Indonesia dianugerahi kekayaan budaya yang tak terbendung, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan budaya ini juga melahirkan kekayaan bahasa yang sangat berharga. Hal ini dikarenakan setiap budaya yang berbeda mesti memiliki bahasa yang berbeda pula.
Eksistensi bahasa dalam kehidupan sangatlah signifikan. Setiap harinya, manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Bentuk komunikasinya beragam. Ada yang berbentuk lisan, ada pula yang berbentuk tulisan.
Sayangnya, proses komunikasi tak jarang berujung pada kesalahpahaman. Komunikasi yang melibatkan individu dari kelompok budaya yang berbeda biasanya mengalami ketidaklancaran. Hal ini terlihat dari miskomunikasi yang berujung pada misinterpretasi. Dua hal ini terjadi karena setiap individu dengan budaya yang berbeda memiliki sistem komunikasi yang berbeda. Sistem komunikasi yang berbeda ini menyangkut unsur paralinguistik dan prosodik, serta metamessage.
Unsur paralinguistik dan prosodik menyangkut tone of voice, pitch, loudness, pacing, dan pausing. Unsur-unsur tersebut memperlihatkan hubungan antar ide yang disampaikan dan sikap atau maksud terhadap yang diucapkan. Lebih jauh, unsur metamessage menyangkut cara menyampaikan tuturan. Unsur-unsur ini disampaikan dengan berbeda oleh setiap budaya.
Ada budaya yang selalu berbicara dengan nada tinggi. Ada pula budaya yang berbicara dengan nada lembut. Nada tinggi bagi budaya yang terbiasa berbicara dengan lembut dikategorikan sebagai nada kemarahan. Sebaliknya, nada rendah bagi budaya yang terbiasa berbicara dengan tinggi dikategorikan sebagai nada ketidaktegasaan. Padahal, bagi budaya yang bersangkutan, nada tersebut tergolong wajar, sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam menginterpretasikan maksud dari tuturan tersebut.
Semua itu tidak akan saya rasakan dan pahami andai tidak merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Ya, persentuhan antar budaya memang selalu memberikan warna baru dalam hidup. Pada awalnya, saya sebagai orang Banjar seringkali dianggap ngegas kalau bicara atau presentasi di depan kelas, hingga terdengar seperti marah. Suara saya terkenal lebih nyaring di antara kawan-kawan dari Yogyakarta. Selain itu, sebagian kawan saya juga sering bilang bahwa tempo bicara saya terlalu cepat, dan terkesan tidak bernapas. Padahal, saat bicara, saya merasa biasa saja, tidak ngegas, tidak cepat, apalagi tidak bernapas (meninggal dong kalau presentasinya setengah jam).
Tidak berhenti sampai di situ, saya juga menemukan sejumlah culture gap ketika tinggal di kota pelajar ini. Culture gap yang dimaksud memiliki titik tekan pada persepsi sebuah kata atau istilah. Pada titik inilah, saya menyadari bahwa setiap budaya memiliki konsep yang berbeda, dan tercermin dari bahasa yang digunakannya.
Konsep Sapaan (Mas/Mbak)
Sistem komunikasi masyarakat Banjar mengenal istilah ‘kakak’ atau ‘aa’ dan ‘ading’. Tiga kata ini berfungsi untuk memanggil orang yang lebih tua dan lebih muda dari pada yang memanggil. Leksikon-leksikon ini juga dipakai untuk memanggil seseorang baik yang sudah kenal dan memiliki hubungan darah seperti keluarga, maupun yang belum kenal. Leksikon ini tidak memandang gender, tetapi memandang usia. Artinya, baik pria maupun wanita akan dipanggil dengan leksikon yang sama. Ketiga leksikon itu adalah bentuk honorific words yang ada dalam sistem komunikasi bahasa Banjar.
Setelah saya kuliah di Yogyakarta, banyak orang memanggil saya dengan sebutan ‘mbak’, termasuk dosen dan juga karyawan. Saya cukup heran dengan kondisi ini karena dalam persepsi ‘kebanjaran’ saya, panggilan ‘mas’ dan ‘mbak’ merujuk kepada seseorang yang dituakan, setara dengan panggilan ‘kakak’, sehingga agak mengherankan jika para dosen maupun karyawan yang notabennya lebih tua dari saya juga memanggil dengan sebutan itu.
Sistem komunikasi seperti itu tidak pernah saya temui di Banjarmasin. Alih-alih demikian, dosen saya hanya memanggil saya dengan nama (Yaya). Sesekali dengan kata ‘nak’ yang merupakan kependekan dari ‘anak’.
Rasa heran saya kembali disuburkan dengan pengalaman mendengar Maira, ponakan saya yang kebetulan bersekolah di Yogayakarta, masih berumur 6 tahun, dipanggil oleh gurunya di sekolah dengan sebutan ‘Mbak Maira’. Teman-teman laki-lakinya pun dipanggil dengan kata ‘mas’ di depannya.
Masih dengan persepsi ‘kebanjaran’ ini, saya mencoba mengkritisi fenomena komunikasi yang agak ganjil tersebut. Perlahan, dapat saya pahami beberapa perbedaan dalam mempersepsikan panggilan atau sapaan, khususnya terkait dengan ‘mas’ dan ‘mbak’ yang setara dengan ‘kakak’ dalam bahasa Banjar.
Bagi urang Banjar, sistem sapaan honorific hanya berlaku untuk orang yang lebih tua. Orang tua tidak perlu menyapa dengan sopan kepada yang lebih muda, sehingga penggunaan nama saja sudah cukup. Hal ini sangat berbeda dengan sistem sapaan honorific yang berlaku di Jawa. Dalam sistem komunikasi Jawa, honorific words juga digunakan kepada yang lebih muda dengan panggilan ‘mas’ atau ‘mbak’. Memanggil nama saja kepada orang yang baru dikenal dan tidak terlalu akrab akan dianggap kurang sopan.
Lebih jauh, sebagaimana yang sudah saya singgung di atas, panggilan ‘kakak’ atau ‘aa’ dalam bahasa Banjar tidak merujuk kepada gender, tetapi kepada usia, yang dalam hal ini lebih tua dari yang memanggil. Baik pria maupun wanita yang dianggap lebih tua akan dipanggil ‘kakak’, tetapi untuk yang lebih muda akan dipanggil ‘ading’. Panggilan ini juga digunakan kepada orang yang belum kita ketahui namanya. Namun, jika sudah diketahui namanya, leksikon ‘ading’ jarang digunakan dalam percakapan. Mereka akan memanggil dengan nama. Berbeda dengan leksikon ‘kakak’ yang akan terus digunakan meski sudah diketahui namanya.
Konsep ini sedikit berbeda dengan ‘mas’ dan ‘mbak’. Dua panggilan ini merujuk kepada gender, dimana ‘mas’ untuk pria dan ‘mbak’ untuk wanita. Yang menarik adalah, dalam sistem komunikasi masyarakat Jawa, panggilan ini tidak menekankan pada usia, tetapi pada kesopanan. Seseorang yang memanggil orang lain yang baru dikenal, tanpa dua kata ini di depan namanya, akan dianggap tidak sopan. Tidak peduli referennya tua ataupun muda, selama itu adalah orang yang baru mereka kenal, dua kata tersebut akan selalu digunakan.
Begitulah akhirnya, komunikasi yang melibatkan individu dari kelompok budaya yang berbeda tak jarang memunculkan misinterpretasi. Sebuah pengalaman misinterpretasi yang saya sajikan di sini menjadi buktinya. Meskipun jenis komunikasi ini hanyalah inter-cultural communication sebagai sesama orang Indonesia, kesalahan dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan oleh saya maupun lawan tutur saya tetap tak terhindarkan akibat pemahaman subculture yang berbeda, khususnya dalam mempersepsikan kata sapaan atau honorific words.
Tetapi, apakah hal ini akan menjadi masalah besar? Tentu saja tidak. Dalam Sosiolinguistik, ada yang disebut dengan Teori Akomodasi (konvergen dan divergen). Saya memilih bersifat konvergen dengan mengakomodasi persepsi kebahasaan mereka dan memakainya dalam percakapan. Dengan demikian, proses komunikasi dapat berjalan lancar dan meminimalisir misinterpretasi.
Sekali lagi, Indonesia itu kaya, dan kekayaannya bisa dinikmati dari bahasa daerahnya.