Isu kesehatan mental kerap terpinggirkan dalam berbagai diskursus tentang hak asasi manusia. Padahal, kesehatan jiwa memegang peranan penting dalam menentukan kualitas hidup individu.
Dalam konteks kekerasan seksual, luka yang diderita korban tidak hanya bersifat fisik. Lebih dari itu, dampak psikologis, emosional, serta sosial dapat berjangka panjang dan bahkan memperburuk kondisi penyintas seiring berjalannya waktu.
Negara sebagai pemegang mandat untuk melindungi seluruh hak warga negara seharusnya hadir memberikan perhatian serius, terutama dalam mendukung pemulihan psikologis penyintas kekerasan seksual.
Namun, hingga kini, komitmen tersebut masih jauh dari harapan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keberpihakan negara terhadap kesehatan mental penyintas belum diwujudkan secara sistematis dan memadai.
Luka Tak Kasat Mata yang Terabaikan
Kebijakan hukum yang ada selama ini lebih banyak difokuskan pada aspek fisik korban dan penghukuman pelaku. Penanganan trauma psikologis sering kali terabaikan. Padahal, kerusakan mental akibat kekerasan seksual dapat memberikan efek destruktif yang lebih dalam dan tahan lama.
Penyintas kekerasan seksual berisiko tinggi mengalami gangguan kecemasan, depresi berat, hingga Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Banyak dari mereka juga menghadapi kesulitan membangun kembali rasa percaya diri, relasi sosial, bahkan identitas diri. Beban ini bertambah berat ketika stigma sosial menyudutkan korban, bukan pelaku, sehingga memperburuk kondisi psikologis mereka.
Ketiadaan perhatian terhadap kesehatan mental dalam kebijakan pemulihan korban sejatinya menandakan kegagalan negara dalam memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ini bukan hanya soal penyediaan layanan medis, tetapi juga menyangkut keadilan sosial, penghapusan stigma, dan pemulihan martabat penyintas.
Keterbatasan Akses Layanan Kesehatan Mental
Di lapangan, banyak penyintas kekerasan seksual kesulitan mengakses layanan psikologis yang layak. Hambatan terbesar adalah keterbatasan infrastruktur dan ketimpangan distribusi tenaga kesehatan mental di berbagai daerah.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2022 mengungkapkan bahwa dari 10.321 Puskesmas di Indonesia, hanya sekitar 50 persen yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa. Situasi di rumah sakit umum pun tidak jauh berbeda, di mana hanya 40 persen yang memiliki fasilitas kesehatan mental.
Kesenjangan ini semakin diperburuk dengan minimnya jumlah psikiater dan psikolog klinis. Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 1.053 psikiater untuk melayani lebih dari 270 juta jiwa. Itu berarti, satu psikiater harus melayani sekitar 250.000 orang — jauh dari standar WHO yang merekomendasikan satu psikiater untuk setiap 30.000 penduduk.
Kondisi ini menciptakan ketidaksetaraan dalam pemulihan korban. Penyintas yang tinggal di kota besar mungkin lebih mudah mengakses layanan psikologis, sementara mereka yang berada di daerah terpencil harus berhadapan dengan keterbatasan sumber daya, biaya mahal, dan stigma sosial yang menghalangi.
Tantangan Sosial dan Kultural
Selain kendala infrastruktur, faktor sosial dan kultural juga menjadi hambatan serius dalam penanganan kesehatan mental penyintas kekerasan seksual. Di banyak komunitas, korban kekerasan seksual justru dipersalahkan, dilecehkan, atau dikucilkan. Stigma ini membuat banyak penyintas enggan mencari bantuan profesional karena takut mendapat perlakuan diskriminatif.
Dalam masyarakat yang masih patriarkis, keberanian korban untuk melapor atau mengungkapkan pengalaman mereka seringkali dipandang sebagai aib keluarga. Ketakutan akan penghakiman sosial membuat korban memilih diam, memendam trauma, dan mengabaikan kesehatan mentalnya sendiri.
Fenomena ini mengindikasikan perlunya perubahan paradigma sosial yang lebih menghargai hak-hak korban dan menghapus budaya menyalahkan korban (victim blaming). Negara perlu mengambil peran aktif dalam melakukan kampanye publik untuk membangun pemahaman bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan, dan penyintas berhak mendapatkan perlindungan serta pemulihan yang layak.
Kewajiban Negara dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi berbagai instrumen internasional, seperti Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), memiliki kewajiban yuridis untuk menjamin perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual. Pasal 13 CEDAW secara jelas mengatur bahwa negara harus menyediakan akses terhadap layanan kesehatan, termasuk kesehatan mental, tanpa diskriminasi.
Namun, implementasi norma ini di Indonesia masih jauh dari memadai. Tanpa keseriusan dalam membangun infrastruktur layanan kesehatan jiwa yang merata, memperbanyak tenaga profesional, serta membangun sistem pendukung yang ramah korban, pemenuhan kewajiban tersebut akan terus menjadi wacana tanpa realisasi.
Kebutuhan untuk membangun kebijakan nasional yang lebih inklusif dan responsif terhadap trauma korban tidak bisa ditawar lagi. Ini mencakup penyediaan layanan psikososial, rehabilitasi berbasis komunitas, hingga perlindungan hukum yang komprehensif terhadap hak-hak penyintas.
Menanti Komitmen Nyata dari Pemerintah
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengembangkan strategi nasional yang berfokus pada pemulihan kesehatan mental korban kekerasan seksual yang meliputi:
- Peningkatan Aksesibilitas
- Memastikan bahwa setiap Puskesmas dan rumah sakit umum memiliki layanan kesehatan jiwa, dengan tenaga profesional yang cukup.
- Pelatihan Petugas
- Memberikan pelatihan khusus kepada petugas kesehatan, polisi, dan pekerja sosial untuk menangani penyintas dengan pendekatan yang berempati dan sensitif trauma.
- Kampanye Anti-Stigma
- Mengedukasi masyarakat agar lebih memahami pentingnya mendukung korban dan menghapus budaya menyalahkan korban.
- Perlindungan Hukum yang Kuat
- Mengembangkan kerangka hukum yang menjamin hak penyintas untuk memperoleh layanan kesehatan mental tanpa diskriminasi atau hambatan administratif.
- Penguatan Layanan Rehabilitasi Berbasis Komunitas
- Memberdayakan organisasi masyarakat sipil untuk menyediakan layanan pendampingan dan rehabilitasi berbasis komunitas.
Langkah-langkah ini harus didukung dengan alokasi anggaran yang memadai dan pemantauan berkala untuk memastikan implementasi kebijakan di lapangan.
Masa Depan Pemulihan Penyintas
Kesehatan mental penyintas kekerasan seksual adalah isu yang harus mendapat prioritas tinggi dalam agenda pembangunan nasional. Ini bukan hanya soal pemulihan individu, tetapi juga tentang memperbaiki struktur sosial yang lebih adil dan manusiawi.
Jika negara gagal memenuhi tanggung jawabnya, kita bukan hanya mengabaikan penderitaan korban, tetapi juga membiarkan kerentanan sosial terus berkembang. Sebaliknya, keberpihakan negara yang nyata terhadap penyintas akan memperkuat nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan sosial, dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Saat ini, penyintas kekerasan seksual masih menanti kehadiran negara — bukan sekadar dalam bentuk regulasi, melainkan dalam aksi nyata yang menyentuh kehidupan mereka. Karena pemulihan luka mental bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab kolektif yang harus ditunaikan.