Perkembangan zaman menuntut dunia perusahaan bekerja secara efektif dan efisien untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Salah satu dampaknya yaitu munculnya permasalahan pada tenaga kerja yang sudah benar-benar menjadi objek perdagangan yang diperjual-beli kan, tidak melihat sisi keadilan dan kemanusiaan nya. Masalah itu bernama outsourcing.
Dan sepertinya universitas brawijaya mau merubah bentuk seperti perusahaan bukan lagi lembaga pendidikan, dimana isinya seharusnya mencintai keilmuan termasuk kemanusiaan.
Jika dianalogikan seperti gurita yang mempunyai tentacle, dimana mencekram segala yang ada dibawahnya, termasuk tenaga kerja dengan outsourcingnya dan mahasiswa dengan UKTnya (Uang Kuliah Tunggal), mungkin ini adalah dampak daripada liberalisasi pendidikan. Seharusnya perguruan tinggi seperti Pohon, dimana menjadi sumber kehidupan bagi kehidupan disekitarnya dan menghasilkan buah yang bermanfaat untuk sekitar.
Dibeberapa fakultas di Universitas Brawijaya sudah terdapat adanya outsourcing. Lalu pertanyaan nya adalah apa itu outsourcing? Secara istilah terkininya, outsourcing berwujud sebagai perbudakan modern.
Mari kita bedah satu persatu, Sederhanya pengertian outsourcing itu Perusahaan A membutuhkan tenaga kerja, dimana dia melakukan perjanjian dengan perusahaan B untuk memperkerjakan tenaga kerja, tetapi tenaga kerja tersebut melakukan perjanjian dengan perusahaan B bukan dengan Perusahaan A yang merupakan tempat dia bekerja.
Masalah nya itu, (1) Uang yang turun ke Tenaga Kerja tidak turun langsung dari Perusahaan A, tetapi melalui Perusahaan B, baru turun ke Tenaga Kerja, dampaknya Gaji tidak sesuai UMK, Hak nya tidak terpenuhi, Bisa di PHK sewaktu-waktu, (2) Jika terjadi permasalahan atau pemenuhan HAK antara tenaga kerja dengan perusahaan A, tidak langsung turun kepada tenaga kerja, tetapi melalui Perusahaan B.
Contoh jika si Acil sakit/kecelakaan dan membutuhkan biaya atau jaminan kesehatan, Perusahaan A tidak bertanggung jawab atas itu, dan Perusahaan B lah yang mengurusnya, padahal secara etika Perusahaan A lah yang bertanggungjawab karena bekerja untuknya. Nah, sekarang bayangkan jika Perusahaan A tersebut adalah Perguruan Tinggi khususnya Universitas Brawijaya.
Secara hukum positif, Outsourcing yang diatur dalam Pasal 64, 65 dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 sangat kompleks, outsourcing dimaknai sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya yang dilakukan dengan perjanjian secara tertulis, melalui dua cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana penegasan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003.
Tambahan lagi, dalam Putusan MK No. 27/PUU/IX/2011, dimana amar putusannya menyatakan outsourcing bertentangan dengan UUD NRI 1945, (1) perjanjian kerja tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi tenaga kerja yang objek kerjanya tetap ada[1], walaupun terjadi pergantian perusahaan. (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada.
Secara Ilmiah dan Rasional, Outsourcing merupakan sistem kerja yang berkembang seiring kebutuhan pengusaha untuk hubungan kerja yang fleksibel, mudah untuk merekrut dan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya sebagai antisipasi persaingan global yang sangat kompetitif sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif.[2]
Mari kita buktikan di Universitas Brawijaya, saya dan tim ‘yang jumlahnya tidak banyak’, melakukan beberapa survey penelitian di beberapa Fakultas seperti FIA, FISIP, khususnya FH yang tadinya melakukan SK Dekan menuju Outsourcing, terdapat outsourcing yang banyak permasalahan, salah satunya adalah gaji nya dibawah UMK kota Malang (UMK Kota Malang Rp. 2.668.420,18)[3] , dan hanya diberikan hak kesehatan itu juga BPJS.
Itu gambaran umum di universitas, dan saya masih banyak data yang lain, tetapi saya tidak akan berbicara itu. Yang mau saya gambarkan adalah ketidak pedulian mahasiswa dan beberapa organisasi mahasiswa.
“Eh.. kita penelitian perburuhan yok..” mencoba membuka obrolan. “Ngapain.. mendingan ikut lomba karya tulis, dapet duit.” Jawab salah satu mahasiswa.
“Eh.. kita penelitian perburuhan yok..” mencoba membuka obrolan. “Udah langsung aksi aja.. gausah penelitian-penelitian segala” Jawab salah satu mahasiswa.
“Eh.. kita penelitian perburuhan yok..” mencoba membuka obrolan. “Organisasi kita ada proker ini nih, sorry yak” Jawab salah satu mahasiswa.
Inilah gambaran salah satu dari kecil nya ketidakpedulian yang mengatasnamakan keadilan, perjuangan, kepedulian, progresif dan sebagainya.
Menurut salah satu dosen yang peduli dengan tenaga kerja, yang juga sebagai mantan dekan FH UB, “Seharusnya mahasiswa peduli dan peka terhadap lingkungan sekitar itu lah ciri seorang cendekiawan, termasuk tenaga kerja, apalagi di universitas brawijaya terkenal dengan Munir sebagai alumni yang peduli dengan buruh.”
Nampaknya kita harus berfikir ulang tentang penelitian, apa emang udah berdampak bagi masyarakat langsung? Atau hanya penelitian semu untuk masyarakat? Contoh PKM khususnya berkaitan dengan rumpun ilmu sosial.
Dan juga sistem pendidikan kepada mahasiswa, contohnya di Fakultas Hukum yang dominan hanya diajarkan secara dogmatis yang menghasilkan positivisme. Dan entah penelitian ini ( penelitian perburuhan ) selesai atau tidak, setidaknya memberikan dampak yang benar-benar nyata disekitar kita.
Ref:
[1] Objek kerjanya tidak musiman, dan ada terus menerus, seperti Engineering, Kebersihan, dan sebagainya
[2] I Nyoman Putu Budiartha. Hukum Outsourcing. Malang Press:2016
[3] Surat penetapan 188/665/KOTS/013/2018 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2019