Jadi pejabat publik itu enak, tapi juga sulit. Enak karena ada fasilitas yang bisa dinikmati, yang kualitasnya lebih baik daripada tidak menjabat. Aspek sulitnya ya karena semua tindak geriknya jadi perhatian publik. Tapi hati-hati.
Pakar ilmu komunikasi politik -Meadow- sudah mengingatkan tentang regulasi komunikasi politik. Ia sudah memprediksi bahwa komunikasi politik menjadi bagian nyata sebuah aktivitas politik dengan memuat simbol maupun pesan yang disampaikan oleh aktor politik, dengan berharap akan ada konsekuensi setelah itu.
Pesan kinerja dari Jokowi kepada Menteri Perdagangan, Zukifli Hasan atau Zulhas pascapelantikan 15 Juni lalu, agaknya sempat terlupakan. Entah sengaja atau tidak, namun pernyataan Zulhas di Provinsi Lampung ketika memperkenalkan produk minyak goreng baru, Minyakita, sempat menjadi perbincangan ringan.
Warga Lampung yang hadir, mayoritas kaum hawa, diminta memasukkan lagi uang 10 ribu yang sudah mereka bawa. Alasannya, karena puteri Zulhas sudah menanggungnya. Sambil berucap malu tapi tegas, Zulhas juga berpesan agar puterinya bisa mendapatkan suara dalam pemilu nanti, khususnya di wilayah ini. Walaupun sudah ada sanggahan dari partai yang dipimpinnya, namun agaknya ada sedikit lagi hal yang terlupa. Dalam sanggahan itu disampaikan bahwa Zulhas hadir dalam kegiatan itu, kapasitasnya bukan sebagai menteri, melainkan sebagai ketua umum partai.
Tapi beberapa rekan yang ikut mencermati video rekaman mengatakan, kalau memang sebagai ketua umum partai, pada spanduk yang terpasang di latar belakang ada muatan frasa ‘menterinya ibu-ibu’. Penonton awam semacam saya dan rekan-rekan hanya bisa saling pandang.
Kalau memang acara partai, kenapa ada penyandang predikat ‘menteri’ yang diikutkan ya? Kami berpikir positif saja, mungkin ada salah tulis di spanduk. Kalau memang hadir sebagai ketua umum partai, bukankah sebaiknya yang ditulis, misalnya ‘ketum partainya ibu-ibu’? Agaknya yang terakhir ini lebih pas. Itu pikiran kami di kampung.
Sekadar mengingatkan saja, bahwa teorinya Meadow juga tidak 100 persen benar. Mungkin saja ada aktor politik yang tidak berpikir bahwa tindak dan tuturannya akan memberikan dampak politis. Kalau pun berdampak, mungkin karena sudah disiapkan sebelumnya, misalnya untuk mendukung partai tertentu, menyuguhkan suara politis untuk tokoh tertentu, atau mendukung rencana kerja partai.
Dalam koridor komunikasi politik, ada empat jenis distorsi yang mengiringi peristiwa komunikasi politik. Ada distorsi ideologi, topeng, representasi, dan proyek lupa. Untuk distorsi ideologi, masih dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu perspektif yang identik dengan aktivitas politik sebagai sebuah keistimewaan, dan yang kedua adalah perspektif yang memandang sebuah kegiatan dengan peran sistem politik maksimal, tanpa memedulikan keinginan rakyat. Jika mencermati anak kalimat terakhir, tentu yang dilakukan oleh Zulhas adalah sesuatu yang berpihak pada rakyat.
Distorsi kedua adalah topeng, yang oleh Ben Anderson dimaknai sebagai sebuah aktivitas politik untuk menunjukkan atau menampilkan sesuatu yang berbeda dengan realitas sebenarnya. Yang ini juga bukan maksud Zulhas, jika memang niatnya adalah memperkenalkan produk Minyakita kepada sebagian warga Lampung. Wilayah ini hanyan bagian kecil dari seluruh wilayah Indonesia, yang kebetulan menjadi daerah pemilihan calon legislator partai yang diikuti oleh ananda Zulhas. Ini juga kebetulan.
Selanjutnya adalah distorsi representasi, yang tujuannya untuk memberikan ilustrasi terhadap sebuah objek yang tidak sama dengan kenyataannya. Yang ini juga bukan tujuan Zulhas, sebab ia membawa produk Minyakita secara riil, dan bisa dinikmati oleh masyarakat. Zulhas tidak sedang membawa air putih biasa yang diberi label Minyakita. Bukan itu. Jadi, distorsi jenis ini termasuk gugur jika direfleksikan.
Terakhir adalah distorsi sebagai sebuah proyek lupa. Artinya begini. Proyek lupa bisa menjadi senjata ampuh untuk menahan gejolak politis akibat adanya sesuatu yang secara tidak sengaja telah dimanipulasi. Aspek lupa dapat muncul secara kolektif, bukan hanya individual. Misalnya, ada 50 orang yang hadir dalam sebuah acara, dan semuanya lupa, itu bisa saja terjadi. Mungkin saking asyiknya mengikuti dongeng dari penceramah, semua jadi lupa waktunya makan siang. Itu bisa saja terjadi.
Dari keempat jenis distorsi tadi, manakah yang mendekati relevan dengan aktivitas Zulhas di Lampung, silakan dirasakan, dinikmati, tapi tak perlu beropini. Tulisan ini hanya menyuguhkan teori komunikasi politik yang juga hanya berusaha mendekatkan dengan aktivitas politik menteri sekaligus ketua umum partai.