Minggu, Oktober 13, 2024

Kenapa Tidak Boleh Mengaku Raja atau Ratu?

Samuel Santosa
Samuel Santosa
College Student in Diponegoro University Departement Government and Political Science

Menjadi hal jenaka ketika ada pemerintahan di dalam pemerintahan. Jika diibaratkan pemerintahan itu tubuh, sedangkan tangan dan kaki adalah organ yang membantu kerja tubuh. Maka ada tubuh di dalam tubuh yang bekerja dalam satu tubuh—yakni pemerintahan di dalam pemerintahan.

Logika yang jenaka jika diibaratkan pemerintahan sebagai tubuh. Contoh jelasnya yang legal adalah keraton Yogyakarta yang tetap eksis sampai sekarang di dalam satu tubuh yang besar, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lantas bagaimana tubuh itu bekerja dalam satu tubuh yang menjadi analogi pemerintahan di dalam pemerintahan. Yang lebih menarik tubuh satu sistem pemerintahannya berbentuk demokrasi sedangkan yang lain berbentuk feodal. Lantas bagaimana kedua tubuh tersebut berjalan berdampingan dalam kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika melihat antara sistem feodal dan demokrasi, memang keduanya mengandung perbedaan yang sangat mencolok. Demokrasi sendiri lahir karena runtuhnya feodalisme, yang mana budaya feodal, pemimpin dari sebuah wilayah, dalam hal ini adalah kerajaan ditentukan dengan ikatan darah, atau keturunan.

Sementara demokrasi menjadi antitesa dari feodalisme, dengan sifat rasional menentang pemilihan pemimpin dari ikatan darah, atau keturunan. Alasannya karena individu tidak dapat memilih darimana ia dilahirkan. Lebih dari itu demokrasi lebih menitiberatkan agar adanya suksesi kepemimpinan yang lebih cair—agar bukan hanya dari keturunan bangsawan, yang terus berkuasa.

Kendati demikian demokrasi yang digadang-gadang menjadi antitesa dari feodal dengan nilai-nilai baru, yakni keutamaan individu, serta meninggalkan budaya feodal yang menimbulkan terciptanya kelas-kelas bangsawan, dan rakyat jelata. Hal inipun sama saja, ternyata demokrasi juga memunculkan hal yang sama, yakni dikotomi antara 2 kelas. Jika feodalisme membentuk sebuah kelas dengan ikatan darah, serta keturunan.

Maka demokrasi menciptakan kelasnya dengan cara lain—yakni dengan kapitalisme. Kapitalisme lahir dari kompetisi tiap-tiap individu yang memiliki capital atau modal, akhir dari kapitalisme yakni terbentuknya kelas borjuis dan proletar—unstoppable conflict.

Jika yang diusung oleh kaum pro demokrasi adalah runtuhnya kelas-kelas bangsawan, sehingga siklus kepemimpinan bukan hanya ditentukan oleh ikatan darah, yang jelas individu tidak dapat menentukan dari siapa dia lahir. Dan sebuah nilai baru yang menghancurkan dikotomi kelas-kelas sehingga individu satu dengan lain equal.

Maka dalil kaum pro demokrasi tersebut mampu untuk kita bantah dengan argumen—toh demokrasi juga menciptakan kelas.

Di era modern sekarang ini memang arus demokratisasi tidak dapat dibendung. Hal ini dibuktikan dengan banyak negara yang menggunakan sistem ini. Hanya beberapa negara yang menggunakan sistem non demokrasi, yakni China, Korea Utara, Arab saudi dan lain sebagainya. Sistem demokrasi dianggap lebih fair, dalam siklus kekuasaan.

Namun jika menilik kepada sejarah bahwa demokrasi lahir dari runtuhnya feodalisme, justru sekarang ini di era modern, banyak muncul feodalisme secara tiba-tiba. Kejadian unik yakni muncul fenomena seperti kerajaan ubur-ubur, keraton sejagat, dan yang paling baru yakni keraton djipang di Blora Jawa Tengah.

Entah fenomena ini bagian dari kritik terhadap demokrasi yang tidak ada bedanya dengan feodalisme. Atau justru hanya iseng-isengan atau lucu-lucuan semata. Yang pasti ini adalah fenomena yang jenaka, dan mendorong animo masyarakat untuk membahasnya.

Sebenarnya belum ada Kepres (Keputusan Presiden) atau bahkan undang-undang yang mengatur dengan jelas pendirian kerajaan, atau boleh dikatakan ngaku-ngaku sebagai raja. Jadi sebenarnya sah-sah saja kalau kita melihat dari perspektif tentang sejarah keraton Yogyakarta yang masih eksis hingga saat ini.

Toh sama-sama feodalisme yang berbentuk kerajaan. Kalau keraton sejagat dibubarkan dan teman-temannya yang baru, maka seharusnya juga ada perlakuan untuk keraton Yogyakarta. Lagipula bentuk mereka sama, yakni kerajaan.

Terlepas dari keraton yang baru berdiri ini bertentangan melawan hukum atau tidak. Namun harus ada perspektif lain dari ketatanegaraan yang jelas tentang aturan pemerintahan di dalam pemerintahan. Dalam hal ini sistem feodal (kerajaan) yang tetap eksis di bawah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Jika menilik dari berdirinya kerajaan jaman dahulu, memang kerajaan tempo dulu berdiri begitu saja. Asal saja mereka memiliki kekuasaan yang didapat dengan modal peperangan maka kerajaan tersebut berdiri, atas dasar kemenangan dalam peperangan tersebut.

Jika hingga saat ini belum ada Kepres (Keputusan Presiden) atau bahkan undang-undang yang mengatur berdirinya kerajaan, maka tidak ada bedanya dengan tempo dulu. Aturan perlu dibuat lebih jelas dan tegas menyikapi maraknya kerajaan-kerajaan baru yang bermunculan atau lebih tepatnya ngaku-ngaku sebagai raja.

Menjadi fenomena jenaka jika di era modern ini kerajaan-kerajaan baru justru bermunculan—lebih tepatnya orang ngaku-ngaku raja. Hal ini mungkin muncul karena kejenuhan masyarakat pada sistem demokrasi saat ini, dan implikasi ekonomi kapitalis di dalamnya.

Demokrasi memang menghasilkan ekonomi kapitalis, dan konsekuensi logis dari kapitalis adalah munculnya kelas, yakni kelas borjuis dan proletar. Jika hegemoni demokrasi  dipandang sebagai nilai paling ideal untuk saat ini pun juga akhirnya menghasilkan kelas-kelas di masyarakat. Maka sistem feodal jika ditinjau dari kacamata yang lebih objektif sebenarnya juga ideal. Terlepas dari plus minus kedua sistem tersebut.

Akhirnya fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru—lebih tepatnya ngaku-ngaku raja adalah bentuk kejenuhan terhadap demokrasi yang berjalan flat tanpa ada kemajuan yang konkrit—bahkan menunjukkan kemunduran. Dan itu sah-sah saja.

Perbedaan yang paling tampak dari sistem demokrasi di negeri ini dengan sistem feodal, adalah pemimpin sistem feodal dijabat raja, sedangkan demokrasi dijabat presiden atau perdana menteri—tidak ada yang lebih baik dari keduanya jika dilihat dari konsekuensi yang tercipta yakni kelas sosial di masyarakat. Fenomena ngaku-ngaku sebagai raja ini sah-sah saja. Kenapa sah-sah saja?

Sebab diwaktu yang lampau juga pernah ada yang ngaku-ngaku sebagai presiden dan itu semua sah-sah saja. Jika diwaktu yang lampai ngaku-ngaku sebagai presiden, maka sekarang yang sedang hangat adalah ngaku-ngaku sebagai raja.

Samuel Santosa
Samuel Santosa
College Student in Diponegoro University Departement Government and Political Science
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.