Korupsi adalah perbuatan menilap uang rakyat atau secara formal disebut keuangan negara yang dianggarkan untuk pembangunan dan pelayanan publik. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya soal keuangan negara, melainkan juga berimbas pada rusaknya kehidupan sosial masyarakat. Korupsi nyata merugikan.
Para pemikir demokrasi bernegara menyebut pemerintahan yang korup akan membuahkan ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat. Narasi semacam ini acap sepi dari perhatian. Korupsi jamak kita nilai hanya ihwal kerugian keuangan negara. Dengan kata lain pemaknaan korupsi yang berkembang selama ini teramat sempit mengacu pada peraturan normatif hukum, di sisi lain luput dari cara pandang empiris-sosiologis.
Secara baku arti korupsi yang berlaku mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
Pasal 2 ayat (1) bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
Pasal 3 bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
Definisi korupsi berdasar kedua pasal tersebut beririsan dalam hal dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hal ini menunjukkan bahwa definisi korupsi dalam UU Tipikor saat ini terbatas kerugian material (tangible costs) berupa kerugian keuangan negara saja (biaya eksplisit korupsi). Akan tetapi sesungguhnya kerugian immaterial (intangible costs) atau kerugian sosial imbas korupsi jauh lebih besar dan berbahaya (biaya implisit korupsi). Kerugian sosial berkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti memburuknya demokrasi bernegara.
Konsekuensi logis suatu perbuatan korupsi pasti menimbulkan kerugian keuangan negara. Di samping itu, pembangunan dan pelayanan publik berjalan pun jadi ‘pincang’ karena hasil korupsi hanya dinikmati segelintir orang saja (koruptor). Akibat lanjutannya timbul biaya oportunitas, ketimpangan sasaran dan efektivitas alokasi sumber daya, penurunan efek ganda (multiplier effect) ekonomi, bertambahnya kesenjangan pendapatan, dan meningkatnya beban seluruh elemen negara (pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Firman dan Pradiptyo, 2020). Bahkan secara menyeluruh korupsi disebut menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara; merusak demokrasi, mempertajam jurang kesenjangan dan menyebabkan suatu bangsa menderita.
Luput
Brand and Price merinci tiga elemen biaya sosial korupsi, yaitu biaya antisipasi terhadap korupsi; biaya akibat korupsi; dan biaya reaksi terhadap korupsi. Pertama, biaya antisipasi atau dalam konteks pemberantasan korupsi disebut biaya pencegahan, yaitu besaran anggaran yang dikeluarkan untuk kerja-kerja pencegahan korupsi seperti sosialisasi kepada seluruh stakeholder baik lembaga pemerintah, lembaga swasta, lembaga pendidikan, dan lainnya. Selain itu, anggaran juga terbebani untuk melakukan reformasi birokrasi guna membentuk sistem antikorupsi.
Kedua, biaya akibat korupsi adalah nilai uang yang dikorupsi atau kerugian keuangan negara. Ketiga, biaya reaksi atau anggaran penindakan yaitu seluruh sumber daya yang terpakai untuk memproses suatu perbuatan korupsi. Negara harus membiayai seluruh proses hukum suatu tindak pidana korupsi mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan (Zulaiha dan Angraeni, 2016).
Biaya sosial yang ditimbulkan korupsi selama ini luput dari pertimbangan penagakan hukum tindak pidana korupsi. Salah satu contohnya bisa dilihat pada Hasil Pepemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hanya menekankan pengembalian kerugian keuangan negara atas temuannya. Meskipun ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan atas temuan tersebut, tapi penting diingat bahwasannya kerugian yang ditimbulkan bukan hanya soal keuangan negara.
Wacana
Jika indikator pemberantasan korupsi hanya soal kerugian keuangan negara yang sifatnya eksplisit (biaya akibat korupsi), maka upaya pemberantasannya pun selama ini terbilang parsial. Memberi pemaknaan pada pengembalian kerugian keuangan negara atas kerugian keuangan, sementara aspek lainnya yakni biaya antisipasi korupsi, biaya reaksi korupsi dan terkhusus biaya akibat korupsi yang sifatnya implisit masih luput dari jangakauan penagakan hukum tindak pidana korupsi.
Hasil riset Malang Corruption Watch (MCW) pada tahun 2021 tentang temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK menunjukkan, bahwa terdapat kekurangan volume (berulang) atas suatu pengadaan barang dan jasa setiap tahunnya. Temuan berulang. Namun tindak lanjut atas temuan berulang tersebut hanya menekankan pengembalian kerugian keuangan negara dan pembinaan pemerintah dan pihak ketiga terkait. Upaya tersebut sedakar melihat potensi kerugian keuangan negara, hanya berorientasi biaya eksplisit.
Cara pandang itu berdampak pada minim dan lemahnya langkah penegakan hukum atas temuan-temuan tersebut. Biasanya dilakukan upaya pembinaan terhadap pihak yang melakukan penyelewengan dan berakhir pada pengembalian kerugian keuangan negara. Padahal jika ditelaah dari sisi dampak sosialnya, temuan berulang itu pasti berdampak pada ‘macet’nya pembangunan dan tidak optimalnya pelayanan publik karena anggarannya tidak berjalan ideal.
Terang bahwa pemaknaan korupsi bukan hanya soal kerugian keuangan negara . Oleh Karen itu, definisi korupsi yang sempit ini perlu dikaji ulang dan diperluas pemaknaannya. Agar ikhtiar pemberantasan korupsi menyentuh akar persoalan korupsi itu sendiri. Selain itu, langkah pemulihan akibat korupsi juga dapat dilakukan setuntas-tuntasnya, seadil-adilnya. Seluruh kerugian yang timbul akibat korupsi baik material pun immaterial (biaya eksplisit dan eksplisit) harus dibebankan pada koruptor, bukan pada negara.
Maka, kiranya ke depan penting merevisi undang-undang tindak pidana korupsi yang memuat definisi dan perspektif imbas sosial suatu tindak pidana korupsi. Tujuannya untuk memperluas jangkauan pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Agar penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya mempertimbangkan kerugian keuangan negara saja, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosialnya.
Sangat esensial jika dapat ditelisik hingga akibat sosial korupsi di tengah masyarakat (biaya implisit korupsi). Namun bukan berarti mengesampingkan upaya pengembalian keuangan negara, akan tetapi dijalankan seiring sejalan. Dengan demikianlah pemberantasan korupsi bisa berlangsung lebih komprehensif dan holistik.
Mari, bersama rakyat berantas korupsi!
Referensi:
https://cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id/biaya-sosial-dan-bahaya-korupsi/ diakses 28 September 2022.
https://news.detik.com/berita/d-4739313/data-kesenjangan-indonesia-1-orang-kuasai-50-aset-nasional diakses 30 September 2022.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Zulaiha, Aida Ratna, dan Angraini, Sari. Menerapkan Biaya Sosial Korupsi Sebagai Hukuman Finansial dalam Kasus Korupsi Kehutanan. Jurnal Integritas Volume 2 Nomor 1, Agustus 2016.