaman global yang bisa datang sewaktu-waktu dan membahayakan seluruh masyarakatnya lebih luas lagi, Indonesia turut aktif dalam menandatangani konvensi kejahatan terorganisir bentukan PBB ini serta mengadopsinya ke dalam peraturan nasional sebagai wujud perhatiannya terhadap isu kejahatan lintas batas terutama perdagangan manusia.

UNTOC sebagai payung hukum global mengatasi kejahatan perdagangan manusia

United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC) merupakan perjanjian internasional di bawah naungan lembaga PBB untuk bidang narkoba dan kejahatan (UNODC) yang bertujuan untuk melawan dan mencegah terjadinya kejahatan lintas batas antar negara.

Urgensi dalam menangani kejahatan lintas batas dengan bentuk kerjasama kolektif serta kekhawatiran negara dunia terhadap keselamatan warganya akan perkembangan dunia yang sulit untuk dikontrol, menjadi latar belakang terbentuknya instrumen hukum ini.

Maksud dan tujuan dari konvensi sudah terlihat dari pasal 1 nya yang menekankan pentingnya memperkuat kerjasama dalam melawan ancaman global dari kejahatan lintas batas.

Dibandingkan dengan instrumen hukum lainnya, konvensi ini memiliki bentuk yang unik. Karena konvensi tersebut menaungi 3 protokol di bawahnya yaitu tentang perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak yang mulai berlaku pada  tahun 2003; penyeludupan migran yang berlaku mulai tahun 2004; serta manufaktur dan perdagangan gelap senjata api yang berlaku mulai tahun 2005 (UNODC, n.d.). Hal ini berfungsi untuk menguraikan peraturan dengan lebih rinci dan memberikan fleksibilitas kepada negara anggota PBB dalam proses perundingan maupun peratifikasiannya.

Dalam hal ini, seluruh negara diberikan kebebasan sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing untuk meratifikasi konvensinya saja, atau secara keseluruhan sekaligus bersama ketiga protokol. Dengan catatan, apabila hanya ingin meratifikasi salah satu protokolnya, negara tersebut diwajibkan untuk meratifikasi konvensinya terlebih dahulu dengan maksud agar negara peratifikasi dapat memahami isi protokol yang sejalan dengan tujuan dari konvensi.

Kejahatan perdagangan manusia dimuat dalam protokol pertama konvensi UNTOC yang terdiri dari 4 unsur. Pertama, memuat ketentuan umum mengenai kejahatan perdagangan manusia yang terdiri dari 5 pasal. Kedua, ketentuan perlindungan korban perdagangan manusia 3 pasal. Ketiga, upaya pencegahan, kerjasama dan tindakan lainnya sebanyak 5 pasal. Terakhir, ketentuan akhir sebanyak 7 pasal yang memuat mekanisme penyelesaian sengketa, peratifikasian, masa berlaku, amandemen, pengaduan serta ketentuan penggunaan bahasa dan penyimpanan (UNODC, 2004).

Peraturan nasional tentang kejahatan perdagangan manusia di Indonesia 

Indonesia tercatat meratifikasi konvensi tentang pencegahan kejahatan terorganisir lintas negara pada 20 April 2009 dan melengkapi proses pratifikasiannya pada 28 September 2009 dengan meratifikasi protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku praktik perdagangan manusia dan protokol terhadap penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara.

Pengadopsian ini menggunakan UU no. 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, UU no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU no. 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang, dan UU nomor 5 tentang pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime sebagai tinjauan legal yang dimiliki oleh Indonesia.

Pengadopsian protokol dilakukan melalui UU no. 14 tahun 2009 tentang pengesahan protokol terkait, dilanjutkan dengan pembentukan peraturan presiden  no. 69 Tahun 2008 tentang gugus tugas pencegahan dan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang yang selanjutnya diganti dengan Perspres no. 22 tahun 2021.

Gugus tugas yang dibentuk di bawah kementerian ini bertugas sebagai lembaga koordinasi dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang yang terbagi menjadi beberapa tingkatan, yakni di tingkat nasional, provinsi dan kota/kabupaten dengan tetap membentuk koordinasi diantaranya beserta beberapa kementerian lain.

Hingga saat ini, perdagangan manusia masih menjadi isu strategis Indonesia yang mendapatkan prioritas untuk ditangani dan dikendalikan. Namun, sejumlah tantangan tetap hadir di tengah upaya tersebut.

Tingkat kemiskinan  yang masih tinggi,  pendidikan  yang rendah, kurangnya lahan pekerjaan peningkatan angka pengangguran menjadi pemicu sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia dalam mengatasi perdagangan manusia. Selain tantangan yang hadir dari sisi masyarakat, kelonggaran pengawasan dan peraturan yang ditegakkan oleh elemen pemerintah baik di level kota, daerah maupun nasional juga menjadi penyebab meningkatnya tingkat perdagangan manusia di Indonesia.

Adanya tantangan ini menjadi pengingat akan pentingnya komitmen seluruh pihak untuk berkoordinasi dalam menangani kejahatan perdagangan manusia. Oleh karena itu, langkah terintegrasi, penguatan kerja sama bilateral, regional, internasional dan penegakan hukum sangat penting. Pengadopsian konvensi kejahatan lintas negara dan protokol untuk mencegah, praktik perdagangan manusia harus menjadi titik balik Indonesia untuk mendorong seluruh pihak andil dalam mencegah terjadinya praktik kejahatan perdagangan manusia.

Nafa Almaushofia
Nafa Almaushofia
Master's student at Magister of Arts of International Relations Gadjah Mada University
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.