Sabtu, April 20, 2024

Khabib Nurmagomedov dan Depopulisme Politik Islam

zainul abidin
zainul abidin
Magister Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Dan sekarang menjadi Asisten Peneliti di Center for Election and Political Party (CEPP) Fisip Universitas Indonesia.

Nama Khabib Nurmagomedov beberapa hari ini sangat menggelegar di jagat media sosial. Berbagai cuitan, story, dan dinding medsos memuji atlet yang berlaga di Ultimate Fighting Championships (UFC) ini, karena menang TKO atas Conor McGregor yang dikenal sangat sombong dan rasis pada tanggal 07 Oktober 2018.

Selain itu, Khabib Nurmagomedov juga disambar dengan kritikan juga setelah keluar dari ring menciptakan kegaduhan, memantik kekacauan dengan meloncati salah satu anggota team Conor McGregor karena disiyalir menghina Khabib dengan kata yang bernada sara.

Di tengah viralnya Khabib Nurmagomedov. Menurut penulis kasusnya tersebut secara politik menarik jika kombinasikan dengan rangkaian gerakan sosial 14 Oktober, 4 November, dan 2 Desember 2016 di Indonesia.

Gerakan tersebut merupakan respon atas penghinaan yang berbau agama oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016. Dengan meyoalkan Surat Al-Maidah ayat 51, dimana orang muslim diharuskan memilih pemimpin yang memiliki keyakinan yang sama. Sedangkan kasus Khabib Nurmagomedov penghinaan atas identitasnya sebagai muslim, karena menolak minum keras yang menyebabkannya ia merespon secara emosional.

Jadi konteks dan motif dari kedua kasus tersebut adalah aksi bela Islam. Pembedanya adalah di Indonesia masyarakat Islam sebagai mayoritas sedangkan Khabib Nurmagomedov adalah minoritas muslim di tengah ratusan ribu penganut agama mayoritas. Berdasarkan tingkah laku, dan respon yang berani dari Khabib Nurmagomedov atas penghinaan ia sebagai minoritas, maka meruntuhkan adanya populisme politik Islam ketika muslim pada posisi tertekan dan didiskriminasi saat menjadi mayoritas.

Menurut Vedi R. Hadiz (2016) populisme politik Islam memobilisasi konstituensi lintas-kelas dalam perjuangan modern atas kekuasaan dan sumber daya dan kontrol negara. Namun demikian, jelas terlihat bahwa kelas menengah terdidik telah memainkan peran kunci dalam mengatur koalisi sosial berbasis luas yang telah gelisah melawan depresi dan korupsi dari tatanan sosial sekuler di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Mesir dan Turki.

Dari dua kasus yang berbeda tersebut dapat ditarik bahwa Islam memiliki prinsip politik. Prinsip politik tersebut sangat erat dan melekat kuat dengan umat Islam secara universal. Oleh sebab itu, dalam konteks mayoritas maupun dalam posisi minoritas penganut Islam secara integritas memegang prinsip tersebut tanpa membedakan kelas sosialnya.

Lalu apa bentuk populisme politik Islam itu sebenarnya? Apakah kata umat? Jika Khabib Nurmagomedov yang notabenenya minoritas  bertingkah secara reaksioner ternyata sebagai umat juga,  yang memiliki reaksi yang sama dengan umat Islam di Indonesia yang mayoritas ketika menyeret Ahok dengan kasus penista agama, kemudian dinilai sebagai gerakan populisme politik Islam.

Citra populisme politik Islam Vedi R. Hadiz ini sendiri jika disusun berdasarkan respon Khabib Nurmagomedov pada posisi sebagai minoritas, maka seketika teori tersebut runtuh. Pertama, karena variabel muslim sebagai mayoritas sama merespon isue tentang agama dalam negara ketika muslim juga dalam posisi minoritas.

Kedua, karena Islam tidak membagi kelas dan stratifikasi sosial, maka yang menghubungkannya dengan relasi koalisi sosial itu adalah ikatan keagamaan. Ketiga, isue-isue yang sensitif (prinsip beragama) yang menyatukan koalisi sosial, baik secara individu maupun kelompok dalam kekuasaan, dan negara.

Jadi teori populisme politik Islam adalah teori yang tidak laku. Karena kajian populisme politik setidaknya ganjil dalam membahas Islam dan demokrasi, prinsip politik, kekuasaan, dan negara. Karena populisme politik sendiri adalah tidak memiliki proyeksi yang terarah, dan malahan didominasi oleh pilihan irasionalitas dan oportunis politik dalam membentuk status politik kelompok mayoritas.

Sedangkan Islam tidak memisahkan negara dan agama, atau prinsip politik Islam dijunjung tinggi tidak dibatasi oleh lokalitas, teritorial, dan jumlah. Dan yang paling utama adalah Islam memiliki proyeksi yang terarah dalam membangun demokrasi, negara dan kekuasaan. Keterarahan terebut menuntun Islam dan politik terintegral dalam ruang kehidupan pengikutnya.

zainul abidin
zainul abidin
Magister Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Dan sekarang menjadi Asisten Peneliti di Center for Election and Political Party (CEPP) Fisip Universitas Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.