Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia menghadapi perubahan yang cukup drastis dalam relasi antara guru dan murid. Fenomena murid yang berani memprotes guru, menyampaikan tuntutan secara terbuka, atau bahkan mengunggah interaksi kelas ke media sosial kini menjadi hal yang sering ditemui. Di sisi lain, guru berada dalam posisi serba sulit. Mereka harus mendidik, mengarahkan perilaku, dan menegakkan aturan, tetapi setiap tindakan dapat dipersoalkan oleh murid, orang tua, atau publik digital. Perubahan ini menciptakan ketegangan baru yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
Fenomena murid menuntut hak sebenarnya bukan hal yang keliru. Kesadaran akan hak memang meningkat, dan lingkungan pendidikan modern seharusnya memberi ruang bagi murid untuk menyampaikan aspirasi. Namun dalam banyak kasus, tuntutan tersebut disampaikan dalam situasi yang tidak tepat. Murid merasa berhak mempertanyakan setiap teguran dan menganggap semua tindakan guru sebagai bentuk pelanggaran. Keadaan ini menciptakan persepsi bahwa guru tidak lagi memiliki legitimasi yang kuat untuk membimbing. Dalam situasi seperti itu, banyak guru memilih menghindari teguran, bukan karena tidak peduli, tetapi karena tidak ingin menimbulkan masalah yang lebih besar.
Budaya Hormat yang Mulai Memudar
Perubahan perilaku murid tidak muncul tanpa sebab. Akses informasi yang luas membuat murid semakin percaya diri, tetapi pada saat yang sama mengikis batas-batas interaksi yang selama ini menjadi dasar hubungan guru dan murid. Dahulu, penghormatan kepada guru dianggap sebagai norma sosial yang tidak perlu dipertanyakan. Kini, norma tersebut mulai digantikan oleh pola hubungan yang lebih egaliter, tetapi sering kali tanpa pemahaman mengenai tanggung jawab di baliknya.
Banyak murid merasa bahwa haknya untuk menyampaikan kritik memberi mereka ruang untuk tidak mengikuti aturan. Mereka tidak lagi melihat ketertiban kelas sebagai bagian dari proses belajar, tetapi sebagai batasan terhadap ekspresi diri. Dalam beberapa kasus, murid lebih memilih protes terbuka daripada menerima arahan. Hal ini terlihat dari berbagai peristiwa di sekolah yang viral di media sosial, dimana murid menantang guru atau menolak instruksi secara terang-terangan.
Namun perubahan budaya ini juga mencerminkan ketidaksiapan sistem pendidikan dalam menghadapi generasi yang tumbuh dalam lingkungan digital. Guru masih menggunakan pendekatan lama, sementara murid hidup dalam dunia yang memberikan mereka ruang untuk bersuara tanpa batas. Ketimpangan dinamika ini membuat interaksi menjadi tidak seimbang. Guru tetap memikul tanggung jawab moral dan profesional, tetapi murid memiliki ruang untuk mempertanyakan hampir setiap tindakan tanpa memahami konteks pendidikan di baliknya.
Dilema Guru dalam Ruang Sosial yang Berubah
Guru kini berada dalam posisi dilematis. Mereka dituntut menanamkan karakter, mengajarkan kedisiplinan, dan membentuk perilaku, tetapi tidak memiliki jaminan bahwa tindakan tersebut akan dipahami secara positif. Banyak guru mengaku enggan menegur murid karena khawatir rekaman atau cuplikan video akan disebarkan tanpa konteks. Dalam kondisi seperti ini, guru berisiko kehilangan otoritas yang selama ini menjadi fondasi proses pembelajaran.
Dilema ini tidak hanya memengaruhi kualitas interaksi, tetapi juga menurunkan motivasi guru dalam menjalankan peran pembinaan. Ketika setiap teguran dapat dianggap sebagai pelanggaran, guru kehilangan ruang gerak untuk mendidik secara utuh. Akibatnya, ruang kelas menjadi tempat yang sulit dikendalikan, terutama ketika sebagian murid hadir tanpa kesadaran disiplin. Bagi guru, situasi ini tidak hanya melelahkan secara emosional, tetapi juga mengikis semangat profesional yang seharusnya menjadi kekuatan utama pendidikan.
Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, kondisi ini menjadi tantangan serius. Indonesia menargetkan generasi 2045 yang kompeten dan berkarakter, tetapi karakter tidak dapat dibentuk tanpa relasi pendidikan yang stabil. Ketika guru takut menegur dan murid tidak mau diatur, proses pembentukan karakter kehilangan fondasinya.
Generasi yang Menuntut Hak, Tetapi Enggan Menjalankan Tanggung Jawab
Fenomena meningkatnya tuntutan murid terhadap guru memperlihatkan dinamika sosial baru. Murid semakin menyadari haknya, tetapi tidak selalu memahami tanggung jawab yang menyertainya. Kesadaran hak yang tidak diimbangi dengan tanggung jawab menciptakan perilaku yang impulsif, terutama ketika mendapat dukungan dari lingkungan digital yang memberi ruang untuk popularitas instan.
Tuntutan murid seharusnya mendorong sekolah menjadi lebih transparan, tetapi yang terjadi justru adalah meningkatnya ketegangan. Ketika murid menolak arahan tetapi menuntut fasilitasi, hubungan menjadi tidak seimbang. Situasi ini memperlihatkan bahwa sebagian murid tidak lagi melihat sekolah sebagai ruang pendidikan, tetapi sebagai tempat negosiasi yang selalu menguntungkan mereka.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai arah pembangunan manusia Indonesia. Bagaimana mungkin membangun generasi produktif jika sebagian dari mereka enggan mengikuti aturan dasar? Bagaimana menciptakan tenaga kerja berkualitas jika sejak sekolah murid terbiasa menolak otoritas tanpa memahami tanggung jawab?
Membangun Kembali Relasi Pendidikan
Perubahan yang terjadi membutuhkan penataan ulang, bukan sekadar penyesuaian kecil. Guru perlu dilindungi melalui pedoman disiplin yang jelas dan dukungan profesional yang tegas, agar mereka tidak ragu menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Di sisi lain, murid perlu dididik untuk memahami batas interaksi serta konsekuensi dari perilaku mereka. Literasi digital harus menjadi bagian dari pendidikan karakter, karena banyak perilaku tidak menghormati guru berakar dari aktivitas di ruang digital yang tidak terkendali.
Orang tua juga memiliki peran penting dalam membangun kembali relasi ini. Ketika keluarga memberikan dukungan dan pemahaman mengenai batas wajar disiplin, guru tidak lagi merasa bekerja sendirian. Dalam jangka panjang, keberhasilan menciptakan interaksi pendidikan yang sehat akan menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Tanpa relasi yang saling menghormati, sulit membayangkan terbentuknya generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Fenomena guru yang ragu menegur dan murid yang menuntut tanpa batas bukan hanya persoalan perilaku individu, tetapi tanda bahwa pendidikan sedang berada pada titik yang rapuh. Jika tidak segera diperbaiki, kita berisiko membentuk generasi yang lebih berani meminta daripada berusaha, dan lebih cepat menilai daripada memahami. Untuk membangun masa depan, Indonesia membutuhkan sekolah yang kembali menjadi ruang pembentukan karakter, bukan ruang konflik antara hak dan tanggung jawab.
