Kamis, April 18, 2024

Kita Terlalu Mabuk Politik

Nur Azis Hidayatulloh
Nur Azis Hidayatulloh
Mahasiswa dan Tinggal di Yogyakarta

Kita sudah muak merasakan perdebatan nir-substansi di ruang publik kita yang semakin sesak dengan narasi dan pembicaraan dari permasalahan politik. Kita semakin kesini dihadapkan dengan berbagai realitas publik membicarakan politik yang tak tentu, dalam hal esensi yang senantiasa diperdebatkan hanya persoalan fisik, kebencian, caci maki dan adu domba.

Padahal, kalau melihat dari segi pendidikan politik yang senantiasa dibangun dalam pendidikan kita, bahwa politik itu untuk kemuliaan dalam hal menciptakan kesejahteraan, keamanan, ketertiban dan kelayakan dalam bernegara. Namun, yang kita lihat sekarang perseteruan yang ada senantiasa perihal saling mencemooh antar kubu pilihan masing-masing.

Polarisasi yang selama ini kita takutkan, kemarin sudah menelan korban. Bahkan jatuhnya korban karena saling membunuh hanya perbedaan pilihan politik. Seperti kejadian di Madura kemarin, dimulai dengan saling cek cok di sosial media dan berimbas kepada sakit hati salah satu pihak.

Jurang pemisah tersebut bermula sejak pemilihan presiden 2014, masyarakat kita terbelah menjadi dua kubu yang sampai sekarang berlanjut dan semakin dalam jurang pemisah antar kedua kubu tersebut. Istilah “kecebong’ dan “kampret” menjadi wajah buruk polarisasi yang selama ini sudah menggurita di ranah akar rumput. Keteladanan yang kadang saling hujat, ujaran kebencian yang dicontohkan para tokoh mereka, akhirnya menjadi suatu hal yang dicontoh oleh para pendukung yakni masyarakat yang dikorbankan akibat politik kekuasaan yang pragmatis.

Sulit memang, mencerna kondisi belakangan ini kita untuk menghindar dari pembahasan politik yang kita harapkan politik membangun. Akan tetapi, sekarang politik kita sudah penuh dengan berbagai ambisi kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok atau individu semata. Ketika nalar sebagai masyarakat dipermainkan oleh kalangan elite untuk dipergunakan sebagai peraup suara. Keresahan bagi kalangan yang sudah muak dengan kondisi politik yang tidak memberikan keteladanan dalam hidup berdemokrasi.

Narasi kebencian yang senantiasa menampilkan diri ketika perbedaan pandangan menjadi sebuah landasan untuk saling membenci dan menjatuhkan antar sesama anak bangsa. Kemana, selama ini politik kebangsaan yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini. Ditengah kondisi yang semakin kompleks, kehidupan publik kita tergerus akan pembicaraan politik yang tak pernah hentinya.

Disaat pendukung kubu A saling mencibir dengan pendukung kubu B, bukan prestasi atau program yang tergambarkan dalam visi dan misi yang menjadi ajang perdebatan. Akan tetapi narasi saling sindir yang tak bersubstansi, malah terjebak pada saling lempar sindiran yang tak terpelajar bagi publik.

Idiom cebong, kampret , sumbu pendek dan lainya, merupakan kesuraman kita dalam ber-bhineka. Selain itu juga istilah sindiran seperti politisi sontoloyo, genderuwo dan narasi fisik suatu daerah “tampang boyolali”. Menjadi narasi adu kata-kata, yang sejatinya hanya sebuah lelucon, akan tetapi beda ketika narasi tersebut muncul dari seorang tokoh publik yang bukan hanya perilaku yang dicontoh namun juga perkataan menjadi gambaran dari pendukung mereka masing-masing.

Perdebatan Krisis Nalar

Kalau dulu, kita mengenal sidang-sidang sebelum kemerdekaan negara kita yang penuh dengan perdebatan yang berisi. Dimana adu gagasan dan perdebatan intelektual dikalangan tokoh pendiri negeri yang saling memperbaiki narasi satu sama lain dengan adu argumentasi, yang sekarang kita mengenal 4 pilar kebangsaan menjadi produk dalam pedoman bernegara, (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika).

Keempat pilar tersebut menjadi soko guru dari berbagai kebijakan kita dalam berbangsa dan bernegara. Perwacanaan tentang sebuah tonggak dari keragaman bangsa kita yang terdiri dari berbagai lapisan unsur dalam masyarakat.

Produk 4 pilar tersebutlah, perdebatan yang limpah subsatnsi dan gagasan berkemajuan. Setiap ide dan argumentasi di adu dalam sebuah forum dan diperdebatkan menjadi sebuah gagasan baru yang terdiri dari kompleksitas bangsa kita. Narasi seperti inilah yang kita harapkan keluar dari para elite kita, sehingga bagian kalangan awam bisa sedikit terpelajari dengan esensi bernegara yang baik. Demokrasi yang ramai gagasan, bukan demokrasi yang ramai kebencian.

Problema jagat media kita juga semakin memberikan bumbu perseteruan antar sesama. Persis selama ini perdebatan dan kebencian bermula dari media, berawal dari informasi yang berseliweran dan ditangkap tanpa suatu pengecekan informasi juga jadi hal masalah akhir ini.

Video ceramah atau jejak digital dalam video dipermak habis oleh sekolompok orang untuk mengambil moment dan kepentingan pragmatis. Pertama ketika video dipotong dalam konten yang seksi, kedua potongan video diunggah dengan berbagai judul yang fantastis, ketiga potongan video dibonsai sedemikian rupa dengan ilmu cocokologi.

Bahwa kedewasaan dalam bernegara bukan hanya dalam kehidupan nyata, jagat media maya kita juga memerlukan kedewasaan dalam menggunakan segala fitur medium informasi yang ada. Bahwa perseteruan tak akan berakhir, apabila sifat kita tak dewasa dalam bermedia, menjadikan media maya hanya sarang kekotoran politik adu domba, caci maki, dan ujaran kebencian.

Nur Azis Hidayatulloh
Nur Azis Hidayatulloh
Mahasiswa dan Tinggal di Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.