Selama beberapa dasawarsa, kawasan Alas Roban Kabupaten Batang, diidentikkan dengan keangkeran, bahkan disebut tempat paling horor di Jawa Tengah. Di mana letak angkernya? Jawabnya beragam, tergantung sudut pandang masing-masing orang. Generasi Z saat ini mungkin mulai meragukan mitos keangkeran Alas Roban.
Mitos keangkeran Alas Roban tidak terlepas dari dongeng-dongeng mistik yang melekat dalam masyarakat sec arturun-temurun. Dalam budaya mistik, disebutkan adanya alam bawah sadar seseorang yang berkembang menjadi mitos dan diyakini masyarakat sebagai kebenaran meskipun terdengar tidak logis.
Prof. Brian Cronk dari Missouri Western State University, keberadaan mitos di tengah masyarakat disebabkan manusia selalu mencoba mencari alasan di balik peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Inilah yang membuat kepercayaan terhadap mitos tetap hidup dalam masyarakat meskipun dunia telah berhias dengan modernitas.
Namun demikian, mitos keangkeran Alas Roban kini mulai tergerus perubahan zaman. Cerita Alas Roban sebagai jalur rawan kemacetan dan kecelakaan telah tenggelam oleh pusaran waktu. Cerita-cerita mistik seputar hantu-demit makin jarang terdengar.
Begitu pun kisah kawanan penjahat bajing loncat yang menjarah kendaraan pun turut hanyut dilupakan orang. Itu cerita masa lalu di era 60-80-an ketika kondisi jalan masih sempit dan merupakan satu-satunya penghubung antara kota-kota di Jawa.
Alas Roban berasal dari kata ‘alas’ yang artinya hutan dan rob yang berarti ‘air pasang’. Julukan teersebut merujuk pada Kampung Roban yang terletak di Kecamatan Subah, daerah pantai laut Jawa. Sedangkan jalur Alas Roban merupakan jalan yang membujur di pesisir Pantai Utara Pulau Jawa sepanjang kurang lebih 54 km, yang menghubungkan kawasan-kawasan di pesisir Jawa, mulai dari Banten hingga Banyuwangi.
Alas Roban kini telah menjelma menjadi hotspot baru yang jauh dari kesan menyeramkan. Kawasan ini memiliki tiga jalur yang bisa dilewati, yakni Jalan Poncowati atau Jalan Sentul (jalur lama), jalur lingkar selatan, dan jalur utara (Jalur Pantura).
Kemacetan pun jarang terjadi kecuali sedang ada proyek perbaikan jalan. Sejak Tol Jawa tersambung, para pengemudi kendaraan di jalur pantura lebih suka memilih jalan mulus di sisi utaranya. Kawasan Poncowati yang dikenal paling berbahaya kini jarang dilalui kendaraan, kecuali jika ada yang sengaja ingin bernostalgia melintasi jalur penuh tikungan ini.
KIT Batang
Kini Alas Roban telah mengalami metamorphosis. Dapat dilihat lewat citra fisik dan yang terus berubah dari waktu ke waktu. Jika kita melintasi kawasan Alas Roban (naik kendaraan atau jalan kaki), nyaris tak ada kesan wingit, sebab kawasan yang semula dipenuhi pepohonan telah berubah menjadi hamparan padat bangunan.
Kalau pun ada kawasan yang masih ditumbuhi pohon jati (terutama dekat jalan raya), itu hanyalah sisa kawasan hutan untuk mempertahankan ikon Alas Roban. Kawasan hutan itu pun kini tidak angker lagi karena telah dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan bercocok tanam semenjak adanya kebijakan kemitraan.
Bentangan hutan memanjang itu sekarang tak ubahnya seperti pagar hijau (pembatas) antara jalan Deandels dengan Kawasan Industry Terpadu (KIT Batang) atau Grand Batang City, yang menjadi ikon industrilasisasi di Jawa. Hal tersebut membuat kawasan ini menjadi ramai dan dinamis.
Grand Batang City yang digadang-gadang sebagai The Capital of Industrial Estate in Asia ini konon dirancang dengan konsep modern, smart dan green. Dengan areal seluas lebih 4.000 hektar, KIT Batang terbagi dalam tiga cluster industri, perumahan dan innovation center. Diharapkan kelak menjadi kawasan industri terpadu dan ketersediaan infrastruktur logistik dengan akses langsung menuju Tol Trans Jawa sert Jalur Nasional Pantura.
Dinamika industrialisasi tersebut dapat mereduksi dan menggeser mitos keangkeran Alas Roban. Alas Roban tidak lagi angker dan menakutkan seperti yang dikesankan selama ini. Kesan angker hanya melekat pada kelompok masyarakat yang masih percaya pada hal-hal supranatural.