Kerjasama multilateral menjadi salah satu isu global penting sejak awal pandemi Covid-19 menyebar ke berbagai negara. Kerjasama multilateral ini adalah cerminan dari paradoks perilaku negara-negara dalam menyikapi pesatnya persebaran virus corona. Di satu sisi, negara-negara mengambil kebijakan nasional membatasi mobilitas internasional manusia dan menutup pintu-pintu internasional.
Namun, di sisi lain, negara-negara juga menyadari kebutuhan akan jaminan suplai alat-alat kesehatan (essential goods) di tingkat domestik. Jaminan suplai ini dilakukan dengan tetap membuka pintu-pintu internasional itu bagi lalu-lintas barang — khususnya alat-alat kesehatan— antar-negara.
Urgensi kerjasama multilateral menjadi semakin penting dan perlu ketika tatanan dunia dihadapkan pada sikap Amerika Serikat (AS) dan Cina. Pertama, AS tidak mengambil inisiatif memimpin dalam merespon Covid-19 ini, namun menarik diri memberesi persoalan domestik. Pandemi Covid-19 tak pelak telah mengejutkan stabilitas tatanan dunia paska-Perang Dunia ke-2. 75 tahun tatanan dunia itu dipimpin AS, didukung negara-negara demokratis dengan struktur ekonomi liberal kapitalis.
Tiba-tiba saja, virus Corona menyebar dan tanpa ampun menyerang berbagai negara yang sudah terbiasa dengan kebebasan mobilitas antar-negara. Struktur liberal-kapitalis yang dipimpin AS seolah tanpa pertahanan diri dan tidak berdaya menghadapi pandemi Covid-19.
Kedua, wabah virus Corona juga membuat Cina menjadi salah satu ‘korban’ terbesarnya. Sekian tahun Cina mengalami peningkatan status global sebagai kekuatan baru dalam ekonomi dan politik. Ambisi global Cina tiba-tiba dihentikan virus Covid-19. Beberapa kota ditutup, warga asing dievakuasi/direpatriasi, berbagai perusahaan berhenti beroperasi sebagai respon keras sebagai tempat awal munculnya Covid-19.
Walau berhasil membangun klub negara-negara penerima BRI dan AIIB di berbagai kawasan, namun kepemimpinan Cina diyakini hanya terbatas di bidang ekonomi. Beberapa negara Eropa memang bersedia menerima bantuan Cina dalam menangani Covid-19, namun mereka diyakini tetal solid dalam naungan UE dan NATO. Perilaku semacam ini dijalankan negara-negara di kawasan lain, termasuk Asia.
Ketika pandemi Covid-19 datang, semua negara ternyata tidak memiliki mekanisme pertahanan atas serangan Covid-19. Padahal pandemi Covid-19 bukan kelompok teroris, bukan senjata nuklir, bukan pula bagian dari persoalan lingkungan hidup. Namun daya serangnya sangat mematikan, baik bagi manusia dan sistem dunia ini.
Seandainya dunia tanpa pemimpin global semacam AS atau Cina, salah satu kekawatiran yang muncul adalah kemungkinan anarki internasional. Anarki internasional adalah sebuah kondisi dimana tidak ada otoritas tertinggi dalam hubungan internasional. Otoritas tertinggi ini sebenarnya tidak harus bertumpu kepada negara semacam AS atau Cina atau Rusia. Walaupun WHO dianggap sebagai pemegang otoritas kesehatan global, kecenderungan selama ini justru menunjukkan gagapnya WHO menangani pandemi Covid-19 ini.
Namun selama 3-5 bulan ini memperlihatkan secara terang benderang kenyataan sebaliknya. Aktor negara dan non-negara yang selama ini dianggap memegang otoritas global itu kedodoran dalam merespon pandemi Covid-19 ini. Kemampuan otoritas global itu hanya bersifat konsultatif dan koordinatif semata. Padahal kenyataan sosial, ekonomi, kesehatan, budaya dan politik di setiap negara sangatlah berbeda.
Bentuk Kerjasama multilateral
Kekhawatiran atas anarki internasional di antara berbagai negara memang patut dipahami. Namun demikian kenyataan memperlihatkan negara-negara juga bersemangat dalam mendorong inisiatif solidaritas global melalui kerjasama multilateral. Di tengah kecenderungan isolasionisme dan proteksionisme kebijakan nasional, berbagai inisiatif kerjasama multilateral yang terjadi melalui partisipasi aktor negara dan non-negara telah menimbulkan optimisme baru di tengah lajunya persebaran Covid-19.
Ada beberapa alasan penting bagi urgensi kerjasama multilateral untuk merespon pandemi Covid-19. Pertama, kerjasama multilateral tidak lagi bersifat vertikal dan koordinatif yang berujung pada PBB atau WHO sebagai otoritas global di bidang kesehatan. Konteksnya lebih pada kecepatan bertindak sebagai kebutuhan praktis dari early warning system di antara berbagai negara. Acuan utama tetap pada protokol global di WHO.
Selain itu, kerjasama multilateral juga tidak lagi selalu mengerucut pada keharusan ada kehadiran AS atau Cina atau negara kuat lainnya. Bahkan keberadaan WHO sebagai otoritas kesehatan global dalam kerjasama multilateral juga tidak terlalu relevan lagi pada saat ini.
Kedua, ada kebutuhan bersama untuk meningkatkan peran dan kemampuan WHO dalam merespon dan menangani pandemi Covid-19 ini. Walaupun ada kesadaran kurang efektifnya peran WHO, berbagai negara tetap menganggap penting upaya peningkatan peran WHO. Ini termasuk pada otoritas koordinatif WHO dalam pengembangan vaksin Covid-19. Oleh karena itu, upaya-upaya multilateral di antara berbagai negara selama ini juga dalam rangka penguatan kelembagaan WHO.
Kritik terus mengarah ke WHO. Misalnya, AS menganggap WHO terlalu memihak Cina, AS mengancam menghentikan kontribusi keuangan, dan keluar dari keanggotaan WHO. WHO tanpa AS tentu saja merupakan sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya. Namun kenyataan tentang WHO tanpa keanggotaan AS dapat saja terjadi paling tidak hingga terpilihnya presiden baru AS di akhir 2020 ini.
Ketiga, inisiatif-inisiatif kerjasama multilateral sebagai respon mendesak atas kebutuhan persediaan peralatan kesehatan dan obat-obatan. Beberapa negara bekerjasama dengan berbagai perusahaan farmasi untuk pengembangan vaksin Covid-19. Bahkan kerjasama lintas-negara ini juga melibatkan organisasi penelitian kesehatan untuk menemukan vaksin Covid-19.
Kerjasama multilateral diarahkan pada pengembangan pusat-pusat penyimpanan peralatan kesehatan di beberapa kawasan, perumusan kebijakan pembiayaan bersama, dan protokol bersama dalam mobilisasi bantuan. Kerjasama itu juga meliputi protokol pengembangan dan pembiayaan dalam produksi vaksin. Harapannya, otoritas kesehatan global memiliki jaringan-jaringan kelembagaan regional dalam mengelola wabah penyakit berskala besar. Kerjasama multilateral dengan jaringan regional ini tentu saja tetap menempatkan negara sebagai ujung tombak terdepan yang menghadapi covid-19 secara langsung.
Semangat kerjasama multilateral itu bisa menepis kekawatiran atas potensi anarki dalam hubungan internasional. Walaupun potensi konflik antar-negara tetap (bahkan tanpa pandemi Covid-19) ada, namun berbagai inisiatif multilateral itu tetap memperlihatkan komitmen berbagai negara terhadap solidaritas global yang lebih besar.
Kerjasama multilateral tanpa kepemimpinan AS dan Cina mungkin saja bisa terwujud. Itu semua memang tergantung pada kebutuhan berbagai negara atas perlu atau tidaknya AS atau Cina hadir. Kenyataan hingga kini telah menunjukkan inisiatif kerjasama multilateral telah dibangun di antara berbagai aktor negara dan non-negara di tengah pusaran pandemi Covid-19 selama ini. Beberapa kerjasama multilateral itu bahkan telah berjalan tanpa kepemimpinan AS dan Cina.