Jumat, April 26, 2024

Kisah di Balik Penggusuran Warga Pinggiran Kota Surabaya

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Surabaya selalu menyimpan kisah-kisah yang berbeda, sebagaimana ciri khas kota metropolitan. Bukan soal sejarah heroiknya kota Surabaya ketika menjadi simbol kemerdekaan, dengan pertarungan sakralistik gelora api 10 November. Namun kepeloporan heroisme kini muncul di masyarakat marjinal, melawan dan menolak tunduk pada mereka yang semena-mena mencerabut hak hidup.

Masyarakat pinggiran Surabaya kini menghadapi problem yang cukup kompleks, alih-alih menciptakan kesejahteraan, kini pemangku kebijakan sedang hobi menertibkan kawasan-kawasan marjinal untuk kepentingan umum dengan label pembangunan.

Beberapa daerah sudah terancam tergusur, baik lahan-lahan pinggir sungai atau terkenal dengan nama stren kali, hingga daerah-daerah resapan, mulai hutan kota, kawasan konservasi hingga waduk-waduk yang menjadi tampungan larian air hujan. Semua berebut lahan kosong, untuk dijadikan bangunan-bangunan penunjang hidup bagi mereka yang berpunya. Mulai perumahan, apartemen, pusat perbelanjaan, ruko-ruko hingga tempat hiburan yang tentu tidak ramah pada mereka yang tidak mempunyai uang berlebih.

Keputih, salah satu tempat di pesisir Surabaya bagian timur, merupakan tempat yang cukup padat penduduk. Di tempat tersebut dekat dengan salah satu kampus kebanggaan Surabaya, yang kerap melahirkan insinyur-insinyur hebat. Namun di sisi lain juga banyak perkampungan-perkampungan yang memiliki sejarah cukup panjang, walau tidak terinvetarisir dalam catatan sejarah secara lengkap. Kebanyakan warga di sana mengaku sudah berpuluh-puluh tahun mendiami wilayah tersebut, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada.

Di sana juga berdiri megah beberapa fasilitas terpadu milik pemkot Surabaya, salah satunya ialah Hutan Kota yang dahulu merupakan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Keputih. Di wilayah ini juga terdapat terminal untuk angkutan kota seperti di Terminal Joyoboyo, lalu ada Panti Sosial Kota Surabaya. Selain itu Keputih kini mulai bertransformasi, mulai banyak perumahan-perumahan mewah, apartemen serta berbagai pembangunan untuk menunjang kebutuhan pokok warga urban Surabaya.

Namun di tengah upaya pembangunan, ada cerita yang tidak mengenakan. Selain berpotensi merusak struktur ekologi dasar, juga akan menganggu hak ribuan orang yang hidup di wilayah tersebut. Seperti yang sedang terjadi pada warga Keputih Tegal Baru Timur, yang kini telah digusur sepihak tanpa memperhatikan hak-haknya sebagai manusia. Perlu diketahui kasus perebutan ruang kota di Surabaya tidak di Keputih Tegal Baru Timur saja, namun masih ada Keputih Pompa, Waduk Sepat, Made dan kawasan konservasi mangrove Wonorejo.

Riwayat Kampung Marjinal yang Digusur

Kampung yang terletak dekat tempat pembuangan sampah, secara administratif merupakan wilayah Keputih Tegal Timur. Pada tahun 1990an beberapa masyarakat marjinal diberikan sebuah tempat tinggal oleh pemerintah kota Surabaya, tepatnya di daerah Keputih Tegal Timur Baru, yang merupakan wilayah tempat pembuangan sampah di Surabaya.

Mereka mendiami wilayah tersebut setelah tergusur secara halus dari kampung halamannya, merantau ke Surabaya atau sekedar berpindah tempat merupakan konsekuensi logis tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Di tempat yang jauh dari kata layak mereka mempertaruhkan hidupnya, mengais rezeki di tempat yang konon katanya dibenci oleh mereka yang hidup berkecukupan.

Sekitar tahun 1992 tukang becak, pengemis, tuna wisma, pemulung diberikan secara cuma-cuma tanah untuk didiami. Berdasarkan pengakuan dari warga, mereka mendapatkan tanah untuk rumah dari Walikota Surabaya pada saat itu. Tercatat ada sekitar 23 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami tempat yang kini jadi diklaim oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Mereka mendiami wilayah tersebut secara turun-temurun, namun ada juga yang baru pindah ke tempat tersebut. Kira-kira ada yang telah mendiami selama 20 tahun lebih, namun ada juga yang baru 10-8 tahun. Rumah-rumah mereka rata-rata semi permanen, membanjar lurus membentuk deretan. Rata-rata penghuni kampung kecil tersebut bekerja di sektor informal, seperti pengepul sampah, pencari rongsok, keamanan, hingga berjualan makanan dan minuman.

Walaupun menjadi sebuah permukiman yang telah bertahun-tahun berdiri, namun keberadaan kampung yang dihuni oleh segelintir warga tersebut tak tercatat. Otomatis mereka tak tersentuh pelayanan publik, karena secara administratif tidak tercatat sebagai warga kelurahan yang sah. Mereka adalah potret kaum marjinal yang berlarian ke kota, akibat lahan-lahan di desa penguasaannya masih timpang, pengambilalihan lahan oleh korporasi hingga persoalan “kepentingan Negara.”

Sebagaimana yang diceritakan oleh warga bernama Bekti, yang mengatakan selama ini mereka seperti di anak tirikan. Dia berujar bahwa penggusuran yang dilakukan tanpa melalui musyawarah, adapun sosialisasi yaitu lebih ke pemaksaan pindah ke rusun. Menurut dia pindah ke rusun akan menyusahkan, disamping bangunan yang tidak layak, warga juga harus membayar serta terancam akses ekonominya.

Penggusuran pada umumnya dilakukan untuk melakukan penataan sebuah kota, membersihkan kota, membuat lebih indah. Namun dibalik semua itu ada hal-hal yang dilupakan, yaitu air mata masyarakata miskin yang kehilangan akses hidupnya. Mereka hanyalah warga Negara yang ingin hidup bahagia, dengan keluarga maupun tetangga, dan itu adalah hak dasar kemanusiaan yang dilindungi oleh konstitusi.

Mereka yang Bermukim Karena Tersisih

Beberapa orang mengungkapkan jika, di rumah mereka mempunyai lahan. Tetapi lahan tersebut sempit, sementara lahan tersebut tidak cukup menghidupi satu keluarga. Beberapa kesempatan seperti berdagang juga terbatas, karena sewa kios di pasar kampus terhitung mahal, belum lagi persoalan akses terkait modal dan keberlangsungan perekonomian ke depan. Di satu sisi ketimpangan di kampung sangat terlihat cukup nyata, masih banyak tuan tanah dan para pedagang besar yang melakukan monopoli sektor ekonomi.

Mereka yang tersisih bukan atas kemauan sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh beberapa warga tergusur, memilih tempat yang lekat dengan sampah adalah pilihan. Karena tidak ada ruang lagi untuk kelompok marjinal seperti mereka, apalagi peluang ekonomi dengan memanfaatkan sampah terbuka lebar.Sekedar menjadi pemulung, atau menjadi kaki lima untuk mempertahankan hidup, menyekolahkan anaknya dan makan sehari-hari sudah lebih dari cukup.

Tidak adanya akses untuk berproduksi ialah kendalanya, sewa kios mahal, pekerjaan butuh ijazah dan kebutuhan hidup kian mencekik. Menjadikan mereka memilih tempat pengembangan ekonomi yang rawan, baik kesehatan maupun penggusuran. Hal ini juga dikarenakan di kampung halaman mereka tersisih, tidak punya tanah untuk digarap, sehingga merantau menjadi pilihan untuk menyambung kehidupan.

Menghuni sebuah ruang hidup yang tak layak memang bukan pilihan mereka, jika diberikan kesempatan serta tawaran untuk kembali ke kampung halaman atau ke area yang lebih baik, mereka akan menerimanya dengan senang hati. Problem tanah memang menjadi pokok permasalahan dari masa lampau hingga sekarang, banyak yang tersisih lalu berkelana mencari ruang-ruang baru untuk sekedar menyambung hidup.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.