Jumat, Maret 29, 2024

Ketika Perempuan Menggugat: Dari Khaulah ke Al-Mujâdalah

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.

Tidak sedikit para aktivis perempuan yang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Arab Saudi ketika memperjuangkan hak mengemudi bagi perempuan, di mana perjuangan mereka akhirnya berbuah manis dengan dikeluarkannya keputusan resmi pemerintah Arab Saudi yang mengizinkan perempuan mengemudi. Begitu pula di Iran, di mana Ghoncheh Ghavami ditangkap dan ditahan karena menonton pertandingan voli laki-laki sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah Iran yang melarang perempuan Iran menonton pertandingan olah raga yang dilakukan oleh laki-laki di stadion. Berbeda dengan aksi nekat aktris cantik Golshifteh Farahani yang melakukan foto bugil sebagai kritik terhadap hegemoni laki-laki dan perjuangan terhadap kesetaraan gender bagi perempuan di negaranya, Iran, sehingga menyebabkan dirinya dikucilkan dari sana. Bahkan pengalaman tragis dialami oleh perempuan asal Pakistan, Malala Yousafzai, yang ditembak karena memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki di negerinya.

Perjuangan para perempuan dalam mendapatkan hak-haknya ini tidak hanya terjadi di “jaman now” yang sudah melek pengetahuan, tetapi juga pernah bergeliat di “jaman old” seperti dilakukan oleh Khaulah ra., yang mengadukan kesewenang-wenangan suaminya kepada Rasulullah saw., sehingga menyebabkan turunnya surat Al-Mujâdalah. Imam Muḥammad Jamâluddîn al-Qâsimî menjelaskan dalam Maḥâsin at-Ta’wîl (1957, XVI: 5704) bahwa alasan surat ke-58 dinamakan dengan Al-Mujâdalah karena surat ini turun atas aksi seorang perempuan yang mengajukan gugutan demi mencari kebenaran dan hak-haknya, di mana hal tersebut sama saja dengan menggugat para Nabi as. dan Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah kemudian menjawab gugatan tersebut dengan menurunkan ayat-ayat-Nya.

Dalam hal ini, penulis secara spesifik membahas dan menelaah kandungan surat Al-Mujâdalah ayat 1-4, di mana sebab turun(asbâb an-nuzûl)nya berhubungan dengan perempuan bernama Khaulah binti Śa’labah bin Malik yang diẓihâr oleh suaminya, Aus ibn Ṣâmit, sehingga dia mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw. seraya berkata: wahai Rasul Allah, masa mudaku telah berlalu. Perutku telah keriput. Aku telah tua dan tidak akan melahirkan anak lagi, sedang suamiku menẓihârku. Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu. Dia tiada henti-henti mengadukan hal tersebut kepada Allah sehingga turunlah malaikat Jibril membawa ayat-ayat tersebut.

Menurut riwayat lain, Nabi saw. menanggapi pengaduan Khaulah ra. dan mengharamkan dia bergaul dengan suaminya, sebagaimana biasa berlaku di Arab pada masa itu. Lalu Khaulah ra. menjawab bahwa suaminya belum menjatuhkan kata talak kepadanya, yang kemudian dijawab lagi oleh Nabi saw. dengan jawaban semula, yaitu dia tetap haram bergaul dengan suaminya. Mendengar itu semua, dia sangat bersedih hati dan meluapkan segala kegundahan hatinya kepada anak-anaknya dan mengadukannya kepada Allah (at-Tafsîr al-Munîr, 379-380). Hal ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat Arab jahiliah yang suka menẓihâr  istrinya ketika tidak menyukainya, di mana hukum ẓihâr ini membuat para istri menderita karena tidak memiliki suami dan tidak bisa menikah lagi kecuali dengan mantan suaminya tersebut (al-Fiqh al-Islâm, 1985, VII: 585). Khaulah ra. menggugat hukum jahiliah yang merampas hak-hak perempuan ini, di mana akhirnya hukum ẓihâr dibatalkan oleh Allah melalui al-Mujâdalah (58): 1-4, dari talak ke kafarat. Seorang istri yang diẓihâr tidak tertalak dan bisa digauli lagi setelah suaminya membayar kafarat. Berdasarkan ayat ini pulalah para ulama sepakat akan keharaman ẓihâr (Sayyid Sâbiq, Fiqh as-Sunnah, II: 200), di mana menurut Azhar Basyir, ẓihâr tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena kebiasaan ẓihâr tidak dikenal dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga ia tidak perlu dimasukkan dalam salah satu ketentuan hukum perkawinan di Indonesia (Akhmad Mujahidin, et.al., Aktualisasi Hukum Islam, 2007: 248).

Lain pada itu, ayat ini (al-Mujâdalah (58): 1-4) bagi penulis mengandung makna dan nilai yang sangat luar biasa, khususnya dalam hal pembelaan kepada kaum perempuan yang hak-haknya diabaikan dan ditindas oleh kekuasaan dan hegemoni tertentu. Pertama, aksi Khaulah tersebut merupakan prestasi yang sangat luar biasa dan mengagumkan karena sangat berani memperjuangkan hak-haknya yang ditindas, yaitu dengan mempertanyakan atau tepatnya menggugat tradisi ẓihâr yang sudah mapan dan mengakar di dalam kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu, di mana hal tersebut sangat merugikan kaum perempuan tanpa terkecuali dirinya sendiri. Padahal diketahui dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanyalah seorang perempuan, yang pada masa jahiliah tidak memiliki kekuasaan apa-apa karena dianggap “barang” semata. Selain itu, peristiwa ini menjadi bukti bahwa datangnya Islam di Arab memberikan pengaruh yang sangat signifikan, khususnya dalam mengembalikan derajat perempuan yang setara dengan derajat laki-laki, sehingga tidak heran apabila kaum perempuan mulai berani menyuarakan hak-haknya.

Kedua, apabila dibahasa-simbolkan, maka ẓihâr merupakan simbol penindasan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh laki-laki—meminjam bahasa Azhar Basyir penganiayaan suami terhadap istri; Khaulah adalah simbol dari perjuangan perempuan, di mana untuk konteks saat itu merupakan keberanian yang sangat luar biasa; sedangkan surat al-Mujâdalah adalah simbol pembebasan perempuan dari hegemoni dan penindasan laki-laki, yaitu dengan mengharamkan ẓihâr dan menghukum berat bagi siapa saja yang melakukanya, seperti memerdekakan seorang budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Ketiga, ayat ini memberikan pemahaman bahwa hakikatnya perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, sehingga harus dipenuhi—bukan malah diabaikan apalagi ditindas—dan sangat tidak pantas apabila dipermainkan semisal dengan kebiasaan ẓihâr. Dengan kata lain, perempuan adalah manusia seperti biasanya yang keberadaannya harus dihormati, dihargai, dijaga, dilindungi, dicintai, dan disayangi. Kalau laki-laki takut disakiti, dikhianati, dan dilukai, begitu pula perempuan. Jika laki-laki tidak suka dipermainkan, ditindas, dan diabaikan hak-haknya, demikian juga perempuan. Kalau laki-laki tidak mau disiksa atau dianiaya, begitu jua perempuan. Perempuan dan laki-laki sama sekali tidak berbeda, yaitu memiliki perasaan yang sama: sama-sama merasakan bahagia apabila dibahagiakan dan sama-sama merasakan sakit apabila disakiti. 

Keempat, suatu tatanan, hukum, ketetapan, dan fatwa yang bertentangan dengan keadilan, maka ia harus dilawan dan dihilangkan. Tidak lain dan tidak bukan karena akan merugikan dan memberikan mudarat kepada kehidupan manusia, tanpa terkecuali perempuan. Kelima, inilah bukti bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Adil yang sangat membenci ketidak-adilan, sehingga tidak mungkin (mustahil) Dia berkata, bersikap, dan berbuat tidak adil kepada seluruh makhluk-Nya termasuk manusia tanpa terkecuali kepada kaum perempuan! Sederhananya, apabila Allah swt. sebagai Pencipta (khâlik) berbuat adil, maka apakah pantas manusia sebagai makhluk berbuat tidak adil kepada sesama? Wa Allâh a’lam wa a’lâ wa aḥkam…

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.