“Akan lebih baik jika dia diam saja. Atau ia bisa meminta maaf atau berkata ‘aku tak benar-benar tahu Bruce Lee seperti apa’,” melalui wawancara dengan Variety tersebut nampak kegeraman Shannon Lee pada Quentin Tarantino atas penggambaran ayahnya dalam film Once Upon A Time In Hollywood.
Kegeraman Shannon sebenarnya dapat dimengerti. Pasalnya, film berlatar Hollywood medio 1969-an tersebut menampilkan sebuah adegan yang meski singkat tapi sudah cukup untuk melukai reputasi sang legenda martial arts, Bruce Lee. Tokoh yang dilakoni Mike Moh itu ditampilkan sebagai pria bermulut besar dan ‘banyak gaya’.
Kala itu Bruce yang sudah menjadi bintang besar Hollywood membual di lokasi syuting bahwa ia sanggup mengalahkan Cassius Clay (kini dikenal sebagai Muhammad Ali). Ucapan itu pun ditertawakan oleh Cliff Booth, diperankan Brad Pitt, dan yang mengatakan bahkan Bruce Lee pun belum layak disejajarkan dengan noda di celana Cassius Clay. Adegan tersebut berakhir dengan duel yang membuat Bruce Lee hampir babak belur jika saja tak dihentikan oleh istri sang sutradara.
Tak hanya dari anak perempuannya, cercaan atas adegan yang dinilai tak menghormati Bruce Lee ini datang juga dari Kareem Abdul-Jabbar. Legenda Los Angeles Lakers yang juga teman karib Bruce ini sampai menuliskan esai 772 kata di The Hollywood Reporter tentang kekecewaannya pada Tarantino.
Kareem menilai penggambaran atas Bruce terlalu kartunis dan satu dimensi bahkan cenderung stereotipikal ala pria Asia bermulut besar. Ia juga menuliskan bahwa “Tarantino memiliki hak seni untuk menggambarkan Bruce dengan cara apapun yang dia mau. Tetapi melakukannya dengan cara yang ceroboh dan agak rasis adalah kegagalan, baik sebagai seniman maupun sebagai manusia.”
Tak hanya dari orang-orang dekat Bruce Lee saja. Cercaan atas penggambaran Bruce Lee juga muncul di seantero warganet. Tuduhan bahwa Tarantino telah menunjukkan sisi rasisnya merupakan salah satu yang paling nyaring didengar.
Melihat adegan dalam filmnya menjadi kontroversi membuat Tarantino membuka suara. Tarantino sebenarnya punya argumen tersendiri untuk menggambarkan sang pendiri seni beladiri Jeet Kune Do sedemikian rupa. Melalui konferensi pers yang dilakukan di Rusia ia pun membela diri.
“Bruce Lee merupakan pria yang arogan. Cara dia berbicara, aku tidak membuat-buatnya. Aku mendengarnya mengucapkan hal seperti itu. Orang-orang berkata ‘Dia (Bruce Lee) tidak pernah berkata ia sanggup mengalahkan Muhammad Ali.’ Ya, dia mengatakannya! Tidak cuma dia, tapi istrinya juga, Linda Lee mengatakan di biografi pertamanya yang saya pernah baca. Dia benar-benar mengatakan itu,” ucapannya tersebut seakan menjadi isyarat bahwa alih-alih sekadar satir, penggambaran Bruce Lee tersebut memanglah benar berasal dari relung pikiran Tarantino.
Tentu saja cukup unik mengingat jika melihat karya-karyanya yang banyak mengambil referensi dari film beladiri lawas, nampak bahwa Tarantino menaruh respek cukup dalam bagi Bruce Lee. Bahkan salah satu karya paling terkenal Tarantino, Kill Bill, menampilkan Uma Thurman sebagai The Bride, seorang alpha female yang mengenakan setelan olahraga kuning ala Bruce Lee di Game of Death.
Adegan kecil Bruce Lee melawan Cliff Booth seakan menjadi sorotan dari sekian banyak referensi tentang Hollywood yang diceritakan di film tersebut. Bagaimana tidak, penggambaran Bruce Lee sebagai pria bermulut besar yang sebenarnya tak hebat-hebat banget ini terhitung baru dan mengejutkan.
Jika menilik kisah legendaris Bruce Lee, memang tak jarang kita akan mendengar mitos khas manusia super. Sanggup mengambil koin dari tangan seseorang sebelum sempat dikepalkan hingga bermain tenis meja menggunakan nunchucks. Belum lagi ditambah kisah tentang betapa gesitnya gerakan Bruce Lee sampai-sampai harus di-slow motion agar bisa tertangkap kamera.
Kisah Bruce Lee paling legendaris tentu saja pertarungannya dengan seorang grandmaster seni bela diri Cina, Wong Jack Man. Konon para seniman bela diri Cina tidak menyukai Bruce Lee yang terlalu sering melatih bela diri Cina ke orang-orang ‘kulit putih’.
Puncaknya, Wong pun menantangnya untuk bertarung di hadapan publik. Jika Bruce Lee menang ia boleh melatih siapa pun yang ia mau. Jika kalah, suka tak suka sekolah bela dirinya harus ditutup.
Menurut Bruce dan Linda Lee pertarungan yang dilangsungkan secara privat itu berakhir hanya dalam tiga menit. Bahkan, Wong yang tiga inchi lebih tinggi dari Bruce sampai harus lari terbirit-birit sembari terus dihajar olehnya. Pertarungan berakhir ketika Wong memohon dengan mengatakan “That’s enough!”
Semakin meyakinkan apabila menilik ke film-film seperti Enter The Dragon hingga The Way of Dragon kala Bruce Lee selalu ditampilkan sebagai pria alpha male yang berhasil menghajar lawan-lawannya jauh sebelum Jean Claude Van Damme ataupun Steven Seagal mulai mengisi layar kaca.
Kita mungkin mengenal Arnold Schwarzenegger dan Chuck Norris sebagai tokoh-tokoh yang tangguh. Tetapi jika dibandingkan dengan kisah manusia super ala Bruce Lee ‘ketangguhan’ mereka masih terasa seperti orang kuat biasa.
Kisah-kisah tersebut berulang kali dituturkan sampai-sampai diyakini sebagai kebenaran. Tak ayal meski telah wafat lebih dari 46 tahun, kenangan yang dicetak Bruce Lee masih berhasil eksis dalam kepala orang-orang dari berbagai generasi.
Sosok Bruce Lee juga tak sekadar dikenang karena kehebatan bela dirinya. Ia juga berhasil melawan stereotip orang Asia di Hollywood dengan berhasil memperoleh karakter utama tangguh yang biasanya diisi oleh aktor-aktor kulit putih. Sebelumnya, aktor-aktor Asia yang berkiprah di Hollywood lebih sering mengisi peran stereotipikal sebagai pelayan patuh ataupun tokoh antagonis.
Menggambarkan Bruce Lee sebagai pria bermulut besar yang tak bisa bertarung ini sama saja seperti mengatakan Pele tak bisa bermain sepak bola atau Gary Kasparov payah dalam bercatur. Bagaimana seorang yang kehebatannya sudah hampir menjadi mitos di bidangnya tiba-tiba dikerdilkan dengan cara ekstrem oleh sebuah film.
Maka tak heran apabila kontroversi adegan Bruce Lee di film tersebut mampu menyulut perhatian masyarakat. Bahkan bisa dibilang adegan kecil Bruce Lee merupakan perdebatan paling ramai di antara seluruh rentetan telur paskah yang ditampilkan film tersebut.
Padahal jika melihat premisnya, Once Upon A Time In Hollywood sebenarnya lebih banyak menjual tragedi terbunuhnya aktris Sharon Tate oleh Charles Manson. Idealnya, tragedi Sharon Tate-lah yang menjadi perbincangan hangat, terlebih dengan modifikasi cerita yang diciptakan oleh Tarantino, bukan adegan kecil sang legenda seni beladiri. Tapi kembali lagi Bruce Lee adalah Bruce Lee, kita tak bisa membahasnya begitu saja dan berharap ia tak mencuri perhatian.