Minggu, Oktober 6, 2024

Ketakutan Kita Wajar Adanya

M. Fauzan Aziz
M. Fauzan Aziz
Penulis lepas. Pemerhati media baru, jejepangan, dan budaya populer. Pegiat di kolektif Liteera.

Tidak bisa dipungkiri, kehadiran internet mampu mempermudah kehidupan masyarakat. Apapun bisa dilakukan, mulai menyimpan data, terhubung secara visual dalam waktu dan jarak berbeda, hingga hal sepele seperti memesan makanan pinggir jalan favorit, tersedia melalui kehadiran internet. Namun di balik kemudahan, internet juga menyimpan kekhawatiran, hoaks dan ketergantungan; bahkan kecanduan adalah salah satunya.

Banyak orang menganggap media sosial adalah ‘virus’ yang menyebabkan munculnya generasi menunduk. Generasi menunduk adalah cibiran yang dilontarkan masyarakat ketika melihat anak muda yang berkumpul, namun semuanya sibuk dengan gawainya masing-masing dan tidak bersosialisasi satu sama lain, internet dan gawai pun telah identik dengan kredo “menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh”.

Pikiran-pikiran tersebut sebenarnya ialah buah dari ketakutan. Ketakutan akan hadirnya teknologi media sebenarnya bukanlah hal baru, sebelum internet atau media sosial muncul, inovasi teknologi media selalu ditandai dengan paniknya masyarakat soal bagaimana hidup mereka yang terancam, atau media tersebut hanya hadir untuk membodohi mereka saja.

Artikel The Guardian berjudul “We always have been modern, and it has often scared us” yang ditulis Rebekah Higgit sebenarnya sudah pernah berbicara tentang permasalahan ini. Bahkan tidak hanya media, teknologi secara umum juga membuat masyarakat khawatir, penemuan kota, mesin cetak, novel, majalah, telepon, kapal uap, dan kereta adalah sebagian teknologi yang dalam kemunculannya selalu ditanggapi dengan negatif.

Rebekah mengutip tulisan Tom Standage soal kehidupan sosial di tahun 1600-an. Ketika itu, menurunnya keseriusan belajar para mahasiswa ditengarai sebagai efek dari kemunculan kafe-kafe di Inggris. Padahal jika melihat sekarang, kafe kini berfungsi sebagai ruang publik yang mampu memunculkan diskusi-diskusi dan pemikiran-pemikiran beragam.

Maka tidak ada yang aneh ketika banyak masyarakat mengaitkan turunnya etika tegur sapa dengan kemunculan media sosial, karena kenyataannya, pola pemikiran tersebut sudah pernah dipakai empat abad silam, dan polanya akan terus seperti itu.

Televisi pada awal kemunculannya juga bernasib sama. Media tersebut selalu dikaitkan sebagai penyebab berkembangnya perilaku kasar masyarakat, adegan kekerasan di dalam televisi membuat masyarakat, khususnya anak kecil cenderung mengikuti adegan tersebut. Hal tersebut lah yang dikritik oleh Hugh McKay, dia berargumen jika masyarakat yang tidak puas terhadap kondisi masyarakat kontemporer, selalu mencari kambing hitam, salah satunya adalah televisi.

McKay memaparkan data yang berkata sebaliknya; jumlah kekerasan di AS selama 10 tahun secara bertahap menurun, namun jumlah konten-konten kekerasan yang disajikan televisi sama sekali tidak berubah. Ada benang merah yang hilang perihal bagaimana kita mengaitkan peran media dengan kehidupan sosial masyarakat.

Saya mengakui jika peran alat produksi (dalam hal ini teknologi) mampu mengubah budaya dan cara berlaku masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu, namun kita tidak bisa serta-merta menyalahkan teknologi sebagai satu-satunya penyebab segala permasalahan sosial, apalagi ketika berhadapan dengan media sosial dimana konsep pengiriman pesan satu arah sudah tidak relevan lagi untuk dipakai.

Beberapa orang menganggap hoaks dan ujaran kebencian dalam internet muncul lantaran masyarakat Indonesia belum siap menerima teknologi tersebut, kesadaran literasi yang rendah menyebabkan hoaks tumbuh, dan banyak disirkulasikan masyarakat.

Argumentasi tersebut adalah pengaplikasian pandangan deterministik yang menempatkan audiens sebagai subjek pasif. Teori jarum hipodermik yang mengandaikan semua konten media memiliki efek langsung terhadap penggunanya, sudah tidak relevan lagi dipakai dalam konteks media sosial. Suatu pandangan lain melihat jika media tidak sepenuhnya memiliki kuasa begitu besar, dalam media sosial, audiens tidak diposisikan sebagain konsumen semata, mereka aktif mengonsumsi juga memproduksi konten-konten yang diterima.

Memang benar hoaks tumbuh subur ketika media sosial muncul. Namun apakah peran hoaks begitu signifikan dalam memengaruhi masyarakat? Saya rasa tidak. Peran aktif audiens menjadikan media sosial sebagai arena pertarungan kuasa, hoaks tentang A akan selalu dibalas oleh hoaks tentang B, begitu seterusnya. Ini menjadi penting karena audiens media sosial memiliki porsi lebih besar dalam menentukan konten apa yang sesuai, konten apa yang tidak, lalu apa resepsi mereka tentang hal tersebut, lengkap dengan cara seperti apa mereka memproduksinya, menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Aktivisme baru ini bisa dicontohkan melalui kehadiran meme. Produk visual ini sangat kontekstual, setiap gambar memiliki banyak cerita yang bisa dikaitkan ke berbagai macam hal, para pengguna bisa mengubah meme tersebut, mereproduksinya ulang, dikritisi dan didukung, semuanya serupa sirkuit yang terus berputar, saling terkait, dan berkelindan.

Bagi saya, takut bukanlah cara yang tepat dalam menghadapi serangan hoaks di media sosial. Di Indonesia, saya merasa kemajuan teknologi tidak pernah dibarengi oleh regulasi yang sesuai, undang-undang reaktif yang muncul dalam pasal ITE, seperti dilarang mencemarkan nama baik dan sejenisnya, cenderung ‘karet’ dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang dibawa oleh internet.

Di Amerika Serikat misalnya, organisasi nirlaba seperti FactCheck.org menjadi organisasi yang fokus mengumpulkan data-data politik dari berbagai sumber, mulai dari pernyataan tokoh, bincang-bincang televisi hingga iklan akan menjadi penunjang dan sistem akan mengukur seberapa valid sebuah berita atau pernyataan tokoh politik nantinya bisa dipertanggungjawabkan. Instrumen tersebut menurut saya adalah cara paling sesuai dalam mengikuti perkembangan teknologi media baru, dan sistem tersebut sayangnya belum dipakai oleh Indonesia.

 Saya setuju soal perbedaan antara mesin dan manusia yang kian kabur terkait dengan konteks masyarakat digital sekarang ini. Namun ketika anggapannya menjadi mesin yang mengambil alih manusia, kok terkesan berlebihan. Saya lebih suka menyebutnya dengan ‘menubuhnya manusia kedalam mesin’ dan pemikiran ini harus segera.. diviralkan!

M. Fauzan Aziz
M. Fauzan Aziz
Penulis lepas. Pemerhati media baru, jejepangan, dan budaya populer. Pegiat di kolektif Liteera.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.