Jumat, Maret 29, 2024

Ketidakadilan dari Banalitas dan Hiperealitas Politik

MohAlfarizqy
MohAlfarizqy
Political sociology student who interested in the nexus of social movements, democracy and education | IG @moh.alfarizqy

Baliho-baliho yang memasang pemfiguran dari masing-masing calon bermunculan. Mulai dari yang berseragam merah, kuning, hingga yang jarang saya lihat. Semuanya bernada sama, bersuara sama; “membangun”, “antikorupsi”, “kerja keras”, “kerja nyata”, “demi rakyat”, dilengkapi dengan senyuman manis, paras yang telah disetting, dan beberapa atribut milenial.

Semua representasi itu terasa banal. Tidak ada kejelasan dari masing-masing calon yang meluas, merasuki hati orang-orang kecil. Banalitas ini dirasakan banyak orang dalam diam, entah karena mereka memilih untuk diam, tidak tau, atau tidak mau tau. Semua wajah yang dipampang luas itu kemudian hanya menyesak-nyesakkan pandangan jalan. Beberapa paras dapat mencuci mata pejalan yang bosan dengan aspal, teriknya matahari, dan kemacetan.

Banal dan Cuek Sejak Masih “Kecil”

Semua tau bahwa professor lebih pandai daripada mahasiswa. Tetapi, bagi dosen saya “mahasiswa lebih menjanjikan masa depan”. Jika benar demikian, ada baiknya melacak kebanalan itu pada mahasiswa untuk mengetahui bagaimana banalitas politik ini muncul.

Apa yang partai-partai mahasiswa janjikan dalam pemilihan raya (yaitu pemilihan versi mahasiswa)? Mereka menjanjikan calon-calon yang tidak dikenal kelayakannya untuk menjadi BEM maupun BLM (atau DLM). Partai-partai mahasiswa yang berpartisipasi di dalam pemilihan raya itu pun gencar, ramai dengan propagandanya mengenai keunggulan akademis dan non-akademis dari masing-masing calon.

Tiba-tiba, wajah-wajah baru bermunculan di media sosial, lengkap dengan secuplik “kebaikan” yang telah dipersiapkan. Calon direpresentasikan baik bak malaikat. Peran sosial, bukti-bukti kelayakan untuk diberi mandat kekuasaan menjadi kosong dan tak lebih penting daripada bombardir melalui media sosial. Semuanya dibuat-buat sedemikian rupa, hingga fakta yang sesungguhnya mengenai kelayakan calon itu tertutupi oleh representasi yang begitu hiperbolis dan tak cukup untuk melandasi pertimbangan pemilih.

Kondisi kampus kemudian ramai oleh kampanye dari masing-masing kubu mahasiswa. Yang terpenting adalah keramaiannya. Bukan substansinya. Kalau perlu, keramaian itu mengalahkan suara diskusi akademis serta proses belajar-mengajar yang ada. Sebab ramai mencuri perhatian, memusatkan fokus banyak audiens. Calon yang dapat memanfaatkan itu dengan baik tentu berpotensi memeroleh suara yang banyak.

Euphoria mahasiswa dalam partai itu terlalu melangit, tak seperti mahasiswa kupu-kupu, mahasiswa yang berorientasi nilai dan kejuaraan, maupun mahasiswa yang sekedar mencari relasi dan “berlatih” menjadi event organizer.

Mereka lebih memikirkan perut dan kelaminnya; sebesar apa uang yang akan diperolehnya, pekerjaan apa yang akan diraihnya melalui jaringan sosial yang diperolehnya, bagaimana kenikmatan seksualnya, dan paras yang akan diturunkan pada anaknya nanti jika menikah dengan lelaki/perempuan itu.

Salah satu strategi yang manjur untuk memenangkan pemilihan adalah dengan mengusung calon yang wajahnya melelehkan hati banyak perempuan. Terlebih jika si calon pandai memelintir lidah di depan “masyarakat mahasiswa”.

Jika tak rupawan, strategi berikutnya adalah memilih calon yang basis massanya banyak. Dengan mengandalkan suara kesatuan mahasiswa dari program studinya, beserta lingkaran-lingkaran sosial yang solid, kemampuan untuk memimpin serta memecahkan masalah sekitar tak lagi penting. Pemandatan kekuasaan kemudian direduksi sekecil paras, janji-janji manis, dan kesolidaritasan atas nama kelompok.

Lagi-lagi pertanyaannya adalah: apakah mereka layak untuk dipilih? Diberi mandat? Mana buktinya? Pertanyaan ini tak terjawab hingga dalam lingkup yang lebih luas: apakah wajah-wajah dalam baliho itu layak untuk dimandatkan kekuasaan?

Hiperealitas yang Berujung Ketidakadilan

Teman-teman saya yang akrab dengan Karl Marx, Mikhail Bakunin, Noam Chomsky dan sejawatnya lebih memilih untuk golput. Satu hal yang penting yang saya ingat dari mereka adalah, meniru orang-orang kelas bawah, “kemenangan mereka tak menjamin hidup enaknya orang-orang kelas bawah”.

Kemenangan partai, baik itu partai politik di Indonesia atau pun mahasiswa, tidak akan mengubah banyak hal selain apa-apa yang mereka agendakan semata. Sebab, kebaikan-kebaikan yang akan diperbuat tetap mengikuti framework dari orang yang berkuasa. Penguasa memberi batasan sekaligus ruang untuk kreativitas; kekuasaan itu represif sekaligus produktif (Taylor, 2014:4). Dengan demikian, representasi calon yang ada dipinggir-pinggir jalan itu menjadi kosong tak nyata karena dibalik itu adalah partai.

Sedari mahasiswa, pemandatan terjadi pada orang-orang yang tak diketahui kelayakannya. Namun, kekosongan itu terus-menerus dilanggengkan secara masif, hingga menjadi simulakra (representasi yang tidak memiliki referensi apapun pada kenyataannya, atau dalam hal ini, tidak memiliki referensi terhadap kelayakan yang jelas). Jumlahnya besar tak terhitung, sampai-sampai mahasiswa yang memang peduli dengan kampusnya tak nampak di muka. Yang nampak hanyalah orang-orang yang ramai diposting dan disuarakan oleh jaringan solidaritasnya.

Masifnya simulakra itulah yang terbawa hingga masa kini. Baliho-baliho itu menjadi media untuk menyampaikan representasi yang tak komprehensif, sehingga apa yang sebenarnya sedang terjadi justru tertutupi.

Apa yang seharusnya konstituen tuju justru terhindari. Partisipasi politik masyarakat dalam politik elektoral kemudian menduduki suatu titik yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai simulasi (Haralambos & Holborn, 2013:620). Masyarakat mengalami hyperreality; tak mampu membedakan mana calon yang tepat dan tidak, mana yang layak dan yang tak layak diberi mandat kekuasaan.

Keluaran dari ini semua adalah terpilihnya calon yang tak begitu sesuai dengan persoalan dan kebutuhan masyarakat. Dalam sejumlah kasus, masyarakat justru semakin kehilangan ketajaman politiknya karena terhegemoni oleh kelompok politik yang sedang berkuasa; secara tidak sadar mereka mendukung kekuasaan kelompok politik yang mendominasi tanpa penolakan, sekalipun tidak adil.

Diskursus perlawanan yang disampaikan oleh Cholil Mahmud diterjunkannya melalui Merah: “Aku akan menjadi karang di lautan mereka, Aku akan menjadi kanker dalam tubuh mereka,” pertanyaannya: kemanakah akademisi kita? Mengapa justru musiklah yang melawan? Kemana pengaplikasian dari ilmu sosial kontemporer? Banyak dari akademisi kita yang, seperti kata Cholil, “jadi pertapa“. Perubahan adalah mimpi-mimpi yang bermunculan dan berlalu di dalam waktu tidur.

Mahasiswa yang menekuni ilmu sosial dan ilmu politik perlu memiliki agenda-agenda kritik dan transformasi. Perlu melatih dirinya untuk skeptis terhadap pernyataan “masyarakat sedang baik-baik saja”, dan dekonstruktif terhadap dominasi sosial-politik yang ada. Nasib perlu dinegosiasikan untuk meraih kemungkinan terbaik. Ilmu sosial dan ilmu politik tidak hadir untuk menjadikan kita semua kaya dan bekerja di bank.

Referensi:

1. Haralambos, M., & Holborn, M. (2013). Sociology Themes and Perspectives (8th ed.). London: Collins.2. Taylor, D. (Ed.). (2014). Michel Foucault: Key Concepts. NY: Routledge.

MohAlfarizqy
MohAlfarizqy
Political sociology student who interested in the nexus of social movements, democracy and education | IG @moh.alfarizqy
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.