Kalangan analis memperkirakan pandemi Coronavirus Disease atau Covid-19 akan terus berlanjut hingga mencapai puncaknya menjelang akhir April dan awal Mei. Perkiraan itu bisa saja terjadi mengingat adanya agenda mudik besar – besaran.
Upaya antisipasi memutus mata rantai penyebaran, kepala daerah menghimbau agar warga yang berada di daerah terapapar virus untuk tidak mudik tahun ini. Himbauan itu berimbas pada program mudik gratis tahun ini. Terlepas dari persoalan itu, seluruh anggaran instansi dipotong untuk menanggulangi covid-19.
Bahkan beberapa diantaranya berinisiatif mengunci akses pintu masuk darat dan laut, kecuali transportasi udara karena kewenangan pemerintah pusat. Seluruh personil kemananan bekerjasama dengan instansi pemerintah daerah memasang palang di wilayah perbatasan.
Praktis kendaraan apapun tidak boleh masuk kecuali untuk keperluan darurat, misalnya sembako atau pasien. Dengan begitu potensi masuknya ODP, PDP maupun positif covid-19 yang belum diisolasi tidak bisa masuk.
Istilah kunci akses pintu masuk ini banyak disebut-sebut sebagai lockdown. Walaupun sebenarnya tidak memenuhi unsur term tersebut. Namun pada sisi penerapannya, ternyata hampir serupa.
Dalam konteks peraturan perundang-undangan, tidak mengenal istilah lockdown. Ketentuan yang paling mendekati dengan istilah ini adalah karantina dan legal standing tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU tersebut, term local lockdown bisa diterapkan berupa kebijakan karantina wilayah.
Dalam pengertian sederhana, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Masalahnya sekarang, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan karantina wilayah.
Berbicara soal karantina wilayah, dalam UU Karantina Kesehatan menguraikan penerapan karantina wilayah merupakan kebijakan pemerintah pusat. Adapun unsur teknis pelaksananya adalah Pejabat Karantina Kesehatan, Karantina Wilayah, dan Pembatasan Sosial berskala besar ditetapkan oleh Menteri.
Dalam pasal 53 UU Karantina Kesehatan, menegaskan karantina wilayah merupakan bagian respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, diatur mengenai pelaksanaan karantina wilayah bagi seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antaranggota masyarakat di wilayah tersebut.
Lanjut ke Pasal 54, dijelaskan Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan karantina wilayah. Menggaris bawahi kata “penjelasan”, itu artinya ada tahap sosialisasi bagaimana teknis penerapannya serta mengantisipasi segala dampak yang ditimbulkan.
Sehingga selama masa karantina diberlakukan, warga tidak kaget ketika ada penjagaan di wilayah perbatasan. Bahkan tidak ada aksi protes manakala warga setempat tidak diizinkan keluar masuk wilayah karantina. Apabila terdapat warga terpapar, langsung dirujuk ke puskesmas atau langsung ke rumah sakit rujukan penanganan pasien covid-19.
Selain itu, selama masa karantina pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan instansi terkait dilibatkan guna menjamin kebutuhan hidup dasar serta makanan hewan ternak. Soal kebutuhan itu ada dalam Pasal 55, menegaskan seluruhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Masalahnya sekarang, sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan karantina wilayah. Padahal dalam Pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan, karantina wilayah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Lambannya pemerintah membuat peraturan pemerintah tentang karantina wilayah membuat beberapa kepala daerah berinisiatif sendiri. Di samping itu ketidaktegasan Pemerintah Pusat juga menjadi penyebabnya. Setidaknya sejumlah kepala daerah sudah menerapkan karantina wilayah antara lain, Provinsi Papua, Tegal dan Tasikmalaya di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Toli-Toli di Provinsi Sulawesi Tengah, Payakumbuh di Sumatra Barat dan Aceh.
Kini sejumlah kepala daerah menanti konsekuensi hukum akibat tidak taat hukum. Tapi dalam kondisi darurat serta keterbatasan kewenangan, keputusan kepala daerah belum tentu disebut melanggar selama tidak ada alasan yang mendasarinya. Umumnya semua daerah mengalami masalah keterbatasan alat pelindung diri (APD), fasilitas rumah sakit dan sejumlah prasarana lainnya.
Akibatnya penanganan medis terkesan tidak maksimal. Di sisi lain, pemerintah tidak siap memenuhi kebutuhan penangan medis. Salah satu contoh, fasilitas uji laboratorium PDP covid-19 di Kemenkes di Jakarta harus menunggu berhari-hari . Bagi daerah dekat dengan Ibu Kota, tentu tidak butuh waktu lama. Lantas bagaimana daerah diluar pulau jawa.
Saat ini lonjakan kasus positif covid-19 terus meningkat setiap hari. Pada Senin (30/3/2020) pukul 15.45 WIB, total kasus positif infeksi virus corona di Indonesia mencapai 1.414 kasus. Sementara itu, sebanyak 122 orang meninggal dan 64 pasien berhasil sembuh dari Covid-19. DKI Jakarta masih menjadi wilayah dengan jumlah kasus infeksi terbanyak mencapai 698, kemudian disusul oleh Jawa Barat dan Banten.
Melihat persentase jumlah kasus, wajar jika kepala daerah khawatir wabah covid-19 terpapar ke daerahnya. Apapun resikonya, itu sudah menjadi pilihan. Tapi tidak perlu khawatir. Dalam waktu dekat pemerintah akan segera meneken peraturan pemerintah tentang karantina wilayah.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersama Kementerian Kesehatan tengah membahas Peraturan Pemerintah terkait Karantina Wilayah.
Dalam penerapannya, untuk skala kabupaten/kota atau provinsi yang dapat disetujui adalah PSBB. Sedangkan karantina wilayah bisa dilaksanakan dalam cakupan lebih kecil, misalnya setingkat RT, RW, hingga kelurahan. Kewenangan karantina wiayah dalam lingkup kecil itu diserahkan kepada pemerintah daerah dan akan diatur secara detil di dalam PP Karantina Wilayah.
Untuk durasi masa karantina, Lembaga Biologi dan Pendidikan Tinggi Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi menjelaskan bisa dilakukan berkisar 3 hingga 7 hari. Bahkan bisa mencapai 14 hari hingga 20 hari dan sebulan. Jika potensi penularan dianggap masih ada, maka bisa diperpanjang hingga 2-3 bulan.
Terlepas dari kabar baik itu, sekarang bagaimana nasib kepala daerah yang sudah terlanjur mengambil keputusan. Apakah harus menyalahkan mereka yang berjuang melindungi warganya dari covid-19 ditengah lambannya pemerintah pusat menangani pandemi ini. Pasti masih ingat ungkapan Wali Kota Tegal, Dedy Yon Supriyono “lebih baik saya dibenci warga daripada maut menjemput mereka”, itu contoh mereka siap disalahkan atas keputusannya.