Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah perlu bergerak cepat. Ia perlu menentukan di mana ibu kota yang tepat bagi Dunia Islam kala itu, yang terbentang 5 juta mil persegi dari Maroko dan semenanjung Iberia hingga ke Asia Tengah.
Empat kali sudah Dinasti Abbasiyah bergonta-ganti ibu kota tanpa kejelasan. Khalifah Al-Mansur yang baru terpilih itu betul-betul dalam posisi tidak boleh salah pilih. Rupanya sang Khalifah sendiri punya mimpi besar tentang ibu kotanya. Ia ingin ibu kotanya menjadi wilayah vital perdagangan dunia dan menjadi “kota paling sejahtera sejagat”.
Yang tak kalah penting, ia ingin memastikan kotanya relatif aman dari ancaman simpatisan Dinasti Ummayah yang beberapa tahun silam digulingkan oleh keluarganya.
Memimpin sendiri pencarian ibu kota baru, Khalifah Al-Mansur bergerak ke arah Timur — basis pendukung setianya. Menyusuri Sungai Tigris yang subur, mata sang Khalifah tidak bisa beranjak dari perdukuhan bernama Baghdad.
Tim Ahli Khalifah (semacam Bappenas-nya) pun bergerak cepat melakukan studi kelayakan terhadap Baghdad dan memberikan laporannya kepada sang Khalifah:
Kami sarankan Anda untuk menetap di sini […] Dengan demikian Anda akan dikelilingi oleh kelapa sawit dan dan dekat dengan air. Maka, jika salah satu distrik menderita kekeringan, atau telat panen, distrik yang lain dapat membantu. Selain itu, Anda berada di tepi Al-Sarat, sehingga barang-barang kebutuhan dapat dengan mudah dipasok oleh kapal-kapal yang melintasi Sungai Eufrat; karavan dari Mesir dan Suriah akan melintasi padang pasir, berbagai macam barang dari Cina akan mencapai Anda melalui laut, dan dari Bizantium dan Mosul lewat Tigris. Sekali lagi, Anda berada di suatu tempat di antara sungai sehingga musuh tidak dapat menjangkau Anda kecuali dengan kapal, atau melalui jembatan, melalui Tigris atau Eufrat.
Mendengar rekomendasi ini, Khalifah Al-Mansur merasa telah menemukan calon ibu kota baru yang strategis dan memenuhi kriterianya. Ia pun tersenyum dan bersumpah, “Demi Allah, aku akan bangun ibu kota ini dan tinggal di sini seumur hidupku. Ia akan menjadi tempat tinggal keturunanku. [Baghdad] tentu akan menjadi kota paling sejahtera sejagat.”
Pembangunan Baghdad
Pada 30 Juli 762, Khalifah Al-Mansur meletakkan batu pertama menandai pembangunan ibu kota baru. Tak kurang 100 ribu pekerja dikerahkan dan 4.883.000 dirham rela ia gelontorkan untuk merealisasikan mimpinya. Ia juga tak ragu mempekerjakan dua arsitek andal di zaman itu. Pertama adalah seorang Yahudi bernama Mashallah dan yang kedua adalah seorang penganut Zoroaster bernama Naubakht.
Ahli dalam geometri, Khalifah Al-Mansur mengawasi lansung pembangunan ibu kota yang ia desain melingkar. Dinding luar setinggi 25 meter dikelilingi oleh saluran air yang dalam guna menopang pertahanan kota. Empat gerbang dibangun dengan jarak yang sama dari pusat kota. Empat jalan utama beroperasi juga sebagai pasar menuju pusat kota. Di pusat kota sendiri, berdiri masjid dan Istana Negara dengan kubah zamrud setinggi 40 meter.
Pembangunan megaproyek ibu kota itu berlangsung kurang lebih selama 4 tahun. Setelah selesai, sang Khalifah yang ingin menunjukkan kebesarannya menamai kota itu Madinat Al-Mansur (Kota Al-Mansur).
Malang bagi sang Khalifah, penduduk kota dan ribuan orang yang berbondong-bondong pindah ke kota itu lebih suka menyebutnya Madinat Al-Salam atau Darussalam (Kota yang Damai) — berdasarkan referensi dari al-Qur’an di surat Yunus.
Barulah di abad ke-11, nama Baghdad digunakan secara resmi dan umum ketika menyebut ibu kota Kekhalifahan Abassiyah. Dengan populasi diperkirakan menembus 1 juta jiwa, Baghdad dan sekitarnya dapat dikatakan sebagai sentra kota terbesar kedua di dunia pada saat itu–hanya kalah oleh Cina yang memang berpenduduk jauh lebih besar.
Sesuai dengan mimpi besar Al-Mansur, Baghdad berhasil menjadi magnet bagi para cendekiawan, pedagang, dan pekerja terampil dari berbagai penjuru dunia. Baghdad pun lambat laun menjelma menjadi megapolitan yang makmur, berperadaban tinggi, dan aman –setidaknya sampai sebelum kedatangan tentara Mongol di tahun 1258 M.
Gemilang Kota Baghdad
Di zaman Khalifah Harun Al-Rashid dan putranya, Al-Ma’mun, Baghdad tidak hanya dikatakan sebagai sentra ekonomi dunia tetapi juga sentra ilmu pengetahuan dengan adanya Baitul Hikmah (semacam perpustakaan negara).
Sebuah studi menjelaskan bahwa begitu banyak uang masuk ke Baghdad, hingga Khalifah Harun diperkirakan mampu “mempekerjakan 100.000 pasukan, membangun kembali Baghdad jika ia mau, dan masih memiliki cukup uang untuk menggaji para penyair, filsuf, dan ahli matematika.”
Terlepas dari beberapa kontroversi menyangkut Khalifah Al-Ma’mun, Baghdad pada eranya betul-betul menjadi kota 1001 buku. Dan karenanya, para ilmuwan dan penerjemah mendapat posisi yang tinggi sehingga mereka diberikan gaji yang fantastis hingga 330 juta per bulan.
Bagi yang hidup di zaman itu, Baghdad adalah pusat dunia yang begitu memukau. Geografer ulung Al-Maqdisi memujinya dengan pujian yang begitu paripurna:
Baghdad, di jantung Islam, adalah kota kesejahteraan; di dalamnya ada orang-orang bertalenta, ada keanggunan dan kesopanan. Anginnya nyaman dan penetrasi ilmu sains begitu jelas terasa. Di dalamnya ditemukan yang terbaik dalam hal apa pun, dan semua yang indah. Dari situ muncul segala sesuatu yang layak dipertimbangkan, dan setiap keanggunan tertuju padanya. Semua hati menjadi miliknya, semua perang menentangnya, dan setiap tangan diangkat untuk mempertahankannya. [Baghdad] terlalu terkenal hingga ia tidak perlu lagi diperkenalkan, ia lebih jaya apa yang bisa kita gambarkan, dan ia betul-betul telah jauh melampaui pujian.
Rupanya bukan hanya Al-Maqdisi yang pernah begitu memuji Baghdad, Imam Syafi’i pun demikian.
Konon, sang Imam pernah bertanya kepada muridnya yang bernama Yunus bin ‘Abdul A’la apakah ia pernah ke kota Baghdad. Ketika sang murid mengatakan belum pernah, Imam Syafi’i tersenyum dan berkata:
ما رأيت الدنيا
“(Berarti) kamu belum pernah melihat dunia.”
Referensi: Marozzi, Justin. Baghdad: City of Peace, City of Blood–a History in Thirteen Centuries. Penguin, 2015; Al-Khalili, Jim, director. Science And Islam. Science And Islam, 2009.
Kolom terkait
Khalifah Harun Ar-Rasyid: Masa Keemasan Abbasiyah
Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah: Pecinta Ilmu yang Memenjarakan Ulama
Khalifah Al-Ma’mun: Disenangi Ilmuwan, Dijauhi Ulama
Pemindahan Ibu Kota Negara: Dari Imam Ali, Sukarno, hingga Anies Baswedan
Ingin baca artikel terkait Islam yang mencerahkan dan bermutu? Ingin punya satu aplikasi Islami yang lengkap, gratis dan tanpa iklan? Silakan download KESAN, aplikasi kepribadian Muslim dan kedaulatan santri, di http://bit.ly/Download-KESAN-Andorid.