Rabu, November 12, 2025

Ketika Puisi dan Doa Menjadi Lagu

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Dosen di perguruan tinggi Islam kota Tangerang. Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center Research of Islamic Studies (CRIS) Foundation. Pecinta Studi al-Qur`an, ilmu Sosial dan Sejarah Islam juga Indonesia. Penikmat kopi susu dan travelling.
- Advertisement -

Ada masa ketika bangsa-bangsa tidak hanya berjuang dengan senjata, tapi juga dengan kata dan nada. Di antara gelombang penjajahan dan keresahan identitas, dua seniman lahir sebagai suara hati bangsanya: Mehmet Akif Ersoy di Turki dan Wage Rudolf Supratman di Indonesia. Mereka bukan jenderal atau politisi, tetapi karya mereka menjadi bendera yang tak pernah layu—İstiklâl Marşı dan Indonesia Raya.

Mehmet Akif Ersoy: Iman yang Menjadi Api Perlawanan

Ersoy hidup di masa genting ketika Kekaisaran Ottoman runtuh dan Turki berjuang mencari jati diri baru. Dalam kondisi bangsa yang remuk oleh perang dan kehilangan harapan, ia menulis İstiklâl Marşı pada tahun 1921—sebuah puisi yang kemudian menjadi mars kemerdekaan Turki.

Bait pertama puisinya dimulai dengan seruan yang mengguncang jiwa:

> “Korkma! Sönmez bu şafaklarda yüzen al sancak!”

(Jangan takut! Bendera merah yang berkibar di fajar ini takkan pernah padam!)

Kalimat itu terasa seperti doa sekaligus tantangan. Ersoy menulis bukan dari tempat aman, melainkan dari hati yang terluka. Ia mengubah penderitaan menjadi kekuatan, menjadikan kata-kata sebagai bentuk ibadah terhadap tanah air.

Puisi itu mengandung spiritualitas yang mendalam: iman kepada Tuhan dan cinta kepada tanah air berpadu menjadi satu. Ersoy mengingatkan bangsanya bahwa kemerdekaan bukan sekadar cita-cita politik, melainkan panggilan moral. Dari puisinya, saya belajar bahwa nasionalisme tidak harus keras atau lantang; kadang ia berbisik lembut lewat iman dan harapan.

W.R. Supratman: Nada yang Membangunkan Jiwa Nusantara

Sementara itu, di belahan dunia lain, Nusantara juga sedang mencari dirinya sendiri. Pada tahun 1928, dalam Kongres Pemuda II, seorang pemuda bernama W.R. Supratman memperdengarkan lagu yang akan mengubah arah sejarah: Indonesia Raya.

Liriknya sederhana, bahkan polos, tapi di balik kesederhanaan itu tersimpan semangat besar:

- Advertisement -

> “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”

Supratman tidak menulis lagu perang, melainkan lagu kebangkitan jiwa. Ia mengajak rakyat untuk berdiri bersama, bukan melawan satu sama lain, tapi melawan ketertinggalan dan penindasan. Melodi yang ia ciptakan lembut, tapi punya daya hidup luar biasa. Setiap kali saya menyanyikan Indonesia Raya, ada getar halus di dada—seakan diingatkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah, tapi hasil dari keberanian untuk bermimpi bersama.

Supratman tahu bahwa musik bisa melampaui batas bahasa dan budaya. Lagu ini bukan hanya milik satu kelompok atau suku, tapi seluruh bangsa. Ia menulis dengan kesadaran bahwa Indonesia bukan sekadar kumpulan pulau, tetapi sebuah cita-cita bersama.

Ketika Seni Menjadi Nafas Bangsa

Ersoy dan Supratman hidup dalam konteks sejarah yang berbeda, namun jiwa mereka seirama. Ersoy mengobarkan iman, Supratman menyalakan persatuan. Keduanya menulis di tengah keputusasaan, namun justru karena itu karya mereka menjadi sumber kekuatan.

Saya membayangkan keduanya duduk di tepi zaman, menatap bangsa mereka yang sedang tumbuh dari reruntuhan. Dengan pena dan nada, mereka memilih jalan yang sama: menyalakan harapan. Dalam puisi dan lagu, mereka menciptakan ruang spiritual bagi bangsanya—tempat di mana iman, kemanusiaan, dan kebangsaan menyatu tanpa sekat.

Bagi saya pribadi, perjumpaan simbolis antara İstiklâl Marşı dan Indonesia Raya adalah pertemuan dua jiwa bangsa yang percaya bahwa seni bisa menjadi bentuk perlawanan paling manusiawi. Karya mereka bukan sekadar simbol kenegaraan, melainkan kesaksian spiritual: bahwa cinta tanah air bisa setulus doa.

Mewarisi Keberanian, Bukan Hanya Lirik

Setiap kali saya membaca İstiklâl Marşı atau menyanyikan Indonesia Raya, saya merasa sedang berbicara dengan sejarah—dengan orang-orang yang memilih harapan di tengah kehancuran. Mereka tidak hanya menulis lirik atau melodi; mereka menulis masa depan.

Kini, tantangan kita berbeda. Penjajahan mungkin tak lagi berupa senapan, tapi bisa hadir dalam bentuk apatisme, ketidakpedulian, dan kehilangan arah. Dalam dunia yang bising oleh kepentingan dan kemarahan, karya seperti İstiklâl Marşı dan Indonesia Raya mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, lalu bertanya: apakah kita masih punya semangat yang sama?

Ersoy dan Supratman mengajarkan bahwa kebebasan sejati lahir dari kesadaran, keberanian, dan cinta yang tak pernah lelah. Mereka menulis bukan untuk dikenang, tapi untuk menghidupkan kembali jiwa bangsa—setiap kali kita mulai lupa.

Puisi dan lagu mereka adalah pengingat bahwa bangsa berdiri bukan hanya di atas tanah dan darah, tetapi juga di atas kata dan nada yang lahir dari hati yang mencintai.

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Dosen di perguruan tinggi Islam kota Tangerang. Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center Research of Islamic Studies (CRIS) Foundation. Pecinta Studi al-Qur`an, ilmu Sosial dan Sejarah Islam juga Indonesia. Penikmat kopi susu dan travelling.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.