Jumat, April 19, 2024

Ketika Jurnalis Dimabuk “Alkohol”

Ilham Akbar
Ilham Akbar
Mahasiswa yang sangat mencintai Batagor dan hobi membaca buku. Director Film Today is Ended. Link Film: https://youtu.be/bKDMqolO4fI

Hal ajaib yang bisa dilakukan oleh para jurnalis adalah menciptakan opini publik yang sangat heboh. Entah mukjizat apa yang diberikan oleh Tuhan kepada para jurnalis sehingga bisa memberikan dampak yang siginfikan bagi kehidupan masyarakat.

Fenomena jurnalisme yang selalu mengedepankan berita sensasional merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, tentu saja pada umumnya semua masyarakat mengetahui bahwa praktik tersebut adalah praktik yang lebih haram daripada praktik prostitusi. Mengapa seperti itu?

Tentu saja jika mereka tidak memperdulikan kebenaran dalam membuat berita, maka yang terkena dampak dari berita tersebut bukan hanya 1 atau 2 orang, tetapi yang dirugikan adalah khalayak ramai. Hal ini dibuat semakin pelik, jika masyarakat yang kurang melek terhadap isu media, maka tentu saja mereka akan terus mendapatkan kebenaran palsu yang disebarkan oleh media tersebut.

Tetapi pada saat ini yang menjadi permasalahan adalah mengenai konstruksi fakta dalam berita, karena dengan mengatasnamakan kebebasan pers, maka tentunya para jurnalis sangat lihai untuk membingkai berita demi menjatuhkan martabat individu, lembaga, maupun Negara.

Misalnya  kasus Tomy Winata melawan Majalah Mingguan Tempo edisi 3-9 Maret 2003 di halaman 31 memuat tulisan berjudul, “Ada Tommy di Tenabang?.”  Berita tersebut berkaitan dengan peristiwa kebakaran di Pasar Tanah Abang pada tanggal 19 Februari 2003.

Majalah Tempo melakukan investigasi dan menemukan rumor bahwa kebakaran ini disengaja terkait dengan rencana pemerintah daerah Jakarta untuk membangun kembali menjadi pasar yang lebih modern. Rumor itu kemudian dikaitkan dengan nama Tomy Winata (pengusaha pemilik Bank Artha Graha).

Atas pemberitaan itu, Tomy melalui pengacaranya mengajukan tuntutan perdata maupun pidana terhadap Tempo. Pemberitaan ini dianggap mencemarkan nama baik Tomy Winata. Tempo dituduh telah melanggar KUHP dengan mengajukan tuntutan 100 miliar sebagai kerugian material, 100 miliar pula sebagai kerugian immaterial. Tidak itu saja, tergugat diwajibkan melakukan permohonan maaf secara terbuka kepada penggugat melalui media elektronik maupun cetak (Nurudin, 2009: 301).

Memang tanpa dipungkiri untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya para jurnalis harus selalu memutar otaknya untuk membuat berita yang sensasional, dan seperti biasa mitos lama pun selalu diterapkan untuk menciptakan opini publik yang sangat heboh, yaitu “Good news is no news, bad news is good news.” Ungkapan ini pernah diyakini kebenarannya oleh wartawan dalam kurun waktu lama. Bisa jadi, ungkapan itu benar. Bahwa berita buruk juga akan membuat rasa ingin tahu masyarakat besar (Nurudin, 2009: 49).

Jadi sangat tidak mengherankan jika sampai saat ini pun berita yang sensasional masih menjadi kebutuhan bagi para media untuk membangkitkan perhatian masyarakat. Terlebih lagi pada saat ini masyarakat sangat mudah terpancing dengan berita-berita yang hanya berbobot di judulnya saja, tetapi ketika membaca isi beritanya, pada akhirnya berita tersebut sangat tidak bermutu sama sekali.

Pratik Alcohol Journalism dan Kehebohan Iklan Jokowi

Pada saat ini masyarakat dihebohkan dengan iklan Jokowi di bioskop. Iklan tersebut dianggap sebagai kampanye politik yang seolah-olah menyorot Jokowi dan dianggap mempunyai tendensi politik yang berkaitan dengan Pilpres 2019.

Iklan yang ditampilkan di bioskop tersebut berjudul, “2 Musim, 65 Bendungan”, iklan itu diputar sebelum tayangan film di bioskop dimulai. Pada iklan tersebut menampilkan pembangunan sejumlah bendungan yang kemudian diikuti dengan testimoni dari seorang petani, dan diakhiri dengan sambutan dari Presiden Jokowi yang mengatakan, “Tidak akan mungkin menjadi bangsa yang berdaulat di bidang pangan kalau jumlah bendungan dan saluran irigasi yang mengairi lahan-lahan pertanian kita di penjuru tanah air sangat terbatas.”

Iklan Jokowi pada akhirnya menuai pro dan kontra, sehingga membuat oposisi dari Jokowi semakin geram terhadap ulah para pendukung Jokowi yang selalu melakukan propaganda di media massa.

Sebenarnya yang membuat permasalahan itu semakin pelik adalah para jurnalis. Karena ketika berita mengenai iklan Jokowi itu beredar di media massa dan online, masyarakat pun semakin terpengaruh dengan pembingkaian berita yang seolah-olah menyudutkan Jokowi. Oleh karenanya, dalam hal ini para jurnalis tersebut sedang dimabuk oleh alkohol.

Praktik Alcohol Journalism merupakan kegiatan mengolah berita yang dilakukan seorang wartawan tanpa memperdulikan kehormatan suatu bangsa atau lembaga (Effendy, 1989: 13). Dalam hal ini, beberapa pemberitaan di media massa dan online sangat tidak memperdulikan kehormatan pemerintah yang memang bertugas untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka. Dan   tentu saja, berita tersebut sangat sensasional dan paling tepat untuk diterbitkan di saat masa perang adu tagar di media sosial maupun di dunia nyata.

Suasana gaduh yang ditimbulkan oleh beberapa institusi media tersebut, tentunya tidak seolah-olah hadir tanpa direncanakan. Semua institusi media pasti mempunyai rencana untuk membuat berita yang benar-benar menjadi perhatian masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh McCombs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quarterly tahun 1972, berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media.

Asumsi dasar teori agenda-setting adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatau peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka penting juga bagi masyarakat (Burhan Bungin, 2006: 285).

Jadi tentu saja, apa yang dipikirkan oleh masyarakat pada saat ini mengenai iklan Jokowi di bioskop merupakan ulah dari para jurnalis di televisi, media online, koran, majalah, dan lain-lain yang selalu memengaruhi pemikiran masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat jangan hanya melihat pada satu sumber saja mengenai berita tersebut, masyarakat harus lebih pintar dari para jurnalis yang selalu dimabuk alkohol.

Jika jurnalisnya mabuk, dan masyarakatnya juga ikutan mabuk, lalu siapa yang akan menyadarkan? Maka dari itu, sangat penting sekali untuk kembali sadar dan melihat kebenaran berita yang tidak ada intevensi dari tangan-tangan nakal para jurnalis. Oleh karena itu, para jurnalis harus lebih bijaksana dalam membingkai berita, ketika pemerintahan sedang melakukan penyebaran informasi, maka jurnalis harus selalu membantu penyebaran informasi tersebut dengan sebaik mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, M. Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Effendy, Onong Uchajana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: CV. Mandar Maju.
Nurudin. 2009. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Ilham Akbar
Ilham Akbar
Mahasiswa yang sangat mencintai Batagor dan hobi membaca buku. Director Film Today is Ended. Link Film: https://youtu.be/bKDMqolO4fI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.