Kamis, November 14, 2024

Kisah Pilu-Kasih di Medan Aksi

Saroel
Saroel
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kolumnis di Geotimes.
- Advertisement -

Malam itu menjadi suatu momen yang tak terlupakan. Saya kira, saya hanya akan menghabiskan malam dengan makan atau nongkrong di kafe favorit bersama sang kekasih. Seperti pasangan muda pada umumnya, romantis dan memanjakan, saling berbagi cerita dan menebar rasa. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Pada malam-malam lalu, justru berlari sembari menahan mata perih akibat teargas lah yang mau tak mau harus kami nikmati.

Awalnya kami terpisah. Terpisah karena memang sayalah yang memisahkan diri dari massa aksi kampus. Biasa, keselamatan massa diutamakan katanya, sehingga terpaksa harus ditarik mundur demi keselamatan bersama. Saya dan kawan saya yang gerah oleh sikap main aman kampus, memutuskan untuk keluar dari barisan massa aksi, mencopot almamater, dan melebur bersama massa aksi lain yang telah berada di garda terdepan: “Cek ombak lah yuk, majuin”, Ucapnya.

Ternyata itu adalah keputusan yang buruk, kami berdua terjebak dan tak bisa melarikan diri ditemani oleh batu dan beling, tak luput gas air mata yang melalang buana. Perempatan Jalan Kebon Sirih sudah terdapat bentrokan, pun di Jalan Medan Merdeka lebih parah lagi, belok kearah M.H Thamrin sudah di blokade. Terpaksa kami berdua menahan dan berlindung diri di halaman depan Hotel Mecure, sembari beberapa kali membela diri jika para aparat membidik kami.

Menjelang maghrib, bentrokan mulai mereda. Kami berdua kembali menuju ke arah Tugu Tani, itupun kami harus sedikit bercekcok dengan aparat. Ternyata, di Tugu Tani masih terjadi bentrokan, kami berdua dipaksa aparat untuk belok ke Jalan Kebon Sirih. Sembari mengumpat karena ditekan aparat, kami juga sedikit kesal karena ternyata rombong sudah berada di angkutan kota menuju kampus. Yasudah, kami beristirahat dahulu saja di trotoar jalan.

“Memisahkan diri dari massa aksi untuk cek ombak, adalah keputusan yang buruk!” Itulah yang menjadi pikiran saya saat itu. Kami memutuskan untuk ke Stasiun Gondangdia. Beberapa saat berjalan dengan pontang-panting, ada yang memanggil kami dari sebrang jalan. Ternyata mereka kawan-kawan saya di FISIP, dan juga terdapat sang kekasih. Suasana hatiku berubah, pikiranku lantas berucap: “Ini adalah keputusan yang sangat baik!”

Inilah bagian terbaiknya, kami semua memutuskan kembali ke medan aksi dan berjalan ke arah Tugu Tani dan bentrokan masih terjadi. Situasi kacau sekali, pos polisi di pinggir jalan sudah habis terbakar, dan mobil berplat merah menjadi sasaran empuk kemarahan. Pada malam itu juga, di sosial media juga ramai bahwa terdapat halte yang dibakar di daerah Sudirman.

Merespons hal tersebut, saya sadar bahwa memang tujuan dari demonstrasi adalah menciptakan ketidaknyamanan dan mendobrak kondisi normal. Apalagi, Omnibus Law ini amat menyangkut hidup mereka, saya paham jika banyak diantara demonstran merasa desparate.

Ironinya, kita menafikan fakta sejarah bahwa justru kekacauan seperti inilah yang membawa kita pada reformasi sosial; hukum yang mapan, sampai kenyamanan yang kita nikmati saat ini. Karena memang kekacauan ini adalah manifestasi kemarahan sosial pada situasi yang amat tulus. Tidak pernah ada kemerdekaan tanpa melawan penjajahan, dan tak pernah ada rasa aman jika tak diperjuangkan. Semua pengrusakan adalah bentuk konflik yang visible, terdapat konflik yang lebih laten; deskriminasi dan kemiskinan. Marah jugalah pada ketiga hal tersebut.

Meskipun demikian, saya tau kondisi ini berbahaya. Semakin berbahaya ketika aparat menembakan senjatanya dan menyisir paksa mereka-mereka yang memang sudah meluruskan kaki di pinggir jalan. Pengrusakan memang nyata, begitupula dengan represi aparat; itu fakta dan lebih berbahaya.

Semuanya masih terjadi meskipun jam sudah menunjukan pukul 23.00 WIB. Seolah-olah massa aksi tak ingin membuarkan diri sebelum tuntutannya dipenuhi, solidaritas sangat terasa sekali. Begitu pun saya, tak ingin membubarkan diri, karena kapan lagi bisa menikmati momen mata perih dan kaki pegal karena berlari ketika aksi bersama sang kekasih.

- Advertisement -

Atas segala hal yang saya sampaikan, sesungguhnya saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pemerintah, DPR dan aparat. Berkat kalian, kami percaya bahwa kami harus bersolidaritas untuk tetap berdiri di kaki kami sendiri. Sehingga kami, saya dan sang kekasih menjadi lebih saling menyayangi!

Saroel
Saroel
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kolumnis di Geotimes.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.