Selasa, Oktober 8, 2024

Kesehatan Mental dan Kapitalisme

Mila Nabilah
Mila Nabilah
Seorang disorder yang membenci disordinance dan berada dalam disordinate dan terus mencari jalan menuju ordinate yang tepat

Dilansir dari dataindonesia.id disebutkan, berdasarkan hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), sebanyak satu dari tiga remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Jumlah itu setara dengan 15,5 juta remaja di dalam negeri.

Sebanyak satu dari 20 remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia juga mengalami gangguan mental. Angkanya setara dengan 2,45 juta remaja di tanah air. Gangguan cemas menjadi gangguan mental paling banyak diderita oleh remaja, yakni 3,7%.

Gangguan mental tersebut merupakan gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas secara menyeluruh. Posisinya diikuti oleh gangguan depresi mayor dengan proporsi 1%. Masalah kesehatan mental terbanyak berikutnya adalah gangguan perilaku sebesar 0,9%.  Lalu, ada 0,5% remaja yang mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Persentase serupa dialami oleh remaja dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). Meski akses ke berbagai fasilitas kesehatan sudah meningkat, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk menangani masalah kesehatan mental. Proporsinya tercatat sebesar 2,6% dalam 12 bulan terakhir.

Survei juga mengumpulkan data mengenai pengaruh kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mental remaja. Hasilnya, sebanyak satu dari 20 remaja merasa lebih depresi, cemas, merasa kesepian, dan sulit untuk berkonsentrasi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.

Hubungannya dengan Kapitalisme

Sebelumnya tentulah kita harus berkenalan dahulu dengan apa itu kapitalisme? Kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi di mana pelaku swasta memiliki dan mengendalikan properti sesuai dengan kepentingan mereka, dan permintaan dan penawaran secara bebas menetapkan harga di pasar demi melayani kepentingan masyarakat yang mana juga adalah hasil dari penelitian mendalam serta iklan-iklan atau reklame-reklame yang menyasar semua kelas utamanya rumah tangga miskin dan borjuis kecil yang mudah dicuci otaknya melalui media massa dan gawai di tangan mereka.

Kapitalisme berhasil membuat manusia menjadikan hal yang tidak pokok menjadi pokok seperti beras denga kuota, pangan dengan rokok, buku bermutu dengan gawai mahal milik perusahaan berlogo buah apel yang tergigit.

Gengsi menjadi tolok ukur masyarakat kita, mereka dibuat lena akan kebutuhan sekunder dan tersier. Ibarat sebuah kontestasi tak resmi, di antara sejawat mereka saling bersaing demi mendapatkan validasi dengan cara bagaimanapun itu.

Anak-anak merengek dan merajuk pada orangtuanya, prostitusi di dunia daring, melesakkan dirinya dalam jeratan pinjaman baik itu melalui koperasi rentenir maupun melalui pinjol.

Gengsi akan kendaraan pun demikian, begitu dikejar habis-habisan demi memiliki kendaraan paling mahsyur abad ini hingga akhirnya mendapat serentetan teror dan kendaraan harus ditarik oleh dealer atau debt collector.

Kebijakan Memangkas Subsudi (Kebijakan Neolib)

Selain itu, kesehatan mental juga tak terlepas jauh dari kebijakan neolib seperti pemangkasan subsidi. Konon, subsidi BBM saja yang nilainya 24,17 triliyun dialihkan menjadi bantuan sosial (Bansos). Mensos Risma pun melakukan penghapusan data Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak 9 juta data.

Kenaikan upah dengan kenaikan bahan pokok pun tak setimbang dan hanya kian memiskinkan kelompok miskin dan kelompok kurang mampu. Harga-harga bahan pokok naik bertahap, akhirnya biaya belanja bahan pangan pun semakin sulit untuk diirit di dapur-dapur proletar.

Kemudian disahkannya Omnibus Law bukan malah menciptakan peluang kerja melainkan peluang usaha, banyak potongan-potongan dan kemudahan perizinan bagi investor asing dan kian panjangnya masa berlaku perizinan, naasnya lagi dengan adanya peraturan ini justru buruh bisa lebih mudah dipecat.

Siapa yang tidak stress dengan ekonomi yang tidak menentu atau bahkan bisa dibilang buruk bagi massa rakyat? Siapa yang tidak stress dengen mengetahui orang tua kita di usia 30+ sudah dapat memiliki hunuan sendiri sedangkan di era modern dan maju kali ini bahkan kita tak sanggup untung mengontrak di kontrakan yang layak?

Siapa yang tidak stress ketika panganan sehat harus mahal dan anak-anak muda harus rela mengenyangkan perut dengan mie instan dan telor lagi telor lagi?

Andai saja negeri ini kembali pada ruh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 tentu kita akan mampu menyejahterakan segenap tumpah darah indonesia ini. Bayangkan BUMN-BUMN kita bila dikelola oleh ahlinya, alangkah kayanya aset kita. Dan berdasarkan Pasal 33, keseluruh aset hayati di teritori Indonesia Raya ini yang menyangkut hajat hidup orang banyak, diamanatkan untuk dikelola negara dan didistribusikan dengan seadil-adilnya kepada rakyat Indonesia.

Apa yang terjadi sekarang? kita terus-menerus bayar pajak, menghidupi negara, akan tetapi tanah-tanah saudara kita dirampas oleh negara. Apa jadinya bangsa ini ketika kejahatan negara menjadi jauh lebih besar ketimbang kejahatan sipil?

Mila Nabilah
Mila Nabilah
Seorang disorder yang membenci disordinance dan berada dalam disordinate dan terus mencari jalan menuju ordinate yang tepat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.