Tahun 2018 yang telah berganti masih meninggalkan banyak PR. Salah satunya tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang masih berjalan di tempat. Padahal, RUU tersebut dicanangkan sejak tahun 2015.
3 tahun berlalu, kemana saja?
RUU tersebut tidak kalah penting dibanding Undang-Undang lain. Maraknya kekerasan seksual terhadap anak dan wanita mulai terbuka sejak kasus mahasiswi UGM kemarin, namun kasus-kasus lain yang tidak terekam, sesungguhnya lebih banyak dari yang terdokumentasi.
Selama beberapa tahu belakangan, RUU PKS sudah masuk ke meja bahasan Komisi VIII DPR RI. Komnas Perempuan RI juga telah memperjuangkan RUU ini sejak 2015 lalu. Namun hingga kini, RUU tersebut masih mandek di meja Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Di Amerika, artis Hollywood selevel Angelina Jolie mengambil perhatian publik terhadap masalah kekerasan seksual. Pengakuannya tentang pelecehan yang ia alami membuat public figure lain untuk ikut buka suara, hingga lahirlah aksi solidaritas bertagar #MeToo, yang mengingatkan bahwa tiap wanita bisa jadi korban.
Pentingnya pagar hukum untuk melindungi perempuan dan anak mungkin sedikit terlupakan di negri ini. Kuatnya budaya victim blaming menjadi penyebab.
Kasus mahasiswi UGM yang melibatkan Agni (bukan nama asli), setelah laporannya diangkat oleh lembaga pers mahasiswa balairung. Saat menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata), Agni mengaku diperkosa oleh HS, teman kuliahnya.
HS pun diberhentikan dari KKN, sedangkan Agni diperbolehkan untuk lanjut. Namun, ketika melihat nilai akhir KKN-nya, betapa terkejutnya Agni sebab diberi nilai C. Menanggapi hal tersebut, seorang pengelola KKN menganggap nilai tersebut layak didapat karena Agni telah menodai nama kampus UGM.
Dengan tidak adanya perlindungan dari jalur hukum, korban pelecehan seksual kian merasa tidak aman dan menganggap suaranya tidak berarti. Bahkan terkadang, jalur hukum pun ikut berperan sebagai jari telunjuk yang kian mengarah kepada korban.
Belum lama ini, seorang guru asal Lombok bernama Baiq Nuril merekam percakapan asusila yang dilakukan oleh kepala sekolahnya. Akibatnya, ujung pedang bernama Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menggoreskan luka. Luka tersebut berupa 6 bulan penjara serta denda sebanyak 500 juta. Ibu guru yang seharusnya dibela tersebut malah balik disalahkan karena menyebarkan dokumen elektronik bermuatan asusila.
Lazimnya peran seorang perempuan yang dianggap hanya sebagai komoditas membuat masyarakat kian tutup mata akan suaranya. Tidak seperti di Amerika, dimana gerakan #MeToo menyebar dengan cepat, Indonesia yang mengagungkan budaya ketimuran seringkali lupa akan peran perempuan. Perempuan dianggap memiliki martabat apabila terus sopan dan tampak suci, hingga hilangnya kesucian itu sendiri melulu salah perempuan. Padahal, budaya ketimuran kita yang penuh adab ini juga mengedepankan peran sebagai manusia yang berdaulat.
Komentar-komentar semacam “Harusnya berpakaian jangan begitu, harusnya perempuan tidak keluar rumah ketika malam” adalah beberapa konotasi yang menganggap perempuan ikut memiliki tanggung jawab dalam kekerasan yang dialaminya.
Sejatinya, kekerasan dan pemerkosaan tidak berasal dari dunia luar, melainkan lebih kepada sisi gelap pikiran si pelaku. Jika kita bisa menyingkap isi kepala pelaku, banyak pemerkosa yang membuat justifikasi atau normalisasi atas perbuatannya. Sebuah studi di Anglia Ruskin University pernah dilakukan oleh Madhumita Pandey, menelusuri kenapa pemerkosaan sering terjadi di India. Hasilnya, pemerkosa tidak hanya pelaku, namun juga turut menjadi korban akan budaya patriarki yang toxic alias menganggap pria diatas segalanya.
Selain itu, acapkali kita tidak memperhatikan gangguan mental dari pemerkosa. Padahal, pemerkosaan bukanlah akibat gairah seks semata, namun lebih kepada pelampiasan emosi.
Pelaku pemerkosa biasanya sulit membangun relasi sehat dengan masyarakat, entah karena sejarah trauma di masa silam maupun kekerasan yang pernah terjadi pada dirinya sendiri. Hal-hal tersebut meminimalisir kemampuan pelaku dalam memiliki rasa empati dan sensitif, dan haus akan pengakuan sehingga mencari rasa berkuasa dalam aksinya melakukan tindak asusila.
Indonesia dibangun atas fragmen budaya ketimuran yang terhormat, maka sudah semestinya kehormatan itu dilindungi oleh RUU PKS. Namun, pengesahan RUU macet dijalan. Pengesahan yang tidak maju-maju bisa dikaitkan dengan pemahaman anggota DPR sendiri.
Wulan Danoekoesoemo, pendiri Lentera Sintas Indonesia, sebuah kelompok pendukung penyintas kekerasan seksual, mengakui adanya ketidakseragaman dalam duduk perkara RUU ini. Pandangan tiap individu akan kekerasan seksual dapat berbeda-beda, sama seperti ketidaksepakatan dalam membuat sistem hukum lainnya.
Menanggapi lambatnya DPR bergerak, kaum muda di Indonesia dan aktivis perlindungan perempuan mulai membangun berbagai gerakan. Salah satunya, melalui tagar #MeToo tadi. Program #MeToo memang menyebar lewat media sosial, namun sesungguhnya memiliki peran lebih. Program ini bermaksud mengangkat gerakan solidaritas perempuan sedunia agar berani angkat bicara soal pengalaman buruk mereka mengalami kekerasan seksual.
R.A Kartini dahulunya terkenal sebagai pembela perempuan. Tiadanya R.A Kartini di jaman sekarang bukan berarti pergerakan sudah mati. Kini gerakan pembelaan tersebut sudah berevolusi. Dengan tagar #MeToo, orang akan lebih bebas karena gerakan global ini tidak membutuhkan seorang pemimpin, dan untuk berpartisipasi, perempuan hanya membutuhkan suara.
Di Indonesia, meski masih terbilang mundur dibanding India sekalipun, tagar #MeToo mulai membangun kesadaran, terutama dengan makin maraknya perempuan membuka mulut, hingga menjadi headline berita. Dibanding RUU PKS, mungkin tagar ini sudah selangkah di depan.
Lantas, apa kita harus memulai tagar #RUUPKS dulu agar DPR bisa selangkah lebih maju?