Kamis, Oktober 9, 2025

Ketidakadilan Struktural di Media Sosial

Salis Fitria
Salis Fitria
Pegiat Literasi!
- Advertisement -

Masing-masing dari kita berpotensi menjadi korban ketidakadilan struktural. Ya, secara sederhana, itu merujuk pada kerugian atau ketidakadilan yang dialami seseorang bukan karena faktor pribadi, melainkan akibat struktur atau tatanan sistem yang membuatnya demikian. Media sosial (medsos) adalah contoh nyata fenomena tersebut. Tampak setiap orang memiliki peluang dan kesempatan yang sama. Misalnya berbagi konten, sarana hiburan, interaksi, berjualan, berbelanja, atau sekadar sarana ekspresi, edukasi, dan advokasi. Namun faktanya, medsos juga menciptakan kesenjangan.

Dulu, akun dengan followers sedikit dianggap kredibilitasnya lemah. Sedangkan pengguna dengan followers jutaan dan centang biru dianggap lebih valid. Tentu membeli followers atau lencana terverifikasi berbayar menjadi persoalan berbeda. Poin pentingnya, pengguna bisa memperoleh engagement dan impresi yang fantastis. Pun keuntungan secara perhatian bahkan bernilai ekonomi.

Kita tahu, bagaimana kasus anak Zaskia Adya Mecca dan Hanung Bramantyo bisa cepat terselesaikan. Manakala putri mereka, Kala Madali, berangkat sekolah bersama Faisal menggunakan motor. Mereka dihadang oleh aparat Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindakan kekerasan. Zaskia dan Hanung mengunggah cerita itu di akun pribadinya. Tak lama, postingan itu menyita banyak empati dan dukungan pengguna lain. Tidak sampai seminggu, pelaku “N” langsung ditahan dan mendapatkan sanksi Polisi Militer. Bahkan pimpinan “N” secara langsung menelepon Hanung, yang saat itu sedang menjalani ibadah Umroh, lalu meminta maaf secara institusi. Apakah semua pengguna punya keistimewaan yang sama seperti Zaskia-Hanung? Tentu saja tidak.

Menurut hemat penulis, ketidakadilan struktural mirip dengan konsep meritokrasi yang diperkenalkan oleh Michael Young (Meritocracy, 1980). Alih-alih menjadi alat netral, medsos justru menjadi bagian integral struktur sosial, ekonomi, politik yang lebih besar. Bagaimana bisa?

Pertama, kita perlu mengenali pemegang platform tersebut. Facebook, Instagram, Whatsapp dan Threads dikuasai oleh Meta, yang sampai saat ini, kekuasaan terbesarnya ada pada Mark Zuckerberg. Youtube dimiliki Google LLC. X (dulu Twitter) dimonopoli oleh Elon Musk. TikTok dikendalikan oleh perusahaan asal Tiongkok ByteDance Ltd. Bisa disimpulkan, ada yang menata “taman bermain” kita agar menarik dan menguntungkan bagi yang punya. Masing-masing memiliki agenda dan sangat bias oleh faktor kepentingan, baik secara ideologi, kewarganegaraan, politik dan kekuasaan, ekonomi dan bisnis, sampai pada faktor kebijakan. Ada dependency (ketergantungan) terhadap pemilik kuasa. Pengguna pun ‘terpaksa’ mengikuti arus kendali korporasi besar itu.

Kedua, akses medsos melibatkan aktivitas digital. Internet menjadi bekal utama. Meski di pelosok desa telah memiliki tower untuk konektivitas online, infrastruktur tersebut dibatasi oleh sinyal atau jangkauan. Pengguna di pedalaman sering mengeluhkan sinyal yang lemah atau putus-putus, listrik padam, dan kendala teknis lainnya.

Sangat berbeda dengan kualitas aksesibilitas di ibu kota negara maju. Mereka mendapatkan kecepatan internet yang canggih, biaya akses yang lebih terjangkau, dan lain sebagainya. Orang-orang sering menganggap ‘wajar’ kondisi tersebut. Meritokrasi bekerja. Jarang sekali ada yang bertanya mengapa akses negara maju lebih memungkinkan dibandingkan di negara dengan ekonomi tumbuh. Ini menyebabkan merit (prestasi) pengetahuan dan pengelolaan informasi seseorang ternyata tidak sepenuhnya ditentukan oleh usaha pribadi. Karena sejak awal, sudah ada ‘jurang pemisah’ soal kekuatan (struktur) akses.

Ketiga, dalih pemerataan akses medsos dari negara adidaya ke negara berkembang mirip pada era modernisasi (1950-1970). Pembangunan bertautan dengan transfer teknologi secara besar-besaran untuk mengejar ketinggalan. Namun sekarang, masalah inti bukan lagi pengguna smartphone bisa atau tidak bermain medsos, melainkan kurangnya akses pendidikan dalam penggunaan. Kesenjangan pengetahuan tentang literasi digital terjadi, seperti digital skills, digital culture, digital ethics, sampai digital safety.

Tidak semua pengguna punya modal sosial untuk hal-hal produktif, misalnya membuat prompt pada Artificial Intelligence (AI). Algoritma sering mempromosikan konten budaya dominan dan hal ini merugikan suara kelompok subaltern. Penyimpangan akses data pribadi sering terjadi, berulang, dan merugikan. Iklan-iklan dari perusahaan multinasional bertebaran. Medsos mengendalikan, menyensor, bahkan bisa membungkam suara-suara lokal yang terkucilkan. Itu semua merupakan contoh-contoh imperialisme budaya dan ekonomi politik modern saat ini.

Medsos juga menjadi alat reproduksi ideologi hegemonik. Kita tahu bagaimana Elon Musk menguasai X (Twitter) untuk mendukung aktivitas politiknya. Saat itu, Elon mengkampanyekan Donald Trump, dengan mengontrol algoritma, membuat narasi personal dan kebijakan konten demi mendulang kemenangan. Fakta menjadi kabur karena ada sisi tersembunyi secara halus. Kebenaran dan kebohongan dipertaruhkan. Strategi itu juga yang sering digunakan oleh elite politik mengontrol narasi. Mereka berupaya menguasai headline pesan demi kepentingan, menyebabkan bahasan ketidakadilan struktural semakin tertutupi.

- Advertisement -

Bagaimana eksistensi kita memengaruhi sistem sosial yang ada? Kita harus sadar bahwa medsos adalah pertarungan wacana. Ada yang berkuasa dan diuntungkan. Setiap atensi, aksi, dan tindakan yang kita berikan akan memengaruhi sistem sosial yang ada. Sebagai contoh, kita merespons akun buzzer yang tujuannya untuk gaduh dan menutupi sebuah kasus. Maka, reaksi yang kita berikan, misalnya like, comment, share, atau sekadar menonton, bisa membantu menyukseskan misi buzzer tersebut. Eksistensi tiap pengguna sangatlah berharga. Sialnya, sering kita tidak menyadari itu.

Kemudian, pentingnya perlawanan lokal yang terpinggirkan melalui narasi tandingan. Dalam pendekatan post-strukturalis, dominasi narasi hegemonik dan narasi tandingan selalu bersifat sementara. Sifatnya tidak stabil, “lebih cair”, dan terus dinegoisasikan. Kita bisa membuat akun atau komunitas yang beragam untuk menciptakan ruang suara yang setara. Berkolaborasi lintas komunitas, mendukung thread terbuka, mengkampanyekan hashtag dengan beragam perspektif, berkreasi dengan meme satire, storytelling visual, memberikan like, comment, dan share secara kritis, dan lain sebagainya. Sebuah bentuk-bentuk usaha menantang kekuasaan yang dominan.

Pada akhirnya, proses menuju kesadaran kritis (critical consciousness) atau bisa disebut konscientisasi, menjadi peluang yang terus terbuka lebar. Itu mengajak kelompok marjinal sadar tentang ketidakadilan struktural dan berkehendak untuk bertindak. Mereka mendiskusikan masalah sehari-hari. Mereka menganalisis masalah dengan bertanya siapa pengendali utama. Mereka menyadari masalah bukan soal pribadi, tetapi pola dan hubungan kekuasaan yang lebih rumit dan bersifat kolektif.

Selanjutnya, masyarakat bisa memproduksi makna mereka sendiri untuk membalikkan narasi. Sebuah aksi pembebasan dengan memprotes dalam pergerakan sosial di medsos. Melalui dialog, refleksi wacana, sebelum akhirnya mengambil tindakan.

Salis Fitria
Salis Fitria
Pegiat Literasi!
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.