DPR. 1 kata, 3 huruf yang sering membuat masyarakat Indonesia gundah gulana dan kesal akibat dari tingkah laku dari anggota-anggota di dalamnya. Bukan sekali dua kali, DPR mampu memporak-porandakan hati dari rakyat. Kebijakan-kebijakan yang ia sahkan terkadang dinilai tidak mampu mewakili suara rakyat. Namun, coba kita cari lebih lanjut bagaimana wakil rakyat ini menjalankan kekuasaannya selama 5 tahun ini.
Pada hari Juma’t, 13 November 2025 akun @dpr_ri mengunggah postingan dengan judul “Perkuat Layanan Kesehatan Jiwa, DPR Dorong BPJS Cover Layanan Psikologi”. Pada postingan tersebut menggambarkan bahwa Indonesia mulai melirik kesehatan jiwa masyarakatnya.
Berdasarkan survei kesehatan Indonesia (survei yang tidak tahu diambil dari mana) disebutkan ada 8,6 juta penduduk mengalami masalah kesehatan mental dengan rincian 2% populasi berusia 15 tahun. Usia yang paling banyak mengalami masalah kejiwaan yaitu 15 sampai 24 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 pada website ayosehat.kemenkes.go.id menunjukkan sebanyak 15.5 juta atau sekitar 34.9% remaja mengalami masalah kesehatan mental. Dapat disimpulkan bahwa permasalahan kesehatan jiwa sudah menurun tetapi masih jauh dari kata aman.
Dalam permasalahan tersebut, DPR mencoba untuk memperluas cakupan dari BPJS untuk layanan psikologis dan psikiatri. Adanya pemenuhan tenaga profesional di semua daerah, pembaruan alat kesehatan RSJ melalui DAK dan dukungan Pusat, pengadaan alat deteksi dini di seluruh puskemas.
Program rehabilitasi sosial dan occupational therapy pascarehabilitasi dan edukasi publik. Dengan adanya upaya untuk mendorong berbagai hal tersebut, timbul beberapa pertanyaan diantaranya apakah dengan hanya edukasi stigma masyarakat dapat menurun? Apakah RSJ dan biro-biro bersedia atas dorongan tersebut? Apakah tenaga profesional mencukupi dan dapat merata ke berbagai daerah? Apakah tenaga profesional itu benar-benar “profesional”? DPR mungkin berbicara terkait kesehatan jiwa masyarakat Indonesia tetapi pada realitasnya kebutuhan dasar tidak tercukupi.
Dalam hal ini, Saya mencoba untuk menghubungkan dengan psikologi humanistik. Psikologi humanistik adalah psikologi yang berfokus pada sudut pandang pelaku atau manusianya sendiri (Sulaiman dan Neviyani, 2021). Pada paradigma psikologi humanistik terdapat beberapa teori untuk membantu menganalisis dan memahami manusia, salah satunya yaitu teori hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow.
Dalam teori Abrahan Maslow yaitu hierarki kebutuhan digambarkan dengan piramida kebutuhan. Piramida kebutuhan dibagi menjadi 5 kebutuhan manusia yaitu kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis pada konteks ini akibat dari dorongan/hasrat fisiologis di dalam diri individu sehingga dengan adanya program seperti MBG membantu masyarakat Indonesia untuk memenuhi pada tingkat paling dasar.
Namun kita lihat realitanya, bahwa MBG sekarang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat sendiri seperti orangtua yang ketakutan apabila anaknya keracunan. Yang kedua, kebutuhan keamanan dan keselamatan dapat dikaitkan dengan penegakan hukum yang ada di Indonesia. Kasus-kasus yang beredar di Indonesia tidak tertangani dengan baik. Hal ini yang ditandai dengan aparat penegak hukum tidak objektif dengan masalah yang terjadi. Ketiga berhubungan dengan kebutuhan rasa cinta dan rasa memiliki pada tiap individu (Sugara dan Hanifa, 2024).
Rasa cinta dan rasa memiliki bergantung pada sikap sosialisasi antar individu. Keempat, kebutuhan harga diri/penghargaan berkaitan dengan pengakuan, prestasi seseorang, dan kepercayaan diri. Terakhir, kebutuhan aktualisasi diri yang berhubungan dengan pengembangan potensi dan bakat diri. Kemampuan untuk berkreasi dan memenuhi dirinya termasuk pada kebutuhan aktualisasi diri (Sabillah dan Fikra, 2024). Namun, dari hierarki kebutuhan, kita tidak harus mengartikannya sebagai suatu tahapan tetapi kita artikan sebagai poin-poin kebutuhan yang harus dicapai sebelum manusia beraktualisasi diri.
Perlu kita sadari bahwa permasalahan kesehatan jiwa merupakan permasalahan lintassektor. Felly Estelita Runtuwene sebagai Ketua Komisi IX DPR RI menyatakan “Kesehatan jiwa adalah bagian integral dari pembangunan kesehatan nasional. Masih kuatnya stigma, terbatasnya psikiater, serta belum optimalnya pembiayaan BPJS menjadi tantangan besar yang harus diatasi lintas sektor” sehingga Tanah Ibu Pertiwi masih banyak sektor-sektor lain yang perlu diperbaiki dan diinovasikan lebih baik lagi untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju.
Seperti yang kita tahu, bahwa Indonesia memiliki target besar pada tahun 2045 yaitu Indonesia Emas 2045 yang dimana Indonesia menjadi negara yang stabil dalam segala lini dan berisikan SDM tinggi. Kebijakan kesehatan mental tidak akan berjalan karena masalah fundamental Indonesia bukan teknis, melainkan struktural dan lintas sektor. Oleh karena itu, dengan meleknya pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa di Indonesia menambah secercah harapan untuk meningkatkan potensi manusia dalam mengaktualisasikan diri.
Tingkah laku manusia untuk mengupayakan kehidupannya ditentukan oleh kecenderungan mencapai tujuan agar individu bahagia dan terpuaskan (Minderop, 2011 dalam Nurwahidah,et al., 2023). Kebutuhan tidak terpenuhi sebagaimana mestinya,maka intervensi kesehatan jiwa sulit tercapai. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa memenuhi kebutuhan tingkat dasar dan kebijakan-kebijakan yang seharusnya memberikan manfaat bagi rakyat.
Referensi
Nurwahidah, A., Wahyuni, I., & Mubarok, A. (2023). Hierarki Kebutuhan Tokoh Utama dalam Novel Represi Karya Fakhrisina Amalia: Kajian Psikologi Sastra Abraham Maslow. Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya, 7(4), 1399-1408. http://dx.doi.org/10.30872/jbssb.v7i4.11104
Sabillah, E., & Fikra, H. (2024, May). Pemenuhan Hierarki Kebutuhan Maslow sebagai Motivasi Menikah Muda pada Generasi Z. In Gunung Djati Conference Series (Vol. 41, pp. 1-12). https://conferences.uinsgd.ac.id/index.php/gdcs/article/view/2147
Sugara, H., & Hanifa, M. (2024). Analisis Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow dalam Cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma. Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 8(1), 35-40. http://dx.doi.org/10.25157/literasi.v8i1.13628
Sulaiman, S., & S, N. (2021). Teori Belajar Menurut Aliran Psikologi Humanistik Serta Implikasinya Dalam Proses Belajar dan Pembelajaran. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan Dan Pembelajaran, 2(3), 220-234. https://doi.org/10.24036/sikola.v2i3.118
